Oleh : Ika Cahyani
Milenianews.com – Motivasi adalah bahan bakar manusia dalam menjalani kehidupannya. Motivasi itu pula yang menjadikan seseorang mampu bangkit dan hidup lagi untuk meraih mimpinya. Namun, beberapa orang kesulitan menemukan motivasi dari dalam diri mereka. Penyebabnya ada bermacam-macam, bisa dari dalam dirinya, dari lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan, atau tak jarang juga dari lingkungan sekolah. Motivasi ada dan dibutuhkan untuk itu. Ibarat kata walaupun cahaya tak selalu memberikan penerangan bahkan tak jarang jadi amat menyilaukan, akan tetapi dengan cahaya seseorang mampu mengetahui arah atau tujuan hidupnya. Cahaya itu bisa apa saja, misalnya menjadi sebuah pendorong disaat mereka menceritakan keluh kesah kehidupan sehari-hari, pendengar disaat menceritakan permasalahan yang sedang dihadapi atau sekedar menyampaikan rasa di hati. Usia remaja merupakan usia yang sangat rentan dan usia yang penuh dengan berbagai gejolak rasa yang menjadikan mereka sensitif dengan perubahan lingkungan. Hal itu pun terjadi padaku, dan dalam tulisan ini akan ku ceritakan sedikit kisah yang mungkin bisa menjadi penyemangat dalam menjalani kehidupan, mungkin kisah ini banyak orang yang mengalami, akan tetapi di kesempatan ini inginku sampaikan bahwa aku bahagia dan senang menjadi bagian dari kisah ini. Dengan pengalaman ini aku belajar banyak dan bisa menentukan apa yang aku inginkan dan sukai sampai saat ini.
Namaku Ika Cahyani, nama yang tak pernah kutanyakan siapa yang memberikan. Teman-teman mengartikan namaku sebagai “Satu Cahaya”. Aku anak pertama dari 2 bersaudara. Ayahku bekerja sebagai wiraswasta atau lebih tepatnya ia adalah seorang “kuli bengkel”. Ayah memiliki bengkel bubut, sedangkan ibuku adalah seorang ibu rumah tangga. Ayahku orang yang kreatif, bekerja keras, dan selalu semangat dalam melakukan semua pekerjaannya. Begitu pula ibuku, seorang bidadari dari surga yang dikirimkan untuk ayah dan untuk melahirkan aku ke dunia. Merekalah yang mengajarkan apa arti kerja keras dan berbagi dengan sesama dan mengajarkanku akan kasih sayang kepada orang lain.
Langit cerah tidak selalu menandakan keadaan cuaca yang baik. Begitu juga dengan ku, yang mungkin terlihat baik-baik saja. Orang-orang tidak tahu bahwa aku menyimpan luka yang selalu aku tangisi di atas kertas, di malam-malam tidurku. Tahun 2010 aku masuk sekolah dasar. Orang bilang pada saat sekolah dasar adalah saat-saat yang menyenangkan bagi anak-anak. Tapi kupikir ceritaku tak seindah cerita orang lain yang memiliki banyak teman saat SD.
Pada tahun 2010 aku masuk sekolah. Di sana aku mengenal teman-teman yang berasal dari desa yang berbeda. Selain itu, aku juga bertemu tetangga depan rumahku, yang masih sangat asing dan tak ku kenal. Masih tak terbayang di benakku, usia yang belum genap 6 tahun aku sudah bisa membaca dan sudah bisa menulis, walaupun bentuk tulisanku masih meliuk-liuk seperti ular.
