Milenianews.com, Mata Akademisi – Prediksi mengenai kemungkinan Jakarta akan tenggelam di masa depan kini bukan lagi sekadar mitos. Prediksi ini lahir dari analisis ilmiah yang serius dan berbasis penelitian. Untuk memahami bagaimana para peneliti sampai pada kesimpulan yang mencemaskan tersebut, kita perlu menelusuri cara berpikir ilmu alam, khususnya peran hipotesis dalam menjelaskan fenomena alam.
Sebagai ibu kota negara, Jakarta sedang menghadapi tantangan besar berupa penurunan permukaan tanah dan kenaikan muka air laut. Kombinasi kedua faktor ini berpotensi membuat sebagian wilayah Jakarta terendam, bahkan hilang, dalam beberapa dekade mendatang. Dalam kerangka berpikir ilmu alam, kondisi ini dipahami sebagai hasil interaksi kompleks antara faktor alami dan aktivitas manusia yang berkaitan dengan siklus air, geofisika, serta perubahan iklim.
Baca juga: Banjir dan Longsor 2025 dalam Perspektif Ilmu Sosial
Penurunan Tanah dan Kenaikan Air Laut
Dari perspektif geologi, penurunan permukaan tanah di Jakarta terjadi terutama akibat pengambilan air tanah yang berlebihan. Air tanah yang berfungsi menopang struktur tanah dan sedimen di bawahnya terus berkurang karena eksploitasi intensif untuk kebutuhan rumah tangga dan industri. Ketika cadangan air tanah menyusut, lapisan tanah mengalami pemadatan dan penyusutan, sehingga permukaan tanah turun secara perlahan. Secara ilmiah, fenomena ini merupakan perubahan fisik tanah akibat berkurangnya tekanan air di dalam lapisan bawah tanah.
Di sisi lain, kenaikan permukaan air laut sebagai dampak perubahan iklim turut memperparah kondisi tersebut. Meskipun bukan penyebab utama amblesnya tanah, kenaikan muka air laut meningkatkan risiko banjir rob, terutama di wilayah pesisir. Daerah pesisir seperti Jakarta menghadapi ancaman banjir yang semakin tinggi dan semakin sulit dikendalikan.
Kenaikan air laut juga meningkatkan potensi intrusi air laut ke wilayah dataran rendah. Kondisi ini menciptakan situasi darurat yang membahayakan kelangsungan hidup manusia dan ekosistem. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa sejumlah wilayah pesisir, seperti pesisir utara Jakarta, Semarang, dan sebagian wilayah Jawa Timur, berisiko mengalami banjir rob yang semakin parah. Dari sudut pandang ilmu alam, perubahan ini tidak hanya berdampak pada aspek fisika dan geologi, tetapi juga memengaruhi ekosistem mangrove, salinitas air, serta pola aliran sungai.
Ilmu Alam sebagai Peringatan Dini
Kerangka berpikir ilmu alam dan hipotesis telah memindahkan isu “Jakarta tenggelam” dari ranah spekulasi ke ranah fakta yang terukur. Nilai utama dari pendekatan ilmiah ini adalah kemampuannya menunjukkan akar masalah sekaligus membuka jalan menuju solusi. Jika penyebab utama penurunan tanah adalah eksploitasi air tanah, maka kebijakan pengelolaan sumber daya air harus menjadi prioritas utama.
Melalui pemahaman ilmiah tersebut, kita diingatkan bahwa masa depan ibu kota tidak semata-mata ditentukan oleh takdir, melainkan oleh pilihan dan tindakan kolektif manusia. Ilmu alam telah memberikan peringatan yang jelas beserta arah solusinya. Kini, tanggung jawab untuk bertindak berada di tangan manusia sebagai pengelola lingkungan.
Deforestasi dan Bencana Ekologis di Sumatera
Fenomena serupa juga terlihat pada bencana alam yang terjadi di Sumatera. Peristiwa ini mengingatkan kembali pada wawancara Harrison Ford dengan pejabat Indonesia pada tahun 2013, yang menyoroti korelasi langsung antara deforestasi dan meningkatnya risiko banjir. Hilangnya hutan sebagai “spons alami” akibat alih fungsi lahan besar-besaran menyebabkan air hujan tidak lagi terserap, melainkan langsung mengalir ke permukaan dan memicu banjir bandang serta erosi.
