Milenianews.com – Saat itu menjelang sore di Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan, ruang rapat belum benar-benar hening, tapi aroma harum dari sesuatu yang digoreng membuat percakapan sedikit melambat. Di tengah-tengah diskusi ringan masuklah sepiring camilan yang langsung menyita perhatian, udang goreng tepung, hangat dan keemasan, disajikan bersama saus cabai yang menggodanya.
Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSc mengingatnya dengan jelas. Di sela diskusinya bersama (Bapak) Menteri Trenggono, satu camilan kecil itu memantik perbincangan besar, tentang laut, tentang potensi, dan tentang makanan yang mungkin bisa jadi ikon baru Indonesia, menyaingi sang juara lama: ayam goreng tepung.
Ketika Ayam Disalip jadi Udang
Kita tumbuh dalam pelukan ayam goreng. Sejak KFC (restoran cepat saji yang menu utamanya sediakan ayam goreng tepung) membuka gerai pertamanya di Indonesia, tepatnya di Jalan Melawai, Jakarta, tahun 1979, ayam goreng tepung telah jadi bagian dari hidup kita, dari mall mewah, restoran kaki lima, kotak makan siang di kantor, hingga teman camilan saat galau di pinggir jalan.
Baca juga: Sosok Wahyu Saidi yang Tidak Pantang Menyerah Dalam Merintis Bisnisnya!
Tapi hari itu berbeda. Bukan ayam yang hadir, melainkan udang. Tepatnya: udang vaname, dibalut tepung roti berbumbu, digoreng hingga renyah, lalu disajikan panas-panas. Krispi di luar, lembut dan gurih di dalam. Udang yang seolah berteriak: “Ini giliranku!”.
Dan memang waktunya telah tiba.
Menteri Trenggono berbagi kisah, bahwa udang vaname adalah salah satu produk laut andalan Indonesia. Bukan hanya hasil tangkapan laut, tapi hasil budidaya yang sudah menjamur dari pesisir NTB hingga pantai-pantai payau di pulau Jawa. Produksinya? Lebih dari 2 juta ton di tahun 2024. Nilai ekspornya? Melampaui 4 miliar dolar. Angka yang tidak bisa diremehkan, dan kini sedang menunggu panggung kuliner nasional.
Menelisik Dapur Ebi Furai
Udang goreng tepung bukan barang asing bagi pencinta kuliner Jepang. Di negeri sakura, ia disebut ebi furai. Prosesnya seperti ritual kecil penuh cinta: udang dikupas hati-hati, ekornya dibiarkan utuh untuk mempertahankan nilai estetikanya.
Kemudian dilumuri sedikit garam, merica, lalu dicelup ke tepung, telur, dan terakhir remah roti panko yang kasar dan renyah. Digoreng dalam minyak panas sebentar saja, cukup hingga permukaannya berubah keemasan dan dapur terisi aroma gurih yang tak tertahankan.
Beda dengan tempura yang memakai adonan tepung cair, ebi furai lebih padat dan garing, sangat cocok disantap dengan nasi panas dan jika boleh sedikit membelot dari budaya Jepang, saus cabai ekstra pedas khas Indonesia juga sangat mantap.
Bagi anak muda Jakarta, menu ini mulai dikenal lewat restoran fusion Jepang dan waralaba Asia. Tapi di tangan para pegiat industri kelautan seperti Dr Wahyu dan Menteri Trenggono, ebi furai bukan sekadar menu fancy (indah). Ia adalah jalan masuk bagi produk laut Indonesia ke dapur-dapur rakyat. Bukan hanya sebagai sajian restoran, tapi camilan rumahan, bekal sekolah, bahkan isi nasi kotak saat rapat.
Lebih dari Sekadar Gorengan
Udang vaname bukan hanya makanan, tapi lambang harapan. Ia tumbuh cepat, tidak rewel soal lingkungan, bahkan bisa hidup di perairan yang kualitasnya menurun. Nilai gizinya tinggi, proteinnya melimpah, lemaknya rendah, dan cocok untuk diet modern.
Baca juga: Wahyu Saidi, Dari Doktor Hingga Pebisnis Kuliner Hebat
Masyarakat Indonesia dikenal gemar makan gorengan. Tapi bagaimana jika gorengan itu menjadi lebih dari sekadar teman ngopi sore? Bagaimana jika ia hadir serta membawa nilai ekonomis, potensi ekspor, dan identitas kelautan yang selama ini belum benar-benar kita angkat?
Dari Laut ke Lidah, dari Lidah ke Identitas
Ada sesuatu yang mendalam dari gigitan pertama udang goreng tepung itu, rasa asin manis yang menyatu dengan renyahnya lapisan luar, tekstur daging udang yang padat dan juicy, dan sensasi gurih yang seperti membawa angin laut ke dalam mulut. Rasanya seperti mengenang pantai, seperti melihat nelayan pulang membawa hasil tangkapan, seperti harapan yang baru saja digoreng hangat.
Indonesia terlalu kaya untuk bergantung pada satu jenis protein saja. Ayam boleh tetap jadi raja, tapi udang, terutama udang vaname yang lahir dari laut kita sendiri, sudah waktunya naik tahta. Siapa tahu, suatu hari nanti, gerai fast food yang mengantre panjang di kota-kota besar bukan lagi menjual ayam goreng tepung, tapi udang goreng tepung. Bukan hanya untuk lidah, tapi untuk laut, untuk budaya, dan untuk masa depan.
Salam hangat dari dapur laut Indonesia. Mari kita goreng harapan bersama.
Kontributor: Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSc, seorang Entrepreneur, Peminat dan Penikmat Kuliner
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.