Milenianews.com, Mata Akademisi – Tongkonan Ka’pun merupakan salah satu rumah adat Toraja tertua di Indonesia yang usianya telah melampaui 300 tahun. Rumah adat ini tidak hanya berdiri sebagai bangunan fisik, tetapi juga telah dihuni oleh 16 generasi dalam satu keluarga besar. Tongkonan Ka’pun terletak di Kelurahan Kurra, Kecamatan Kurra, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Bagi masyarakat Toraja, tongkonan bukan sekadar susunan kayu dan atap. Ia adalah pusat musyawarah keluarga dan adat, tempat penyimpanan silsilah leluhur, sekaligus ruang sakral pelaksanaan ritual adat seperti ma’nene, ritual penghormatan terhadap jenazah leluhur. Oleh karena itu, ketika Tongkonan Ka’pun diruntuhkan, yang hilang bukan hanya bangunan, melainkan juga ruang hidup nilai, tradisi, dan ingatan kolektif masyarakat Toraja.
Kronologi Konflik Agraria Tongkonan Ka’pun
Secara kronologis, konflik ini bermula dari sengketa agraria sejak tahun 2019. Pihak keluarga pemilik Tongkonan Ka’pun menegaskan bahwa bangunan tersebut bukan bagian dari objek gugatan. Klaim ini diperkuat oleh bukti genealogis serta pengakuan adat Toraja yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Namun, penggusuran paksa tetap dilakukan pada 5 Desember 2025. Peristiwa ini memicu kecaman nasional karena dinilai bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang menjamin perlindungan terhadap warisan budaya. Penolakan warga bukanlah bentuk perlawanan terhadap hukum, melainkan ekspresi penolakan atas penghancuran warisan budaya yang tak tergantikan.
Filsafat Ilmu: Lebih dari Sekadar Perspektif Hukum
Kasus penggusuran Tongkonan Ka’pun mengajak kita melihat persoalan ini bukan hanya dari sudut pandang hukum positif. Filsafat ilmu menghadirkan refleksi tentang benturan dua paradigma pengetahuan, yakni positivisme hukum formal dan etnosains sebagai ilmu berbasis kearifan lokal.
Benturan ini memperlihatkan bagaimana ilmu pengetahuan modern, yang berorientasi pada kepastian normatif, kerap mengorbankan esensi budaya yang hidup dalam masyarakat adat.
Positivisme Hukum dan Krisis Keadilan Epistemik
Positivisme hukum yang dipengaruhi pemikiran Auguste Comte menegaskan bahwa pengetahuan yang sah hanyalah yang bersumber dari fakta empiris dan objektif. Pengalaman subjektif, nilai spiritual, dan makna simbolik dianggap tidak relevan sebagai sumber kebenaran.
Dalam konteks ini, kebenaran direduksi pada dokumen legal seperti sertifikat tanah dan putusan pengadilan, termasuk Putusan Pengadilan Negeri Makale Nomor 184/Pdt.G/2019/PN Makale. Ketika putusan menyatakan lahan dapat dieksekusi, maka eksekusi dijalankan meskipun di atasnya berdiri rumah adat yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi.
Pendekatan ini melahirkan ketidakadilan epistemik, di mana nilai spiritual Tongkonan seperti siri’ dan karapasan diabaikan demi kepastian hukum formal. Tak heran jika publik menyebut peristiwa ini sebagai “luka peradaban” karena mengorbankan ikon budaya Toraja atas nama logika hukum yang sempit dan prosedural.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Etnosains: Tongkonan sebagai Dunia Kehidupan
Berbeda dengan positivisme, etnosains memandang pengetahuan sebagai hasil pengalaman kolektif yang diwariskan secara turun-temurun. Istilah etnosains berasal dari gabungan kata ethnos (bangsa atau suku) dan scientia (pengetahuan), yang menekankan cara masyarakat lokal memahami dunia secara holistik dan kontekstual.
Edmund Husserl, filsuf Jerman dan bapak fenomenologi, memperkenalkan konsep Lebenswelt atau dunia kehidupan. Dalam perspektif ini, Tongkonan Ka’pun dipahami sebagai dunia kehidupan masyarakat Toraja, tempat nilai Aluk Todolo, siri’, dan karapasan hidup dan dijalankan secara nyata dalam keseharian.
Putusnya Rantai Makna dan Identitas Budaya
Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa penghancuran simbol budaya berarti memutus dialog antara masa lalu dan masa kini. Dalam kasus Tongkonan Ka’pun, kehancuran fisik bangunan turut menghapus narasi identitas Toraja yang tidak dapat digantikan, meskipun dengan replika bangunan yang serupa secara visual.
Tongkonan bukan sekadar artefak, melainkan medium pemaknaan sejarah dan identitas kolektif yang hidup dalam kesadaran masyarakat adat.
Respons Publik dan Kritik Nasional
Anggota DPR RI Komisi III dari Fraksi Demokrat sekaligus Ketua Umum Ikatan Keluarga Toraja Nusantara (IKA TNUS), Frederik Kalalembang, menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan mendalam atas penggusuran Tongkonan Ka’pun. Ia menegaskan bahwa tongkonan merupakan warisan budaya Toraja yang seharusnya dilindungi dan diperlakukan secara khusus, bukan diruntuhkan layaknya bangunan biasa tanpa nilai sejarah.
Menuju Pendekatan Hukum yang Holistik
Dalam reinterpretasi filsafat ilmu nasional, warisan budaya seharusnya tidak dipandang sebagai beban konflik agraria, melainkan sebagai harta karun kebangsaan yang mampu menumbuhkan nasionalisme yang hidup dan berkelanjutan.
Penguatan Undang-Undang Cagar Budaya perlu dilakukan melalui pendekatan yang adil dan plural, dengan mengintegrasikan hukum formal dan ilmu adat. Dengan menggabungkan putusan pengadilan dan nilai lokal seperti kerapasan, Indonesia dapat mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.
Toraja dapat menjadi contoh nasional bagaimana kearifan lokal—seperti musyawarah dan harmoni sosial—dapat menjadi fondasi ilmu pengetahuan modern yang holistik, relevan, dan berkeadilan.
Hilangnya Tongkonan Ka’pun menjadi pengingat kolektif bahwa menjaga budaya bukan sekadar melestarikan kayu dan batu, melainkan merawat jiwa bangsa, sejarah yang sarat makna, serta pengalaman hidup masyarakat adat yang kaya akan warisan leluhur.
Penulis: Putri Adelia, Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.







