Milenianews.com, Mata Akademisi – Klasifikasi ilmu pengetahuan merupakan upaya sistematis para filsuf Islam dalam memetakan pengetahuan manusia agar selaras dengan tujuan penciptaan, yakni mengenal Allah dan mencapai kebahagiaan abadi (sa‘ādah). Dalam tradisi filsafat Islam, ilmu tidak dipahami sekadar sebagai akumulasi informasi, melainkan sebagai jalan menuju kesempurnaan manusia secara spiritual dan sosial.
Ibn Rusyd (Averroes), seorang filsuf besar dari Andalusia abad ke-12 yang dikenal sebagai pembela filsafat Aristoteles dalam Islam, membagi ilmu ke dalam dua kategori utama, yaitu ilmu nadhari (teoretis) dan ilmu amali (praktis). Pembagian ini merupakan refleksi harmonis antara wahyu Al-Qur’an dan kemampuan rasional manusia.
Menurut Ibn Rusyd, pengetahuan lahir dari pengenalan sebab-akibat terhadap objek indrawi (mudrak bi al-hawās) dan rasional (mudrak bi al-‘aql), dengan Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman utama yang mengandung kedua dimensi ilmu tersebut. Al-Qur’an sebagai mukjizat abadi tidak hanya berisi ajaran normatif, tetapi juga mendorong umat manusia untuk merenungkan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) dan tanziliyah (wahyu).
Hal ini ditegaskan dalam firman Allah QS. Ali Imran: 190:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa aktivitas berpikir dan refleksi intelektual merupakan bagian integral dari keimanan.
Ilmu Nadhari: Jalan Teoretis Menuju Ma‘rifatullah
Ilmu nadhari menurut Ibn Rusyd bertujuan untuk mengetahui dan mengenal (ma‘rifah) segala maujudat tanpa tuntutan pengamalan langsung. Tujuan utamanya adalah membangun keyakinan mendalam terhadap Allah sebagai wujud mutlak. Ilmu ini menjadi fondasi epistemologis bagi lahirnya kesadaran tauhid yang rasional.
Ilmu nadhari terbagi ke dalam tiga cabang utama, yaitu ilmu ta‘limiyyah (logika dan pendidikan), ilmu thabi‘iyyah (ilmu kealaman atau fisika), dan ilmu ilahiyyah (metafisika atau ketuhanan). Klasifikasi ini selaras dengan spirit Al-Qur’an yang mendorong manusia untuk merenungkan alam sebagai tanda-tanda kebesaran Allah.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ghafir: 67:
“Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah.”
Ayat ini mengajak manusia mempelajari proses penciptaan secara empiris, yang sejalan dengan pendekatan ilmu thabi‘iyyah dalam pemikiran Ibn Rusyd. Sementara itu, ilmu ilahiyyah tercermin dalam QS. Al-Ikhlas: 1–4 yang menegaskan prinsip tauhid sebagai dasar seluruh pengetahuan Islam.
Ibn Rusyd menegaskan bahwa tanpa ilmu nadhari, manusia tidak akan sampai pada ma‘rifat Allah. Al-Qur’an sendiri menjadikan akal sebagai instrumen utama berpikir, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah: 164. Dalam konteks kontemporer, ilmu nadhari menjadi relevan untuk mengintegrasikan sains modern dengan wahyu, sehingga ilmu pengetahuan tidak terjebak dalam materialisme sekuler.
Dengan demikian, ilmu nadhari bukanlah tujuan akhir, melainkan prasyarat menuju pengamalan ilmu secara nyata dalam kehidupan sosial.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Ilmu Amali: Aktualisasi Ilmu dalam Kehidupan Sosial
Berbeda dengan nadhari, ilmu amali bertujuan untuk diamalkan secara langsung dalam kehidupan manusia demi mencapai kebahagiaan (sa‘ādah). Ilmu ini terbagi menjadi tiga bidang utama, yakni ilmu akhlak (etika individu), ilmu pengelolaan keluarga (ekonomi rumah tangga), dan ilmu politik (tata kelola masyarakat dan negara).
Ibn Rusyd menekankan bahwa ilmu amali berfungsi membimbing manusia dalam bertindak secara benar dan adil. Hal ini selaras dengan kandungan Al-Qur’an yang sarat dengan hukum-hukum praktis, seperti muamalah dan munakahat.
Fondasi amali tersebut tercermin dalam QS. An-Nisa: 59 yang memerintahkan ketaatan kepada Allah, Rasul, dan pemimpin, serta menjadikan wahyu sebagai rujukan dalam menyelesaikan perbedaan. Ayat ini mencerminkan prinsip tata politik dan kepemimpinan yang berkeadilan.
Sementara itu, ilmu akhlak sejalan dengan QS. Al-Mu’minun: 1–11 yang menggambarkan karakter orang-orang beriman, dan pengelolaan keluarga berlandaskan QS. Ar-Rum: 21 tentang mawaddah wa rahmah dalam rumah tangga.
Ibn Rusyd menegaskan bahwa Al-Qur’an dan Hadis mengandung dimensi nadhari dan amali sekaligus. Oleh karena itu, wahyu tidak bertentangan dengan filsafat, melainkan saling melengkapi. Ketidakseimbangan antara teori dan praktik, menurut Ibn Rusyd, akan merusak umat: teori tanpa praktik menjadi sia-sia, sementara praktik tanpa teori menjadi buta.
Relevansi Klasifikasi Ilmu Ibn Rusyd di Era Modern
Klasifikasi ilmu yang ditawarkan Ibn Rusyd menghadirkan model integratif, di mana Al-Qur’an menjadi sumber utama, akal berfungsi sebagai alat, dan kebahagiaan menjadi tujuan akhir. Ilmu nadhari membangun iman melalui pemahaman ketuhanan, sedangkan ilmu amali mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sosial yang adil dan bermartabat.
Pemikiran ini tetap relevan di tengah tantangan modernitas, ketika umat manusia kaya akan sains tetapi miskin akhlak. Ibn Rusyd mengingatkan bahwa kemajuan ilmu tanpa fondasi etis dan spiritual hanya akan melahirkan krisis kemanusiaan.
Kesimpulannya, klasifikasi ilmu nadhari dan amali Ibn Rusyd dalam kerangka Al-Qur’an merupakan peta menuju kesempurnaan manusia. Ia menuntun manusia untuk mengenal Tuhan secara teoretis, mengamalkan nilai-nilai ilahi secara praktis, dan akhirnya mencapai kebahagiaan hakiki (sa‘ādah). Pemikiran ini menjadi ajakan reflektif bagi umat Islam untuk menghidupkan kembali ilmu sebagai jalan ibadah dan penguatan tauhid.
Penulis: Syauqi Rahmatul Auliya, Mahasiswa Institut Ilmu Al- Qur’an Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.








