Milenianews.com, Bandarlampung- Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS tampil sebagai salah satu narasumber Focus Grup Discussion (FGD) “Optimalisasi Pengembangan Sektor Kelautan dan Perikanan” yang diadakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung di Hotel Sheraton Bandar Lampung, Selasa (20/12/2022).
Ia membawakan makalah berjudul “Strategi pengembangan perikanan budidaya berbasis Ekonomi Biru dan Teknologi Digital untuk peningkatan daya saing, pertumbuhan ekonomi inklusif, dan kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung secara berkelanjutan”.
Menurut Prof Rokhmin, revitalisasi usaha (bisnis) perikanan budidaya (aquaculture) bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi (keuntungan), daya saing, inklisivitas, dan keberlanjutan (sustainability) bisnis tersebut.
Revitalisasi bisnis akuakultur tradisional (bergantung pada alam, tanpa penggunaan teknologi) mesti ditempuh dengan meningkatkannya ke tingkat semi-intensif (dengan intervensi teknologi secara moderat): “Pertama, unit bisnis harus memenuhi skala ekonomi nya, yakni: besaran (ukuran) unit bisnis yang menghasilkan keuntungan bersih (net profit) yang memberikan penghasilan (income) minimal US$ 375 (Rp 5,6 juta)/bulan/orang,” kata Prof Rokhmin.
Kedua, menerapkan Best Aquaculture Practices (Cara Budidaya Terbaik): (1) pengunaan benih atau benur unggul yang SPF (Specific Pathogen Free, bebas penyakit), SPR (Specific Pathogen Resistance, tahan terhadap serangan penyakit), dan cepat tumbuh (fast growing) yang bersertifikat; (2) penggunaan pakan berkualitas dan cara pemberian pakan secara tepat dan benar, sehingga PCR = 1; (3) pengendalian hama dan penyakit; (4) manajemen kualitas air; (5) pond engineering; dan (6) biosecurity.
Ketiga, menerapkan Integrated Supply Chain Management System yang berarti rencana produksi usaha budidaya on-farm harus dipastikan dapat dipasarkan (dijual) dengan harga sesuai nilai keekonomian (menguntungkan pembudidaya, dan tidak memberatkan buyers atau konsumen), dan dijamin pemenuhan sarana produksinya (benih, benur, pakan, obat-obatan, listrik, dan-lain-lain.
“Keempat, menggunakan teknologi mutakhir yang terbaik (Blue Economy dan Industry 4.0 Technology) pada setiap mata rantai pasok,” ujar Prof Rokhmin yng juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).
Baca Juga : Prof Rokhmin Tegaskan Pentingnya Indonesia-Taiwan Tingkatkan Kerja Sama Kelautan Berkelanjutan
Kelima, menerapkan prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development): (1) lokasi usaha budidaya sesuai RTRW; (2) intensitas budidaya (padat penebaran) < daya dukung lingkungan mikro (kolam, tambak, KJA, dan lain-lain); (3) intensitas budidaya di dalam suatu kawasan < daya dukung lingkungan makro (kawasan); (4) zero-waste dan zero-emission dengan menggunakan energi terbarukan seperti energi matahari, angin, bioenergi, panas bumi, dan energi kelautan.
“Keenam, memperhatkan biosecurity, yakni keselamatan spesies budidaya dan food bagi konsumen,” kata Prof Rokhmin yang juga ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara).
Permasalahan Perikanan Budidaya
Sebelumnya, di awal pembahasannya, Prof Rokhmin menyebutkan, baik di eksosistem laut maupun ekosistem payau dan darat, khususnya di Lampung, tingkat pemanfaatan perikanan budidaya pada umumnya masih jauh lebih rendah ketimbang potensi produksi lestarinya. Maka, peningkatan produktivitas dan produksi perikanan budidaya memberikan masih terbuka lebar.
Ia lalu memaparkan permasalahan dan tantangan pembangunan perikanan budidaya Provinsi Lampung pada khususnya dan nasional pada umumnya. Yakni, mayoritas pembudidaya perikanan, khususnya yang skala Mikro dan Kecil (tradisional), masih miskin (pendapatan < US$ 375 (Rp 5,625 juta)/bulan/orang) (Bank Dunia, 2022); sebagian besar unit bisnis (usaha) perikanan budidaya tradisional tidak menerapkan: (1) Economy of Scale (Skala Ekonomi); (2) Integrated Supply Chain Management System (Hulu – Hilir); (3) Best Aquaculture Practices (Cara Budidaya Terbaik); (4) Teknologi Mutakhir (Blue Economy, Industry 4.0 Technology) pada setiap mata rantai pasok; dan (5) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) à Kurang produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan à pembudidaya miskin dan kontribusi sektor Perikanan Budidaya (Aquaculture) bagi perekonomian Prov. Lampung (PDRB, ekspor, dan PAD) rendah.