Ulangan harian pertamaku di kelas 1, nilaiku paling bagus di antara teman-teman yang lain. Saat itu aku senang sekali, tetapi tidak dengan salah satu temanku yang bernama Ria. Aku berteman dengan Ria dari kelas 1 sampai kelas 2 karena ia pindah sekolah pada saat kelas 3. Selama sekelas dengannya, aku merasa ia tidak pernah mengakui apa yang sudah ku dapatkan walau untuk hal kecil, seperti nilaiku yang lebih bagus dan aku mendapat teman lain. Saat nilaiku bagus, Ria tidak terima dan selalu mencoba untuk menjauhiku. Aku sedih sekali. Perlahan-lahan aku menangis karena dia menjauhiku dan itu membuat teman-teman yang lain juga melakukan hal yang sama. Aku pun jadi merasa tidak punya teman. Begitu besarnya kesedihanku sampai-sampai aku pernah sengaja menusukkan ujung pensil yang baru aku serut ke telapak tanganku sampai tanganku mengeluarkan darah agar aku bisa menangis. Namun ternyata, Ria tidak juga merasa bersalah atau bahkan meminta maaf.
Masa-masa itu sangatlah menyebalkan. Dua tahun bersama Ria aku hanya bisa menahan amarah dan tangisanku. Waktu itu dia sering memaksaku untuk melakukan hal yang tidak wajar, seperti melakukan tarian ala Ceribelle yang sedang populer saat itu. Aku juga pernah dipaksa untuk melakukan gerakan yang aneh lainnya. Aku melakukan karena aku takut tidak memiliki teman belajar. Hari berganti dan waktu berlalu, tiba saatnya aku penerimaan rapot dan waktu itu aku mendapat peringkat 4 untuk semester gasal di kelas 1. Saat memasuki semester genap hal yang aku benci dalam diam yaitu peringkatku yang menurun menjadi peringkat 7 atau 8. Hasil itu tetap membuatku naik kelas, walaupun dengan omelan ibuku yang tidak menerima alasan nilaiku turun. Saat aku kelas 2 SD, di mana ini adalah saat terakhir Ria sekelas bersama. Ria menyembunyikan baju olahraga yang akan dicuci ibuku. Ria menyembunyikannya bersama teman-teman lain dan mataku ditutup rapat memakai tangan temanku hingga tidak bisa melihat sisi manapun. Di saat itu Ria menyembunyikan baju olahragaku dan menyuruhku untuk mencarinya. Tapi aku tetap tidak menemukan baju itu, hingga akhirnya kami lupa karena setelah aku mencari baju itu tidak kunjung ditemukan, sampai-sampai bel masuk berbunyi untuk mulai pelajaran yang baru. Setelah itu aku pulang kerumah.
Pagi hari saat aku sarapan, ibuku menanyakan tentang baju olahragaku. Aku hanya terdiam ketakutan, takut bukan karena aku akan dimarahi, tapi aku takut Ria juga teman-teman lain dimarahi oleh ibuku. Benar saja ibuku mendatangi sekolah dan mencari baju olahragaku kemudian memarahi teman-temanku. Sesampainya aku di sekolah aku dijauhi oleh mereka dan aku dituduh membuat temanku yang bernama Nindy menangis karena permen berbentuk dot bayi yang berwarna merah diminta olehku, padahal bukan aku yang memakan permen itu sampai habis. Singkat cerita akhirnya kelas 2 SD berakhir dengan sangat menyebalkan dan menyedihkan. Setelah ibuku memarahi temanku yang menyembunyikan bajuku, Ria pindah ke Jogja dan aku disalahkan oleh teman-teman hingga temanku mengatakan aku suka mengadu dan mereka menjauhiku lagi.
Tibalah aku saat kelas 3, tahun 2012 musibah menimpa tubuh mungilku ini, banyak yang mulai mengatakan fisikku dan banyak juga yang sengaja menjambak rambutku, karena mereka menganggap Ria pindah sekolah karena aku. Aku sangat sedih dan menangis sepanjang malam, hingga suatu hari kakak sepupuku memberikan hadiah berupa buku diary berwarna kuning yang bertuliskan Disney Princess dan tidak lupa diary bergambar Minion berwarna kuning juga. Di dalam diary itu aku mulai menuliskan perasaan sedihku disekolah, diantaranya saat sedang senam jasmani, rambutku diikat 2 oleh ibuku, kemudian saat sedang senam rambutku ditarik kencang oleh seorang laki laki yang aku tidak kenal dengan kencang hingga kepalaku tertarik ke belakang. Bukan hanya itu, kelas 3 yang membuatku terluka yang hingga kini belum kunjung sembuh yaitu luka cubitan yang diberikan dari temanku yang bernama Ayub. Ayub duduk sebangku denganku waktu itu dan dia merupakan anak yang sedikit nakal terhadapku karena ternyata Ayub suka mencubit dengan keras.
