Milenianews.com, Mata Akademisi – Era digital telah membawa kemudahan luar biasa dalam kehidupan manusia, terutama dalam hal akses informasi dan komunikasi. Kemajuan teknologi memungkinkan individu untuk terhubung tanpa batas ruang dan waktu, namun di balik kemudahan tersebut, era digital juga menimbulkan problem psikologis yang tidak selalu tampak secara kasatmata. Tekanan mental berupa stres, kesepian, trauma, dan duka akibat kehilangan justru semakin sering dialami manusia modern.
Fenomena ini menunjukkan paradoks kehidupan digital: individu tampak baik-baik saja di ruang virtual, tetapi rapuh secara emosional di balik layar. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang tidak hanya bersifat teknologis, tetapi juga humanis dan spiritual. Artikel ini meninjau peran keluarga dalam proses pemulihan duka dan trauma, dengan merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW dan mengaitkannya dengan pendekatan psikologi modern agar relevan dalam konteks kehidupan digital.
Cyberbullying dan Dampak Psikologis
Perkembangan teknologi digital telah melahirkan bentuk kekerasan baru, seperti cyberbullying, di mana perundungan tidak lagi terbatas pada ruang fisik seperti sekolah atau lingkungan sosial. Perilaku ini merambah ke ruang digital melalui komentar kebencian, pesan anonim, dan tekanan sosial yang berlangsung terus-menerus.
Cyberbullying meninggalkan luka psikologis yang tidak tampak, namun berdampak serius terhadap kesehatan mental, khususnya pada anak-anak dan remaja. Tanpa pendampingan yang memadai, pengalaman tersebut dapat berkembang menjadi trauma berkepanjangan yang memengaruhi kepribadian dan relasi sosial seseorang. Oleh sebab itu, pendampingan keluarga menjadi penting agar duka yang dialami tidak berkembang menjadi trauma mendalam.
Teladan Nabi Muhammad SAW dalam Pendampingan Emosional
Dalam Islam, konsep pendampingan emosional tercermin secara nyata dalam teladan Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh, ketika salah satu putri Nabi kehilangan anaknya, beliau bersabda:
“Sesungguhnya milik Allah apa yang Dia ambil dan milik Allah apa yang Dia berikan, dan segala sesuatu telah ditentukan ajalnya. Maka bersabarlah dan berharaplah pahala dari Allah.” (HR. al-Bukhari no.1284)
Rasulullah SAW tidak hanya memberikan nasihat secara verbal, tetapi juga hadir secara langsung dan menangis ketika melihat cucunya berduka. Kehadiran fisik dan empati yang beliau tunjukkan menegaskan bahwa tangisan dan kesedihan adalah respons manusiawi yang sehat, serta merupakan bentuk rahmat yang Allah tanamkan di hati hamba-Nya.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Prinsip Konseling Duka Berbasis Keluarga
Dari hadis tersebut, beberapa prinsip penting dapat ditarik dalam konseling duka berbasis keluarga:
Kehadiran fisik sebagai penyembuhan – Pendampingan langsung memiliki peran vital dalam proses pemulihan psikologis.
Empati sebagai fondasi relasi keluarga – Ekspresi emosi yang sahih diakui sebagai respons alami terhadap kehilangan.
Dukungan sosial dalam menghadapi duka – Kehadiran anggota keluarga dan komunitas menegaskan bahwa duka sebaiknya tidak dipikul secara individual, melainkan secara kolektif.
Dalam perspektif psikologi modern, penyembuhan trauma menuntut adanya rasa aman, validasi emosi, kehadiran yang konsisten, serta relasi yang suportif. Menariknya, prinsip-prinsip ini telah diajarkan lebih dahulu melalui teladan Nabi Muhammad SAW.
Keluarga Sebagai Ruang Aman Emosional
Keluarga berfungsi sebagai ruang aman emosional, tempat individu mengekspresikan kesedihan tanpa takut dihakimi. Seseorang yang berduka sering kali tidak memerlukan solusi instan, melainkan kehadiran yang tulus dan empatik. Oleh karena itu, keluarga menjadi “ruang pulang” bagi jiwa yang lelah dan terluka, memungkinkan proses penyembuhan psikologis dan spiritual berjalan bersamaan.
Kesimpulan: Integrasi Spiritual dan Psikologis di Era Digital
Di tengah kehidupan digital yang serba cepat dan individualistik, manusia sering kehilangan arah, ketenangan, bahkan koneksi dengan dirinya sendiri. Islam melalui Al-Qur’an dan hadis mengajarkan bahwa duka bukanlah beban yang harus ditanggung sendirian. Keluarga memiliki peran sentral sebagai ruang pulang yang memulihkan, tempat hati yang retak dapat disatukan kembali.
Dengan meneladani sikap empati dan pendampingan Nabi Muhammad SAW, proses pemulihan trauma tidak hanya bersifat psikologis, tetapi juga spiritual. Pendekatan ini menawarkan fondasi yang lembut, penuh kasih, dan tetap kokoh bagi manusia yang hidup di tengah tantangan era digital.
Penulis: Siti Fatimatuzzahro, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.







