Milenianews.com – Tidak banyak lokasi keramaian di Bandar Sri Begawan setelah melewati senja. Padahal ini ibu kota negara kaya, tapi penduduknya tidak lebih dari 150.000 jiwa dan luasnya hanya 100 km². Ya, saya di Bandar Sri Begawan, ibu kota Brunei Darussalam, kota kaya yang jika dibandingkan dengan Indonesia kira-kira setara dengan Kota Blitar atau Magelang, yang penduduknya juga sekitar 150.000 jiwa. Salah satu pusat keramaian adalah Pasar Gadong, dikenal juga sebagai Gadong Night Market.
Sebagai penduduk Jakarta yang setiap sudutnya selalu ramai, Pasar Gadong seperti oase pelepas dahaga—lega rasanya bertemu tempat kulineran yang menarik. Sisi kota lain sepi menjelang malam, tapi Gadong sudah dipenuhi aktivitas. Para pedagang ada yang masih menata meja, ada yang mengatur makanan di atas nampan. Terlihat sate yang belum dipanggang, ikan siap bakar, serta ayam yang sudah matang ditata rapi menunggu pembeli. Aroma panggangan, denting wajan memasak mi goreng, asap rebusan mengepul, serta warna-warni kue tradisional menciptakan suasana hangat khas Melayu.
Baca juga: Stockholm, Kota Seribu Pulau yang Tenang dan Mengagumkan
Dibandingkan dengan pusat kuliner Blok M atau street food di Bangkok, Pasar Gadong memang bukan pasar malam besar yang dipenuhi pengunjung berdesakan. Di Gadong tidak ada antrean. Ada seratus lebih lapak berderet beberapa baris menawarkan aneka hidangan. Pengunjung cukup banyak, parkiran sudah terisi lebih dari setengah. Tak ada hiruk pikuk kebisingan; musik terdengar hanya untuk dinikmati pemilik lapak. Serasa di pasar malam Cipanas ketika bukan hari libur—tertib, rapi, sederhana. Pasar Gadong didominasi pedagang Melayu, suasananya seperti pasar malam di Pasar Baru Bekasi. Pedagangnya ramah terhadap pengunjung, termasuk wisatawan Indonesia. Hampir semua bisa bercakap Melayu, sehingga obrolan dan tawar-menawar jadi menyenangkan, serasa menemukan saudara jauh yang dikunjungi.
Penduduk Brunei adalah orang Melayu, sama seperti kita. Hampir semua makanannya akrab di lidah. Ada nasi lemak Melayu yang mirip nasi uduk, dengan penyajian khas yang sama seperti di Kuala Lumpur. Nasi lemak disajikan dengan timun, ikan teri goreng, telur dadar iris, kerupuk, dan sambal belacan—sama dengan nasi uduk Jakarta minus semur jengkol dan tanpa sambal kacang, tapi diganti sambal goreng. Sate ayam identik dengan sate Madura, hanya ukuran potongan dagingnya lebih besar. Kue pun tak berbeda: ada talam ubi, bugis, dan nagasari. Namun ada juga yang berbeda dan sulit ditemui di Jakarta atau Bandung, misalnya tong keng—bagian brutu ayam yang dibakar. Karena ini bagian ayam yang berlemak, ketika dipanggang lemak di bawah kulit mencair dan menetes, mengeluarkan aroma smokey. Kulitnya menjadi garing dan harum. Di Jakarta bagian ini tidak populer, tapi di Brunei dianggap lezat dan gurih.
Tempat duduk untuk menikmati makanan di tempat memang tidak terlalu banyak, tapi karena pengunjung juga tidak terlalu ramai, meja dan kursi yang ada tidak penuh—masih banyak yang kosong. Ada juga tempat duduk di area terbuka di tepi jalan, tidak di bawah tenda. Ini menyenangkan, lebih nyaman, asalkan tidak turun hujan. Dari sisi ini, pandangan ke arah pasar di bawah tenda terlihat lebih indah. Berkunjung ke Pasar Gadong memberi pengalaman mencicipi kuliner dari dapur Brunei, sekaligus melihat sisi lain Brunei: kehidupan masyarakat yang ramah, sederhana, senang berinteraksi, dan hangat walau beda negara.
