Seputar Atribusi Integritas dalam Ber-Kepemimpinan Etis

M. Dzaky Fadhillah, Mahasiswa STEI SEBI. (Foto: Istimewa)

Milenianews.com, Mata Akademisi– Ilmu pengetahuan terkini di bidang bisnis dan kepemimpinan dengan kuat menyatakan bahwa integritas pada dasarnya bukanlah sebuah konsep moral. Artikel ini menyajikan penjelasan tentang integritas kepemimpinan yang mempertahankan makna etisnya sambil mengidentifikasi struktur kognitif penting yang memperjelas kebingungan seputar atribusi integritas. Artikel ini dimulai dengan ulasan singkat mengenai diskusi historis, filosofis, dan bisnis mengenai integritas. Dengan menggunakan sumber-sumber terkait kajian ini, saya berpendapat bahwa integritas pada dasarnya, namun tidak eksklusif, merupakan sebuah konsep moral yang mendukung klaim etis dalam teori kepemimpinan. Saya kemudian meninjau teori kepemimpinan saat ini dan memperoleh definisi integritas sebagai konsep moral. Dengan menggunakan definisi ini, saya menjelaskan bagaimana integritas seorang pemimpin didasarkan pada komitmen pemberian identitas terhadap nilai-nilai yang sudah tercantum.

Pendahuluan

Umumnya kata integritas lebih banyak dikaitkan dengan kepemimpinan – entah dalam bidang apapun: dalam dunia bisnis, lingkup pemerintahan, lingkup organisasi, atau kemasyarakatan. Itu tidak berarti bahwa yang dituntut memiliki integritas itu hanyalah mereka yang berada di posisi kepemimpinan. Semua orang, khususnya orang-orang dewasa, teristimewa yang berpendidikan diharapkan memiliki integritas.

Jika orang berbicara mengenai integritas, pastilah pikiran yang muncul adalah seputar hal-hal yang serba positif, hal-hal yang terpuji. Jadi kata integritas memiliki konotasi etis yang sangat kental. Semua sikap dan perilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etis langsung dipandang sebagai yang bertentangan dengan integritas. Integritas sering disederhanakan maknanya sebagai kejujuran, kebajikan, berperilaku baik dan benar, atau bermoral. Maknanya seringkali berkembang dan dikaitkan dengan pencegahan korupsi. Integritas merupakan hal yang sangat penting bagi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) karena integritas menjadi dasar dari semua nilai pribadi seseorang.

Integritas dalam kepemimpinan menjadi perhatian yang makin berkembang dalam bisnis dan organisasi (Kanungo & Mendonca, 1996). Dunia bisnis menjadi ajang pertarungan tentang komitmen menjunjung tinggi nlai-nilai etis di tengah-tengah perburuan meraih sukses dilihat dari tolok ukur ekonomi yang kasat mata. Dunia bisnis memberikan banyak peluang untuk bisa melakukan segala cara demi meraih keuntungan sebagai tolok ukur utama keberhasilan. Makin besar suatu bisnis, akan makin besar peluang untuk menentukan apa yang akan dilakukannya, termasuk dengan mengabaikan kewajiban-kewajiban etis yang mengikatnya untuk diamalkan.

Metode

Penelitian dilakukan dengan Library Research, suatu studi pustaka yang dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber bacaan yang relevan dan tersedia, yang berkaitan dengan topik yang hendak dikembangkan pemahamanyna. Buku atau artikel jurnal yang berkaitan dengan topik yang dibahas dijadikan sebagai sumber bacaan, baik untuk memahami dengan baik buah pikiran dari tokoh yang buah pikirannya menjadi materi bahasan dalam tulisan ini maupun berbagai kajian atau tanggapan penting dan serius atas buah pikiran tersebut. Dari berbagai sumber bacaan yang digunakan itu, tulisan ilmiah ini dikembangkan.

Pembahasan

Pengertian Nilai Integritas

Integritas dapat diartikan sebagai dorongan hati nurani untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan tekat yang mulia. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, integritas artinya mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran. Sedangkan menurut Wikipedia, integritas adalah konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan. Definisi lain dari integritas adalah suatu konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip.