Di berbagai platform, bencana di Sumatera sering dikaitkan dengan cuaca ekstrem. Padahal, bencana ekologis semacam ini berpotensi terus berulang apabila kondisi ekosistem diabaikan. Dalam sebuah ekosistem, seluruh unsur saling berkaitan. Ketika hujan deras turun, tanah yang gundul dan sungai yang menyempit tidak lagi mampu menampung debit air, sehingga banjir bandang dan longsor menjadi ancaman tahunan yang semakin parah.
Ekosistem, Eksploitasi, dan Konsekuensi
Masalah muncul ketika manusia memodifikasi alam tanpa pemahaman mendalam terhadap pola ekologi. Mengubah satu komponen ekosistem tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap sistem secara keseluruhan dapat menimbulkan konsekuensi serius. Misalnya, konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit sering dianggap menguntungkan secara ekonomi. Namun, dampak jangka panjangnya jauh lebih besar, mulai dari terganggunya siklus air, kerusakan tanah dan kualitas air, hingga kontribusi terhadap perubahan iklim.
Hutan tropis memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan siklus air melalui proses penguapan, pembentukan hujan, dan aliran air yang stabil. Penebangan pohon secara masif mengurangi jumlah uap air yang dilepaskan ke atmosfer dan meningkatkan limpasan air hujan di permukaan, yang pada akhirnya memperbesar risiko banjir di wilayah sekitar.
Setiap sumber daya yang diambil dari alam selalu membawa keuntungan sekaligus konsekuensi. Ketika pohon ditebang untuk kepentingan industri atau pertanian, keuntungan finansial memang dapat diraih. Namun, ada biaya tersembunyi yang harus dibayar, seperti hilangnya habitat, pelepasan karbon yang tersimpan, serta terganggunya siklus air yang memicu banjir dan longsor.
Ketidakadilan Ekologis dan Tanggung Jawab Manusia
Ironisnya, dampak kerusakan lingkungan paling besar justru dirasakan oleh masyarakat setempat. Mereka yang tidak terlibat langsung dalam perusakan hutan harus menghadapi banjir, pencemaran air, tanah longsor, dan kerusakan sumber daya alam. Sementara itu, pihak-pihak yang mengambil keputusan atau memperoleh keuntungan dari eksploitasi sering kali tidak tinggal di wilayah terdampak dan tidak menanggung risiko tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan lingkungan juga merupakan persoalan keadilan sosial.
Bencana alam sering dipandang sebagai peristiwa mendadak, padahal sejatinya merupakan akumulasi dari berbagai keputusan yang diambil selama bertahun-tahun. Ekosistem yang kehilangan ketahanannya akan lebih rentan terhadap bencana. Jika lingkungan diberi kesempatan untuk pulih, risiko bencana dapat ditekan. Sebaliknya, jika kerusakan terus dibiarkan melalui izin yang longgar dan lemahnya pengawasan, masyarakat akan terus membayar harga mahal dari bencana yang berulang.
Baca juga: Ilmu Pengetahuan Islam: Integrasi Ilmu Naqliyah dan Aqliyah
Alam Tidak Pernah Kehilangan Apa Pun
Dalam perspektif ilmu alam, tidak ada yang benar-benar “hilang” di alam. Setiap unsur selalu berpindah dan berubah bentuk. Air hujan, misalnya, tidak pernah lenyap begitu saja. Ia harus meresap, mengalir, atau tertampung di suatu tempat.
Jika tanah masih memiliki tutupan vegetasi dan area resapan yang memadai, air hujan dapat masuk ke dalam pori-pori tanah, mengisi cadangan air tanah, lalu mengalir perlahan ke sungai. Namun, ketika permukaan tanah rusak akibat penebangan hutan atau tertutup bangunan, air kehilangan ruang untuk meresap. Akibatnya, air mengalir langsung di permukaan dan sering kali melewati wilayah pemukiman manusia, memicu banjir yang merugikan.
Melalui perspektif ilmu alam, masa depan lingkungan tidak bersifat misterius. Ia dapat diprediksi, dianalisis, dan dicegah, selama manusia mau belajar dari tanda-tanda yang telah diberikan alam dan bertindak berdasarkan pengetahuan ilmiah.
Penulis: ‘Adilatul A’la, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.