Ya, saya di Kota Bandar Sri Begawan, ibu kota Kesultanan Brunei Darussalam—kota yang jauh dari bising, cenderung hening, berudara bersih, dan penuh senyum ramah. Ini negara kecil yang kaya raya dari minyak, dengan banyak masjid dan sebagian memiliki kubah kuning berkilau emas. Ketenangan sudah terasa sejak mendarat di bandara: pelayanan berlangsung cepat, tertib, tanpa keriuhan. Ada beberapa restoran dan kafe, termasuk bermerek internasional. Semua berjalan tertib, lancar, dan sopan. Tak perlu visa untuk mengunjungi Brunei, asal jangan lupa paspor yang masih berlaku.
Masjid Berkubah Emas dan Istana dengan 1.700 Kamar

Berjalan menuju tempat menginap, rasanya Pontianak lebih ramai dan padat. Bandar Sri Begawan bukan ibu kota metropolitan. Memang ada kedai kopi dan gerai burger internasional di sini, tapi tak ada gedung pencakar langit, kemacetan, atau parkir yang menghalangi lalu lintas. Jalanan mulus, lebar, trotoarnya terawat, dan cenderung sepi. Pagi hari, saat berjalan di pusat kota dari hotel, jalanan tetap lengang. Tidak ada suara klakson, hanya semilir angin dan deru mobil lewat. Gedung-gedung di pusat kota tidak tinggi, hanya dua sampai empat lantai. Tampak bersih dengan area parkir antar gedung yang lebar dan tidak penuh.
Ada Lapangan Sultan Omar Ali Saifuddien, bisa dibilang alun-alun Bandar Sri Begawan. Di sekelilingnya ada kantor pemerintahan modern, juga bangunan kolonial Inggris, tapi tetap khas Brunei. Melangkah kaki dari alun-alun beberapa menit akan tiba di kompleks pemerintahan: Sekretariat Perdana Menteri dan gedung-gedung kementerian. Hampir semua bernuansa Islam, modern dengan garis simetris, warna putih, dan kubah kecil di atasnya.
Yang paling megah adalah Istana Sultan—Istana Nurul Iman, kediaman resmi Sultan Hassanal Bolkiah. Istana ini disebut terbesar di dunia: 1.700 kamar dan 257 kamar mandi. Hanya kubah dan atapnya bisa terlihat dari jauh, karena halamannya luas dan tertutup pepohonan. Istana hanya dibuka setahun sekali, saat Idulfitri. Di hari itu masyarakat diundang, dijamu, dan bisa bersalaman langsung dengan sultan.
Perjalanan ke Brunei belum lengkap jika tidak ke Masjid Kiarong, merujuk pada lokasi tempat masjid berdiri. Nama resminya adalah Masjid Jame’ Asr Hassanil Bolkiah. Masjid berkubah emas ini dibangun untuk memperingati 25 tahun pemerintahan Sultan Hassanal Bolkiah, diresmikan tahun 1994. Lokasinya sekitar 4 km dari pusat kota. Di bagian depan, setelah pintu gerbang, ada taman luas dengan kolam air mancur dan jalan berpola marmer menuju bangunan utama. Empat menara megah menjulang dengan 29 kubah emas murni — menandakan Sultan Hassanal Bolkiah adalah sultan ke-29 Brunei Darussalam.
Sebagai warga Jakarta, halaman masjid terasa luas, namun bagian dalamnya tidak terlalu besar — kira-kira setara Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru. Interiornya menakjubkan: langit-langit tinggi dengan ukiran kaligrafi Arab, lampu gantung kristal besar di tengah ruang utama, jendela kaca patri berornamen rinci senada dengan lantai marmer putih berkilau. Ruang utama memberi atmosfer tenang dan megah. Siang hari masjid ini indah, tapi malam hari pesonanya makin kuat: kubah emas disinari lampu lembut, berkilau keemasan di langit gelap. Dari tengah jalan, saat malam, masjid tampak seperti istana — megah, tenang, dan sakral.
