Milenianews.com, Bogor—Seklah Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor menggelar Sidang Promosi Doktor Pendidikan Agama Islam dengan promovendus Saroni, Kamis (11/7/2024). Ia mempertahankan disertasi berjudul “Pendidikan Kader Mubalig K.H. Achmad Sjaichu dan Aplikasinya di Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Depok”.
Sidang Promosi Doktor itu dipimpin oleh Prof. Dr. H. E. Mujahidin, M.Si. (rektor UIKA), dengan promotor Prof. Dr. H. Didin Saepudin, M.A., Adian Husaini M.Si., Ph.D., dan Prof. Dr. H. Hasbi Indra, M.A. Adapun penguji adalah Prof. Dr. K.H. Didin Hafidhuddin, M.S., dan Dr. Ir. H. Budi Handrianto, M.Pd.I.
Di awal pemaparannya, Saroni menjelaskan, di era globalisasi saat ini masih banyak kekurangan mubalig yang profesional, yakni mereka yang ahli pada bidangnya. Ia mengutip pernyataan K.H. Bahrudin toyib sebagai ketua FKPP Kota Depok, K.H. Abd. Syukur Yusuf sebagai Mudir Majlis Az-Zikra, Ust. Ali Wartadinata Pimpinan Wilayah Muhamadiyah Kota Depok, dan K.H. Oman Fatuhurrahman sebagai Direktur PonPes Al-Hamidiyah Depok.
Dengan kurangnya para mubalig ini, maka timbulah sikap dan prilaku yang tidak baik dimasayarakat seperti, pergaulan bebas, tauran dikalangan pelajar bahkan mahasiswa, korupsi dikalangan pejabat. Bahkan gejala-gejala kemerosotan moral akan terjadi sepeerti, kejujuran, keadilan, tolong menolong, dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal, adu domba, fitnah, menjilat, menipu, mengambil hak orang lain dan lain sebagainya. Melihat phenomena di atas, maka perlu adanya solusi yang cepat dan tepat juga yang lebih baik. Agar permasalahan tersebut but bisa diatasi.
Saat ini tugas dan tantangan mubalig bukan semakin ringan tapi semakin berat, besar, dan komplek. Diantara tantangan itu adalah:
- Longgarnya pegangan pada masyarakat terhadap ilmu agama.
- Kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat.
- Derasnya arus budaya materialis (Faham yang mengagnggap segala sesuatu adalah kebendaan atau bahagia dicapai dengan materi) hedonistis (Gaya hidup yang terfokus mencari kesenangan dan kepuasan), dan skularis (Kehidupan yang tidak berdasar pada agama, pemisahan antara agama dan kehidupan).
- Belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pihak pemerintah.
- Tidak profesionalnya seorang mubalig dalam menyampaikan pesan dakwahnya, mereka hanya mengandalkan popularitas, menyampaikan pesan dakwah dengan menghujat yang tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, dan syari’at Islam.
- Adanya elit politik yang hanya mengejar kedudukan, peluang, kekayaan dengan cara yang tidak benar.
- Juru dakwah yang tidak memadahi keilmuan sebagai seorang juru dakwah.
Melihat tantangan dan phenomena di atas, maka K.H. Achmad Sjaichu merasa terpanggil untuk melahirkan dan mencetak kader-kader mubalig yang profesional, kompeten pada bidangnya, yang mampu menjawab permasalahan umat dimasa depan. Dengan demikian K.H. Achmad Sjaichu menggagas suatu konsep untuk mencapai apa yang ia inginkan dan ia cita-citakan melalui konsep tersebut.
“Dalam pandangan K.H. Sajaichu, bahwa berdakwah bukan sesuatu hal yang mudah, akan tetapi bukan pula sesuatu hal yang dianggap sulit, kuncinya adalah kemauan yang kuat dalam melaksanakan dakwah. Namun demikian ada syarat dan kriteria yang harus dimiliki oleh mubalig itu sendiri. Atas kepedulian inilah maka ia mendirikan pesantren Al-Hamidiyah sebagai pendidikan kader mubalig di masa depan,” kata Saroni.
Di akhir pemaparannya, Saroni menyampaikan Kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, konsep pendidikan kader mubalig K.H.Achmad Sjaichu bertujuan melahirkan dan mencetak kader-kader mubalig yang profesional, berkompeten, dan mampu menjawab permasalahan umat dimasa depan. Kurikulum untuk mencapai tujuan itu K.H. Achmad Sjaichu memadukan pendidikan formal, melalui Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) dan kurikulum pondok pesantren.
Kedua, kekurangan dari konsep pendidikan kader mubalig K.H. Achmad Sjaichu adalah, belum terealisasinya kurikulum yang memasukan materi pembelajaran mengenai tulisan karya ilmiah secara komprehensif pada pesantren maupun pada Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah. Dengan pembelajaran penulisan karya ilmiah ini, diharapkan para santri dan mahasiswa memiliki kemampuan dalam melaksanakan dakwah bil-kitabah, selain dakwah bil-lisan dan bil-hal. juga belum diaplikasikannya pembelajaran kontemporer secara komprehensif pada Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah yang dimasukan pada sebuah kurikulum.
Ketiga, konsep pendidikan kader mubalig yang ideal adalah konsep yang memiliki tujuan, menjadikan mubalig profesional, berkompeten, berkualitas, yang mampu menjawab permasalahan umat. Kurikulum pendidikan kader mubalig yang ideal adalah kurikulum yang integral, komprehensif, memadukan aspek pembelajaran yang profesional, aspek keteladanan, aspek pembiasaan dalam ibadah, aspek penanaman akhlak mulia, aspek keterampilan komunikasi secara lisan maupun tulisan, mampu berbahasa asing sepereti Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Serta pemahaman terhadap tantangan dakwah kontemporer.
“Sidang dengan ini menyatakan Saroni lulus dengan predikat memuaskan, dan menjadi doktor UIKA Bogor yang ke-314,” kata Rektor UIKA Bogor Prof. Dr. H. E. Mujahidin, M.Si.
Seusai Sidang Promosi Doktor, Saroni mengungkapkan rasa syukurnya. “Saya bersyukur dapat menyelesaikan pendidikan dari sampai Program Doktor (S-3),” kata Saroni yang mendirikan Pondok Pesantren Said Yusuf di Kampung Parungbingung, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat.
Anak tukang ikan di Kampung Parungbingung itu juga bersyukur, walaupun ia berasal dari keluarga sederhana, ia berhasil mencapai jenjang pendidikan tertinggi. “Saya merasa bersyukur kepada Allah SWT, ternyata pendidikan itu bukan hanya milik orang berduit. Pendidikan itu milik siapa saja yang kaya atau miskin, tua atau muda. Asal ada kemauan yang kuat, maka ada jalan keluar dari Allah. Belajar itu ibadah, karena ini ibadah maka Allah mudahkan jalannya,” kata Saroni, yang juga dosen di STIDA Al-Hamidiyah Depok.
Dr. Saroni S.Ag, M.Pd. merupakan doktor kedua yang merupakan putra asli Kampung Parungbingung, sebuah kampung kecil di Kota Depok. Doktor pertama adalah Dr. Syamsul Yakin M.A., pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar, Kampung Parungbingung, yang juga merupakan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.