Dalam etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah hipocrisy (hipokrit atau munafik). Seorang dikatakan “mempunyai integritas” apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang dipegangnya (Wikipedia).

Integritas Seorang Pemimpin

Ciri seorang yang berintegritas ditandai oleh satunya kata dan perbuatan bukan seorang yang kata-katanya tidak dapat dipegang. Seorang yang mempunyai integritas bukan tipe manusia dengan banyak wajah dan penampilan yang disesuaikan dengan motif dan kepentingan pribadinya. Orang yang berintegritas adalah:

  1. Memiliki integritas pribadi;
  2. Berkepribadian utuh (setiap tindakan dan perilaku merujuk pada nilai dan etika);
  3. Satunya perkataan dan perbuatan;
  4. Patuh pada kode etik yang telah disepakati dan tidak melanggar sumpah jabatan;
  5. Tidak tergoda melakukan penyelewengan dengan wewenang yang dimiliki;

–           Konsumerisme dan hedonism

–           Tata nilai dan ukuran moral masyarakat yang salah

–           Manusia terpukau dan terpedaya oleh uang dan kekuasaan

  1. Menjadi panutan.

–           Nama – nama tokoh bangsa yang telah menanamkan nilai-nilai integritas dan dapat dijadikan panutan seperti: H. Agus Salim, Baharuddin Lopa, Hoegeng Iman Santosa, Mohammad Natsir, dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Penilaian atas integritas tidak bisa hanya didasarkan pada sikap atau perilaku yang kelihatan saja karena tidak selalu bahwa tindakan yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan penampakan atau wujud konkret atau ekspresi dari sikap moral atau pilihan dasar moralnya. Walaupun perilaku yang kelihtan di luar sering merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam pikiran atau hati seseorang, selalu saja bisa ada gap (jurang) antara apa yang ada di dalam (pilihan sikap moral) dengan tindakan yang diperlihatkan di luar. Di sini peran niat atau motif dari dalam sangat menentukan.

Integritas terutama terkait dengan niat atau motif seseorang dalam melakukan sesuatu. Niat atau motif yang tidak baik bisa saja dicapai atau diwujudkan dengan pilihan tindakan yang secara umum dinilai atau kelihatan baik. Orang yang kelihatan menolong orang lain, membagi-bagikan uangnya kepada orang yang susah/menderita, dengan mudah akan dinilai sebagai orang baik. Padahal jika ditelusuri lebih dalam, ternyata di balik tindakan-tindakannya itu dia memiliki niat atau motif yang tidak baik, yakni ingin menguasai banyak orang, mau berkuasa atas orang-orang lain.

Demikian juga halnya bisa terjadi orang dengan sengaja melakukan tindakan tidak baik namun dengan tujuan yang baik. Ilustrasinya dapat dilihat dalam film Robin Hood, yang mencuri demi menolong orang-orang miskin. Dia mencuri kepada orang-orang kaya, sehingga tindakannya itu tidak selalu mendatangkan penderitaan kepada orang-orang kaya itu, karena yang dapat dicurinya itu hanya sedikit saja dan barangkali tidak terlalu berarti bagi mereka. Namun hasil curiannya itu menjadi sangat berarti bagi orang-orang miskin yang menerimanya. Dalam sejarah pemikiran moral sikap seperti ini pernah dianggap sebagai sikap moral yang baik, finish  instificat medium, tujuan menghalalkan cara, tujuan yang baik membuat cara yang ditempuh untuk itu menjadi baik. Dalam pandangan seperti ini menilai suatu tindakan yang secara umum kelihatan buruk tidak bisa secara langsung dijadikan dasar untuk menilai pelaku tindakan itu sebagai manusia buruk juga, karena penentu utama adalah niat atau motif di balik atau yang melatarbelakangi tindakan yang kelihatan itu. Hal yang penting bukanlah tindakan, melainkan niatnya mau menjadi orang baik, yang berusaha mencapai tujuan baik. Bukan terutama what should I do? melainkan what kind of person should I be? Jadi bukan hanya bahwa perbuatan saya baik, melainkan lebih dari itu bahwa saya sendiri orang baik.