Masjid ini salah satu tujuan utama wisata di Bandar Sri Begawan. Waktu terbaik berkunjung adalah menjelang magrib, karena terjadi peralihan cahaya dari siang ke malam — temaram senja hingga malam gelap. Sebagai destinasi wisata, masjid bisa dikunjungi wisatawan nonmuslim, meski beberapa area tertutup untuk umum. Pengunjung nonmuslim wajib berpakaian sopan dan mengikuti tata cara masuk ke tempat ibadah. Terutama wanita, diwajibkan menutup aurat; jubah dan penutup kepala disediakan di pintu masuk utama.
Kampung Ayer: Mengenal Kehidupan Tradisional Brunei

Saya memulai dari Jetty Yayasan Sultan, dermaga yang menjadi gerbang menuju Kampung Ayer. Menyeberang menggunakan perahu motor secara charter, saya menuju pemukiman terapung terbesar di dunia yang telah ada sejak ratusan tahun lalu—sering disebut Venesia dari Timur. Di kampung ini ada banyak rumah, masjid, sekolah, kantor, dan rumah makan—semuanya dibangun di atas tiang di Sungai. Menoleh ke belakang, pemandangan kota menjauh; perahu kecil memasuki Sungai Brunei yang airnya tenang tanpa ombak, seperti melangkah ke masa lalu—jejak Brunei sebelum modern—di antara rumah-rumah kayu yang saling terhubung oleh jalan di atas air.
Secara tradisional, sebagian besar penduduk Brunei bermukim di kawasan tepi sungai dan pesisir. Kampung Ayer telah dihuni lebih dari 1.000 tahun dan masih terawat hingga kini. Rumah-rumah kayu berdiri di atas tiang dengan jembatan penghubung antarwarga dan antardusun—mencerminkan gaya hidup masyarakat Brunei masa lalu yang bergantung pada sungai dan pesisir sebagai sumber kehidupan dan transportasi. Aktivitas ekonomi tradisional masyarakat meliputi menangkap ikan, kepiting, membuat perahu, bertani, serta berdagang hasil laut dan hutan.
Baca juga: Taipei: Dari Taipei 101 hingga Stinky Tofu, Kota Modern Penuh Warna
Anak-anak bermain di atas jalan sempit, ibu-ibu mengasuh bayi, ada pula yang membawa belanjaan baru turun dari perahu. Ada sekitar 4.000 unit rumah dengan 15.000 penduduk tinggal di Kampung Ayer, di atas air seluas 10 km², tersebar di sekitar 40 dusun yang membentang 8 km di tepi Sungai Brunei. Saya sempat mampir di sebuah rumah yang difungsikan sebagai kedai kecil. Menunya khas Melayu—nasi lemak dengan lauk ikan bakar segar. Rasanya jadi lebih nikmat dan unik karena disantap ditemani angin sungai siang hari dengan pemandangan air dan perahu yang lalu lalang.
Kampung Ayer kini menjadi tujuan wisata yang dikelola pemerintah. Di sana ada Kampong Ayer Cultural & Tourism Gallery yang menampilkan sejarah, kehidupan tradisional, gaya hidup, dan kerajinan lokal. Kampung Ayer bukan satu kampung tunggal, melainkan kompleks besar pemukiman terapung yang terdiri atas puluhan dusun. Setiap dusun punya nama dan karakter sendiri. Ada Kampong Saba, kampung tertua yang penuh rumah kayu tradisional dan terkenal dengan pengrajin perahu serta tenunan. Ada juga Kampong Bolkiah A dan B, yang dibangun dalam proyek modernisasi oleh Sultan pada tahun 1990-an. Di sini rumah panggung sudah berbahan beton, tertata, serta memiliki prasarana air bersih dan listrik yang lebih baik.
Kontributor: Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSc, seorang Entrepreneur, Peminat dan Penikmat Kuliner
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.