Saat ujian matematika. “Kamu ngga boleh lihat jawaban aku ya sekarang, aku udah belajar dari semalem, kalo kamu nyontek aku cubit seperti kamu mencubit aku kemarin.” Mendadak Ayub memegang tanganku dan mencubitku sampai tanganku terpelintir dan lurus, rasanya sakit sekali dan membekas merah seperti darah terhambat yang ternyata hingga aku hidup selama 17 tahun luka itu belum juga mereda, dan bahkan masih sering aku rasakan sakit yang luar biasa pada bagian lengan tangan kanan. Aku menangis sesegukan dan temanku yang bernama Andel yang mengaku sebagai temanku, dia hanya bisa menertawakan aku dan berkata, “Sukurin, jangan pura pura nangis deh kamu”. Dia mengira aku bercanda, padahal aku sampai menangis dan memerah mukaku.
Itulah luka yang aku dapati selama kelas 3, sebetulnya masih banyak luka lainnya seperti dijambak dan dipukul oleh teman teman, bahkan tidak jarang juga aku diejek oleh teman teman karena memiliki tubuh yang kecil. Atas tubuhku yang kecil itulah aku diejek dan dikatai “Tulang Laboratorium IPA”, betapa sedih dan menangisnya aku saat mengetahui hal itu. Jarum suntik selama 5 tahun dari kelas 1 sampai kelas 4 semester 2 selalu memasuki tubuhku setiap tahun, itu karena aku selalu kelelahan dan akhirnya aku seringkali merasa setres dan menangis, namun orang tuaku tak tahu hal itu. Yang mereka tahu adalah aku memiliki penyakit tipes. Aku menjadi kuat menahan semua ceritaku di sekolah karena aku pernah mengadu kepada orang tuaku waktu aku disakiti oleh temanku tapi orang tuaku tidak terlalu mendengarkan dan mewajarkan hal itu. Cerita itu sudah abadi di dalam tulisanku, walaupun rasa sakitnya masih terasa sampai saat ini.
Ada satu hal yang tidak pernah aku lupakan lagi di antara kenakalan yang tidak wajar yang dilakukan oleh temanku yang hanya dilampiaskan kepadaku di antara satu kelas teman yang lain. Tulisan sebanyak 3 lembar untuk mata pelajaran Bahasa Inggris yang sudah aku tulis, dan buku itu dipinjam oleh Evid karena beralasan tulisannya tidak terlihat olehnya, saat buku dikembalikan betapa terkejutnya aku karena buku itu sudah dilabur oleh Evid dengan cairan Tipe-X hingga kertas itu kaku, dan aku langsung menangis karena aku sudah selesai menulis dan buku itu akan segera dikumpulkan kepada Miss Nana. Saat aku menangis tiba waktunya istirahat, aku masih menangis dan dia tidak mau meminta maaf kepadaku namun justru mengancam dan mengusir teman sekelas agar pergi dari kelas, sehingga di kelas hanya terdapat aku dan Evid saja. Evid mengancamku akan melempar kursi dan sudah diletakkannya 5 buah isi cutter yang masih baru di sebelahku yang bisa melukaiku bila aku bergerak.
Tahun berlalu aku menjadi suka menulis karena luka yang diberikan oleh teman temanku, semua aku curahkan kepada diary karena tidak memiliki teman cerita. Dari apa yang kualami, kita bisa belajar bahwa jadikanlah kejadian buruk yang kita alami sebagai motivasi diri untuk selalu memperbaiki diri dan jangan pernah merasakan dendam akan kejadian buruk yang pernah menimpa kita.
masyaallah keren sekali ka ikaa😦😍😍😍🤩