Pandangan yang terakhir dikemukakan pernah mendapat tempat bahkan kejayaan dalam sejarah pemikiran moral. Sekarang pandangan seperti itu tidak dianut lagi. Tujuan yang baik harus juga ditempuh dengan cara yang baik. Tidak pernah cara yang buruk berubah menjadi baik karena tujuan yang ingin dicapai di dalamnya baik. Perbuatan atau tindakan jahat tetap jahat dan tidak menjadi baik karena tujuannya baik. Jika orang mau mencapai tujuan yang baik, dia harus juga memikirkan dan memilih jalan atau cara yang baik untuk mencapainya.

Orang yang berintegritas selalu memikirkan untuk mengedepankan tujuan baik sekaligus menempuh cara-cara yang baik untuk mencapainya. Pertama-tama dia mau menjadi orang baik, what kind of person should I be, dan jika dia benar-benar orang baik maka semua tindakan-tindakannya pun harus baik. Jika orang tersebut masih memperlihatkan tindakan-tindakan tidak baik, pantas diragukan bahwa dia benar orang baik. Tindakan-tindakan baik yang dilakukan oleh seseorang, jika dia memang orang itu baik, hal itu merupakan ekspresi dari diri pribadinya yang memang baik.

Integritas dalam Dunia Kerja

Integritas harus dapat menyumbang pada perbaikan kehidupan, dan dalam konteks dunia kerja berarti perbaikan kinerja. Itu berarti integritas tidak hanya bersifat negatif saja, sekadar untuk tidak berbohong, tidak curang, atau tidak melakukan hal-hal yang tidak bermoral. Integritas harus juga memiliki sifat positif, yakni berbuat sesuatu untuk menghasilkan sesuatu, dengan suatu kualitas moral di dalamnya. Integritas diri harus mendorong pencapaian hasil baik dari diri sendiri, entah berupa kinerja baik atau pencapaian hal-hal baik dalam kehidupan. Jadi sifat negatif dan positif itu harus berjalan bersama. Seraya seseorang berusaha untuk tidak berbohong, tidak curang (mengendalikan diri), dia juga harus berbuat sesuatu untuk memperlihatkan hasil atau pencapaian yang baik.

Hal yang pertama, yang sifatnya negatif itu, suatu tindakan menaham dan mengendalikan diri itu, barulah tahap minimal dari perwujudan integritas, tahap maksimalnya justu dicapai ketika sifat positifnya itu muncul, berupa tindakan-tindakan baik yang menghasilkan sesuatu dengan kualitas baik. Umumnya dianggap bahwa tahap minimal itu berupa penghindaran (menahan dan mengendalikan diri) untuk berbuat yang tidak baik merupakan hal utama dalam hal integritas dan sifatnya wajib, sedangkan tahap maksimalnya, suatu tindakan menghasilan sesuatu yang berkualitas, merupakan harapan atau himbauan. Tapi dalam kaitan dengan dunia kerja, maka tahap maksimal itu bukan hanya himbauan atau harapan saja, melainkan suatu tuntutan, keharusan.

Berbiacara mengenai integritas di tempat kerja tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang kompetensi yang dimiliki oleh seseorang untuk bisa menghasilkan kinerja baik di tempat kerja. Kedua hal itu saling mendukung. Orang dikatakan makin memiliki integritas, dia makin memerhatikan kompetensinya juga; dan sebaliknya, orang makin memiliki kompetensi yang baik dia juga memerhatikan integritasnya. Orang yang memiliki kompetensi yang baik namun tidak memiliki integritas, maka kemampuan (kompetensi) yang baik itu bisa tidak menghasilkan kinerja atau hasil kerja yang baik. Demikian juga sebaliknya, orang yang memiliki integritas yang baik, namun tidak memiliki kompetensi yang baik, juga tidak bisa diharapkan menghasilkan kinerja yang baik pula.