“Sementara itu, perusahaan-perusahaan besar (korporasi) perikanan budidaya; seperti era tambak udang Dipasena dan Central Pertiwi Bratasena (CPB), perusahaan-perusahaan tambak udang yang tergabung dalam SCI (Shrimp Club Indonesia) Lampung yang menerapkan kelima kiat bisnis perikanan budidaya pada butir-2, sehingga maju dan makmur (berjaya); jiwa sosial-kemanusiannya rendah (gaji atau upah karyawan rendah, tidak ada jaminan ekonomi saat pensiun, dan kontribusi terhadap PDRB serta PAD pun rendah). Dengan perkataan lain, pertumbuhan ekonomi korporasi perikanan budidaya tersebut tidak bersifat inklusif,” ujarnya.
Baca Juga : Ada 12 Kelompok Iptek dan Keahlian yang Dibutuhkan di Abad Ke-21, Yuk Simak Apa Saja
Selain itu, ledakan wabah penyakit akibat penggunaan benih atau benur yang tidak unggul dan tidak bersertifikat (SPF, SPR, dan fast growing), kualitas air tambak/kolam/KJA yang buruk (tercemar berat) akibat manajemen pakan dan kualitas air yang tidak baik serta air baku berasal dari lingkungan perairan (sungai, danau, laut, dan lainnya) yang sudah tercemar (polluted); ketersediaan pakan berkualitas, terutama di kawasan-kawasan akuakultur (perikanan budidaya) yang terpencil (remote aquaculture areas), acap kali terbatas; dan harganya pun cenderung naik akibat semakin terbatasnya fishmeal (tepung ikan) sebagai sumber utama protein hewani berkualitas tinggi (top quality) untuk pakan udang ikan (pellet) dan penyebab lainnya; harga hampir semua sarana produksi yang berkualitas (benih, benur, pakan, obat-obatan, ALSINTAN, dll) di tingkat pembudidaya lebih mahal ketimbang di tingkat produsen sarana produksi.
“Harga jual komoditas hasil panen pembudidaya (ikan, udang, kekerangan, rumpu laut, dan lainnya) masih flutuatif dan relatih stagnant atau kalau pun naik, kenaikannya kecil. Profit margin (porsi keuntungan) sebagian besar dinikmati oleh processors dan traders,” ungkap Rokhmin.
Permasalahan berikutnya, kata dia, posisi tawar (bargaining position) sektor (investasi dan bisnis) perikanan budidaya dalam RTRW Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota pada umumnya lebih rendah ketimbang sektor properti, kawasan perkotaan, industri manufaktur, ESDM, pariwisata, dan lainnya à Akibatnya, lahan perikanan budiaya seringkali tergusur (dialihfungsikan ke) oleh sektor-sektor pembangunan lainnya, terutama yang seolah-olah “high profit and quick-yielding”; infrastruktur dasar (jaringan jalan, listrik, telkom, internet, air bersih, pelabuhan, bandara, dll) dan infrastruktur perikanan budidaya (saluran irigasi dan drainasi, sumberdaya air, hatchery, broodstock centers, dll) masih terbatas; pencemaran perairan danau, bendungan, sungai, dan laut sebagai sumber air untuk budidaya perikanan atau media langsung budidaya perikanan akibat aktivitas sektor-sektor pembangunan lainnya dan aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan; dampak negatip dari Perubahan Iklim Global, tsunami, gempa bumi, banjir, dan bencana alam lainnya; dan kualitas SDM pembudidaya perikanan, ASN, Dosen, Peneliti, LSM, dan stakeholdsers lainnya (pendidikan, pengetahuan, skills, expertise, etos kerja, dan akhlak) pada umumnya masih relatif rendah.
Di samping itu, Rokhmin menambahkan, dukungan inovasi teknologi maupun non-teknologi sangat rendah, akibat kinerja lembaga R & D di tingkat nasional maupun daerah yang rendah pula; suku bunga bank terlalu tinggi dan persyaratan pinjam rumit, karena usaha perikanan budidaya dianggap high risk; iklim investasi dan Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business); seperti perizinan, konsistensi kebijakan pemerintah, keamanan berusaha, dan kepastian serta keadilan hukum; masih kurang kondusif. Buktinya (indikatornya): investasi PMDN dan PMA di sektor KP Lampung masih sangat kecil; dan ebijakan politik-ekonomi atau makro pembangunan (moneter, fiskal, ekspor – impor, dan lain-lain) juga belum kondusif.
Menurut Rokhmin, permasalahan dan tantangan yang sifatnya internal Sektor KP mestinya dengan leading agencies Dinas KP Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat diselesaikan dalam waktu relatif cepat (1 – 5 tahun). Sedangkan permasalahan dan tantangan yang sifatnya lintas sektor dan lintas wilayah pembangunan (eksternal Sektor KP), penyelesaiannya perlu waktu lebih lama (jangka panjang). Artinya: solusinya (kebijakan dan program nya) dilaksanakan sekarang, tetapi dengan implementasi yang berkesinambungan (ada continuity), hasilnya baru dirasakan setelah 5 tahun.
“Dengan catatan bahwa ssegenap permasalahan dan tantangan diatas diyakini lebih mudah dan cepat diatasi dengan aplikasi Blue Economy dan Industry 4.0 Technology (Digital),” ujar Prof Rokhmin Dahuri yang juga Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-sekarang.