Milenianews.com, Mata Akademisi – Ilmu modern lahir dari revolusi rasionalisme Eropa pada abad ke-17. Ia membangun kerangka pengetahuan yang menekankan data empiris, metode ilmiah yang ketat, dan sekularisme yang secara perlahan menyingkirkan Tuhan dari proses pencarian kebenaran. Para filsuf seperti René Descartes dan John Locke menempatkan akal manusia sebagai sumber utama pengetahuan, sementara wahyu ilahi dianggap tidak relevan dalam memahami realitas.
Pandangan ini membentuk ilmu yang kuat secara metodologis, tetapi miskin secara metafisik. Alam dipahami sebagai objek netral yang dapat diteliti, dieksploitasi, dan dikendalikan. Akibatnya, ilmu modern sering kali bersifat fragmentaris: sains terpisah dari etika, teknologi terlepas dari nilai moral, dan kemajuan material berjalan tanpa arah spiritual.
Baca juga: Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu dan Relevansinya di Era Modern
Krisis Makna dalam Ilmu Modern
Keterpisahan antara ilmu dan nilai melahirkan berbagai krisis. Eksploitasi alam, ketimpangan sosial, dan kehampaan batin manusia modern menjadi bukti bahwa ilmu yang hanya berpijak pada materialisme tidak mampu memberi makna hidup. Ilmu memang berhasil menciptakan teknologi canggih, tetapi gagal menjawab pertanyaan paling mendasar manusia: untuk apa semua ini?
Ilmu modern ibarat kendaraan supercepat tanpa rem. Ia melaju dengan penemuan-penemuan luar biasa, namun tanpa kendali moral. Hasilnya adalah kemajuan yang mengagumkan sekaligus masalah yang kompleks—kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan manusia yang semakin terasing dari dirinya sendiri. Ini menunjukkan bahwa ilmu, betapapun canggihnya, tidak pernah cukup jika tidak disertai nilai yang jelas.
Tauhid sebagai Pusat Rekonstruksi Ilmu
Membongkar kerangka ilmu modern bukan berarti menolaknya, melainkan mengkritisi fondasi sekularnya. Visi ilmu Islami menawarkan jalan rekonstruksi dengan menjadikan tauhid sebagai pusat pandangan hidup. Dalam Islam, Al-Qur’an dan Sunnah menjadi fondasi yang mengintegrasikan akal, wahyu, dan pengalaman empiris dalam satu kesatuan yang harmonis.
Berbeda dengan modernisme yang memisahkan subjek dan objek, ilmu Islami memandang pengetahuan sebagai ibadah. Mencari ilmu bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ulama seperti Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun telah mencontohkan bagaimana observasi terhadap alam dapat dipadukan dengan hikmah ilahi, sehingga melahirkan ilmu yang etis dan berkelanjutan.
Ilmu sebagai Jalan Pengabdian, Bukan Sekadar Alat
Ilmu Islami tidak menolak metode empiris. Pengamatan, eksperimen, dan rasionalitas tetap digunakan, tetapi diarahkan pada tujuan yang lebih tinggi: kemaslahatan dan pengabdian kepada Allah. Ilmu tidak berhenti pada apa yang bisa dilihat dan diukur, tetapi juga menyentuh makna, tanggung jawab, dan nilai moral.
Dalam tradisi Islam, mempelajari fisika, biologi, atau astronomi berarti membaca ayat-ayat kauniyah Allah. Ibnu Sina, misalnya, mengamati alam dengan kesadaran bahwa setiap ciptaan mengandung tanda kebesaran-Nya. Ilmu menjadi hidup, sarat makna, dan menumbuhkan rasa takzim serta tanggung jawab terhadap alam semesta.
Membongkar kerangka ilmu modern harus dimulai dari pendidikan. Sains tidak cukup diajarkan sebagai kumpulan rumus dan teori, tetapi perlu dihubungkan dengan nilai keadilan, kepedulian lingkungan, dan etika kemanusiaan. Ilmu kimia tidak hanya diarahkan untuk menciptakan senjata, tetapi juga untuk mengembangkan obat dan teknologi penyembuhan. Ilmu pengetahuan harus menjadi sarana pembebasan manusia dari kebodohan, bukan alat penindasan atau kerusakan.
Baca juga: Pentingnya Berpikir Kritis dan Sistematis dalam Kehidupan Bermasyarakat: Perspektif Filsafat Ilmu
Menuju Peradaban yang Bermakna
Ilmu modern telah memberi kemajuan luar biasa, tetapi sering kehilangan arah. Ilmu Islami hadir bukan sebagai lawan, melainkan sebagai penuntun. Dengan fondasi tauhid, ilmu diarahkan untuk membangun peradaban yang seimbang antara kemajuan material dan kedalaman spiritual.
Perpaduan antara metode modern dan nilai Islam akan melahirkan ilmu yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga bermartabat dan beretika. Tujuan akhirnya bukan sekadar penemuan ilmiah yang terus berubah, melainkan kebenaran yang mengantarkan manusia pada kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
Ilmu, dalam pandangan Islam, bukan hanya membuat manusia pintar, tetapi menjadikannya lebih bijak, berakhlak, dan bertanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Dengan visi inilah, ilmu kembali menemukan arah dan maknanya.
Penulis: Naiza Amalia, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.