 Prinsip Kepemimpinan Etis

Diskusi-diskusi tentang kepemimpinan etis selalu melibatkan konsep mengenai integritas personal. Integritas personal adalah sebuah atribut yang membantu untuk menjelaskan efektivitas kepemimpinan. Dalam penelitian lintas budaya tentang sifat-sifat esensial bagi efektivitas kepemimpinan, integritas dekat pada puncak daftar dalam semua budaya yang telah dipelajari. Kebanyakan cendekiawan mempertimbangkan integritas sebagai kebutuhan utama bagi kepemimpinan etis. (Bakker & Schaufeli, 2008)

Kepemimpinan etis adalah suatu istilah untuk menekankan keharusan menggunakan pertimbangan-pertimbangan etis serta menjadikannya landasan bagi pengambilan suatu keputusan atau tindakan. Ketika melakukan ekspansi suatu usaha, umpamanya membuka suatu operasi bisnis di tempat tertentu, maka yang menjadi pertimbangan bukanlah hanya soal untung yang bisa didapat dari perluasan bisnis itu. Dampak dari perluasan bisnis itu terhadap banyak pihak, khususnya bagi masyarakat setempat, mesti dipertimbangkan dan dijadikan salah satu dasar bagi pengambilan keputusan. Sangatlah tidak etis ketika perusahaan mendapatkan hasil atau keuntungan yang besar, tetapi masyarakat sekitar menderita kerugian, seperti pencemaran atau kerusakan lingkungan, dan sebagainya.

Sama seperti integritas pribadi yang terdapat sifat negatif dan positif, atau tahap minimal dan maksimal, kepemimpinan etis dalam suatu bisnis juga memiliki pembedaan seperti itu. Kewajiban minimal yang menjadi bahan pertimbangan adalah prinsip tidak merugikan orang atau pihak lain, dan kewajiban maksimalnya adalah membagikan keuntungan besar yang didapat itu kepada pihak-pihak yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam bisnis yang sedang dijalankan.

Secara moral kewajiban pertama atau kewajiban minimal itu merupakan suatu keharusan etis. Semua para pelaku bisnis harus bisa memenuhi keharusan itu. Harus ada komitmen tinggi (etis) untuk tidak merugikan orang atau pihak lain demi perolehan keuntungan bagi diri sendiri (perusahaan). Tidak boleh ada yang dikorbankan dalam usaha meraih tujuan pribadi atau perusahaan. Semua kerugian yang ditimbulkan akibat beroperasinya bisnis di tempat itu haruslah ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan. Harus memberikan ganti rugi yang layak, yang memenuhi rasa keadilan dan kebenaran. Limbah yang dihasilkan oleh pabrik harus diolah agar tidak mencemarkan lingkungan. Segala usaha ini haruslah maksimal, sehingga dijamin tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat sekitar, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

Kewajiban maksimal tidak disebutkan sebagai keharusan mutlak, melainkan lebih sebagai imbauan, ajakan moral untuk mau berbagi atas keuntungan yang didapatkan. Hal ini bisa dilakukan dengan bermacam cara. Intinya adalah tidak sekedar untuk tidak merugikan melainkan mau berbagi kesukaan. Ada istilah yang sering digunakan untuk tindakan seperti ini yakni tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih sering disebut CSR (corporate social responsibility).

CSR memang mengandung dua dimensi tersebut: kewajiban minimal dan kewajiban maksimal. Disebut minimal ketika aktivitas CSR itu lebih diarahkan untuk mengganti kerugian sebagai dampak dari operasi bisnis di tempat itu. Selebihnya, dinamai maksimal apabila yang dilakukan itu tidak hanya sebagai kompensasi menggati kerugian melainkan sudah merupakan tindakan berbagi kebahagiaan. Pelaksanaan kewajiban maksimal ini ada macam-macam cara atau wujud, dan selalu arahnya adalah membagikan sesuatu kepada masyarakat sekitar, entah dalam bentuk penyediaan atau pembangunan fasilitas layanan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, pemberian beasiswa, peningkatan layanan kesehatan, perbaikan rumah ibadah atau gedung pertemuan, membagikan sejumlah uang atau dalam bentuk pembagian kebutuhan pokok yang sering disebut sembako.

