Milenianews.com, Mata Akademisi – Sumatra, pulau terbesar ketiga di dunia, kembali menjadi saksi bisu bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah. Peristiwa banjir yang terjadi saat ini di beberapa daerah Sumatra telah memaksa ribuan warga mengungsi dan merusak ratusan rumah. Bencana tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian material yang besar, tetapi juga mengancam keselamatan jiwa manusia.
Penebangan hutan yang tidak terkendali serta perubahan iklim yang semakin ekstrem diyakini sebagai faktor utama di balik bencana ini. Dalam konteks tersebut, penting untuk memahami persoalan ini melalui perspektif ontologi lingkungan, yakni bagaimana hakikat keberadaan lingkungan dipengaruhi oleh tindakan manusia, khususnya penebangan hutan, serta dampaknya terhadap kehidupan masyarakat di Sumatra.
Penebangan Hutan: Lebih dari Sekadar Aktivitas Ekonomi
Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah apakah penebangan hutan semata-mata merupakan aktivitas ekonomi, ataukah terdapat aspek lain yang lebih dalam untuk dipertimbangkan. Di wilayah seperti Tapanuli, misalnya, curah hujan memang tinggi karena Sumatra bagian utara memiliki pola hujan sepanjang tahun atau dua puncak musim hujan. Saat ini, wilayah tersebut berada pada fase puncak musim hujan.
Namun, hujan ekstrem tidak otomatis berubah menjadi bencana. Tanah yang kehilangan daya serap akibat rusaknya hutan tidak mampu menahan tumpahan air hujan. Kondisi inilah yang kemudian memicu banjir besar dan longsor di beberapa provinsi di Sumatra.
Alih Fungsi Hutan dan Kerentanan Ekologis
Penebangan hutan dan penggantian kawasan hutan dengan kebun kelapa sawit di Sumatra Utara turut memperparah kondisi lingkungan. Kelapa sawit memiliki sistem perakaran yang dangkal dan tidak sekuat pohon hutan alami dalam menahan air hujan. Pola perkebunan sawit yang bersifat monokultur menyebabkan tanah menjadi rapuh dan mudah tererosi.
Masalah utama bukan terletak pada tanaman kelapa sawit itu sendiri, melainkan pada perubahan fungsi hutan menjadi lahan yang tidak seimbang secara ekologis. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan yang lebih bijak dan berkelanjutan menjadi kebutuhan mendesak untuk menjaga keseimbangan alam.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Dampak Sosial dan Budaya Penebangan Hutan
Penebangan hutan tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan, tetapi juga memengaruhi kehidupan sosial masyarakat lokal. Kehilangan sumber daya alam, konflik sosial, hingga peminggiran komunitas adat menjadi konsekuensi yang kerap muncul. Selain itu, nilai-nilai budaya dan tradisi masyarakat lokal turut tergerus akibat hilangnya situs adat dan perubahan pola hidup yang bergantung pada hutan.
Mengapa Hujan Deras Berubah Menjadi Banjir Bandang?
Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa di beberapa daerah Sumatra hujan deras dengan cepat berubah menjadi banjir bandang dan longsor. Banyak pihak menyebut kerusakan hutan sebagai penyebab utama, namun penting untuk memahami mekanismenya secara ilmiah.
Secara ekologis, hutan berfungsi sebagai sistem perlindungan alami. Tajuk pohon menahan sebagian air hujan sehingga tidak langsung jatuh ke tanah. Lapisan serasah dan pori-pori tanah hutan memungkinkan air meresap secara perlahan. Akar pohon mengikat tanah dan menjaga kestabilan lereng. Ketika hutan ditebang, fungsi-fungsi ini hilang. Air hujan langsung mengalir di permukaan, debit sungai meningkat secara cepat, dan tanah yang rapuh menjadi mudah longsor.
Selain itu, kerusakan hutan menghasilkan erosi dan sedimentasi yang mengendap di sungai, mengurangi kapasitas tampung air. Akibatnya, banjir semakin mudah terjadi, terutama saat hujan ekstrem yang dipengaruhi monsun atau siklon.
Hutan sebagai Sistem Perlindungan Alami
Ketika kawasan hutan sebagai penahan air alami hilang, wilayah tersebut kehilangan kemampuan ekologisnya untuk menahan limpasan air. Hujan yang turun langsung mengalir deras ke sungai dan memicu banjir bandang. Oleh karena itu, menjaga hutan bukan sekadar isu lingkungan, melainkan persoalan keselamatan manusia. Hutan bukan dekorasi alam, melainkan sistem perlindungan alami bagi kehidupan.
Banjir dan longsor yang melanda Sumatra, termasuk yang terjadi di Tapanuli saat ini, bukanlah fenomena alam semata. Bencana tersebut merupakan akibat langsung dari hilangnya sistem perlindungan alami yang paling fundamental, yaitu hutan.
Ontologi Lingkungan dan Tanggung Jawab Manusia
Penebangan hutan secara tidak terkendali telah mengubah fungsi hutan dari “spons raksasa” dan “penahan tanah” menjadi lahan kritis. Ketika lapisan-lapisan penahan air hujan hilang, terutama di puncak musim hujan, aliran air meningkat secara drastis dan memicu banjir bandang. Tanah tanpa akar pohon menjadi rapuh dan mudah longsor saat jenuh air.
Dengan demikian, bencana di Sumatra perlu dipahami lebih dari sekadar persoalan ekonomi atau cuaca ekstrem. Ini adalah masalah ontologis yang menyangkut hakikat hubungan antara manusia dan lingkungan. Penebangan hutan tidak hanya merampas kayu, tetapi juga merusak fondasi kehidupan, mulai dari keselamatan jiwa, keberlanjutan sumber daya alam, hingga nilai-nilai budaya masyarakat lokal yang bergantung pada hutan.
Penulis: Azka Nafilatul Mazidah, Mahasiswa Institut Ilmu Al Qur’an ( IIQ )
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.