Penjelasan yang disampakan hanyalah salah satu contoh wujud dari prinsip kepemimpinan etis dalam organisasi, khususnya organisasi/perushaan bisnis. Ada banyak contoh dan wujud lain yang bisa disebutkan namun intinya adalah bahwa kepemimpinan yang dijalankan haruslah dengan sadar dan sengaja memasukkan pertibangan-pertimbangan etis dalam setiap pertimbangan dan pengambilan keputusan penting. Salah satu contohnya adalah seperti yang dijelaskan, bahwa kepemimpian etis selalu sebagai dasarnya adalah integritas pribadi seorang pemimpin yang menjalankan kepemimpinan dalam organisasi atau perusahan itu. Tanpa kepemilikan integritas diri yang memadai, maka kepemimpinan etis tidak akan terwujud. Semua berawal dan berdasar pada integritas personal.

Kesimpulan

Integritas banyak dikaitkan dengan sikap jujur, dapat dipercaya, bertanggung jawab, setia, dan dapat menahan diri. Semuanya itu merupakan kualitas baik yang bisa bahkan harus dimiliki oleh seseorang. Kualitas-kualitas seperti itu menjadi semakin mendesak adanya dalam diri seorang pemimpin. Hal ini terjadi karena posisi seorang peminpin sangat strategis dalam perjalanan suatu organisasi, termasuk organisasi bisnis. Pemimpin yang tidak memiliki integritas akan merusak perjalanan organisasi yang dipimpinnya, dan itu berarti kerugian besar bagi perusahaan dan bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya.

Dalam dunia kerja masalah integitas tidak bisa dilepaskan dari wujud hasil kerja baik atau prestasi. Oleh karena itu integritas tidak bisa dilepaskan dari atribut-atribut lain yang perlu dimiliki oleh seseorang. Kompetensi atau kemampuan dalam bidangnya menjadi sesuatu yang krusial dalam perwujudan integritas. Tanpa kompetensi, maka integitas akan sulit kelihatan, dan sebaliknya tanpa integitas maka kompetensi bisa tidak muncul dalam bentuk hasil kerja yang baik. Dengan demikian integritas dan kompetensi merupaka dua hal yang saling membutuhkan, yang akan menghantar pencapaian kinerja atau hasil kerja baik dan berkualitas.

Integritas menjadi modal sangat penting dalam perwujudan kepemimpinan etis, suatu kepemimpinan yang selalu menggunakan pertimbangan-pertimbangan etis dalam setiap kebijakan, keputusan atau tindakan yang diambilnya. Salah satu contoh wujud integritas dalam kepemimpnan etis dalam dunia bisnis adalah penerapan prinsip tidak merugikan orang lain (minimal) dan prinsip berbagi kebahagiaan bagi orang lain (maksimal). Secara etis prinsip pertama (minimal) merupakan keharusan, sedangkan prinsip kedua (maksinal) merupakan himbauan moral.

Ketika kedua prinsip itu dapat dijalankan dengan tulus, maka dampak positifnya bagi perusahaan sangatlah besar. Mereka yang merasakan pemenuhan prinsip itu oleh perusahaan akan meresponnya secara positif. Karyawan akan bekerja lebih sungguh-sungguh, dan masyarakat luas, khususnya masyarakat sekitar akan ikut mengamankan keberadaan perusahaan itu di tengah-tengah mereka. Respons positif seperti ini, dari karyawan dan juga dari masyarakat sekitar akan berdampak pada rasa nyaman bagi perusahaan, kinerja yang makin baik dari karyawan, dan tentu produktivitas yang makin tinggi. Semuanya itu akan mendatangkan keuntungan besar bagi perusahaan.

Daftar Pustaka

Bakker, A. B. & Schaufeli, W. B. (2008). Positive organizational behaviour: Engaged employees in flourishing organizations. Journal of Organizational Behavior, 29, 147–154.

Becker, T (1998). Integrity in organization: beyond honesty and conscienstiousness. Academic of Management Review, 23(1), 154–161.

Gauss, J. W. (2000, Aug). Integrity is integral to career success. Healthcare Financial Management, 54(8), 89.

Holian, R. (2002). Management decision making and ethics: Practices skills and preferences. Management Decision, 40(9), 862.

Kanungo, R. N. and M. Mendonca (1996). Ethical Dimenstion of Leadership. CA: Sage, Thousand Oak.

Penulis: M. Dzaky Fadhillah, Mahasiswa STEI SEBI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *