Milenianews.com, Mata Akademisi – Istilah thoriqoh atau tarekat sudah sangat populer di Indonesia. Ia merupakan salah satu praktik keagamaan dalam Islam yang melibatkan dimensi lahir dan batin secara bersamaan. Secara etimologis, kata tarekat berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan, metode, cara, atau sistem.
Dalam konteks terminologis, KH Muhammad Sholeh bin Umar—yang dikenal sebagai KH Sholeh Darat—menjelaskan dalam kitab Minhajul Atqiya fi Syarhi Ma’rifatil Adzkiya ila Thariqatul Auliya bahwa tarekat merupakan pelaksanaan ibadah dengan kesungguhan penuh. Praktik ini menuntut seorang hamba untuk tidak memilih ibadah yang ringan semata, melainkan melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Secara teknis, tarekat diwujudkan melalui upaya menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan dengan metode riyadhoh, yaitu latihan ibadah yang dilakukan secara khusyuk dan konsisten.
Tarekat sebagai Pengamalan Spiritual
Sementara itu, M. Amin Syakur memandang tarekat sebagai pengamalan keagamaan yang bersifat otoritatif dalam arti penghayatan mendalam. Pengamalan ini dilakukan oleh seorang salik melalui amalan dzikir dan wirid yang memiliki mata rantai spiritual (silsilah) yang bersambung dari seorang mursyid kepada mursyid lainnya.
Silsilah tersebut terus berlanjut hingga kepada Rasulullah SAW, bahkan diyakini bersambung kepada Malaikat Jibril dan Allah SWT. Dengan demikian, tarekat tidak hanya dipahami sebagai praktik individual, melainkan juga sebagai tradisi spiritual yang memiliki legitimasi transmisi keilmuan.
Pada awal kemunculannya, tarekat merupakan praktik ibadah yang diajarkan secara khusus kepada individu tertentu. Rasulullah SAW, misalnya, mengajarkan dzikir dan wirid kepada sahabat-sahabat tertentu sesuai dengan kebutuhan masing-masing, terutama yang berkaitan dengan kondisi psikologis dan spiritual mereka.
Ajaran-ajaran khusus ini kemudian disebarkan secara terbatas, hingga pada akhirnya berkembang dan diterima oleh lebih banyak orang, meskipun tidak semua mampu mengamalkannya secara konsisten.
Peran Sentral Seorang Mursyid
Dalam ajaran tarekat, peran mursyid menempati posisi yang sangat penting dan dominan. Seorang murid tidak diperkenankan mengamalkan tarekat tanpa bimbingan seorang mursyid. Mursyid berfungsi sebagai pembimbing yang menilai benar atau tidaknya pengamalan spiritual seorang murid.
Peran mursyid tidak hanya terbatas pada pengawasan kehidupan lahiriah agar murid tidak menyimpang dari syariat Islam dan terjerumus ke dalam kemaksiatan. Lebih dari itu, mursyid berperan sebagai pemimpin kerohanian yang menjadi perantara spiritual antara murid dan Tuhannya.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Sejarah Perkembangan Tarekat
Menurut Harun Nasution, sejarah perkembangan tarekat secara garis besar melalui tiga tahap utama.
Tahap pertama adalah fase khanaqoh yang berlangsung sekitar abad ke-10 M. Pada masa ini, para sufi berkumpul di bawah bimbingan seorang syaikh dengan aturan yang belum ketat. Latihan spiritual dilakukan secara individual maupun kolektif, dan masa ini sering disebut sebagai periode keemasan tasawuf.
Tahap kedua adalah fase tarekat pada sekitar abad ke-12 M. Pada tahap ini, ajaran, metode, dan peraturan tasawuf mulai tersusun secara sistematis. Muncul pusat-pusat pengajaran tasawuf yang memiliki silsilah masing-masing, serta berkembang metode kolektif untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tahap ketiga adalah fase tha’ifah yang berkembang sekitar abad ke-15 M. Pada tahap ini, tarekat telah berbentuk organisasi yang memiliki cabang di berbagai wilayah. Tarekat tidak lagi sekadar metode spiritual, tetapi juga organisasi yang melestarikan ajaran syaikh tertentu, seperti tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syadziliyah.
Kemunculan berbagai tarekat dalam Islam pada dasarnya memiliki kesamaan latar belakang dengan munculnya berbagai mazhab dalam fikih dan berbagai firqah dalam ilmu kalam. Dalam tasawuf, keragaman tersebut dikenal dengan istilah thoriqoh.
Ulama dan Tradisi Baiat Spiritual
Banyak ulama besar yang setelah mendalami ilmu zahiriyah kemudian menempuh jalan ilmu batiniyah dengan berbaiat kepada mursyid pada zamannya. Imam Abu Hanifah, misalnya, berbaiat kepada Imam Ja’far ash-Shadiq selama dua tahun. Ia bahkan menyatakan, “laulā sanatāni lahalaka Nu‘mān”, yang berarti tanpa dua tahun berguru tersebut, Nu‘man akan binasa.
Tradisi baiat ini juga dilakukan oleh Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan Imam Ahmad bin Hanbal kepada para guru tasawuf terkemuka pada zamannya. Hal ini menunjukkan pentingnya peran mursyid dalam pembinaan spiritual seorang muslim.
Jumlah dan Ragam Tarekat
Dalam Ensiklopedia Islam disebutkan bahwa terdapat 44 tarekat yang diakui (mu‘tabarah) dan tersebar di berbagai wilayah dunia Islam, mulai dari Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syattariyah, hingga Tijaniyah dan Syadziliyah.
Keragaman tarekat ini menegaskan bahwa tarekat memiliki kedudukan penting dalam tradisi Islam, sejajar dengan mazhab fikih dan aliran teologi.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa tarekat merupakan jalan spiritual yang ditempuh oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan di bawah bimbingan seorang mursyid. Jalan ini tidak lepas dari tantangan dan rintangan, namun menjadi sarana pembinaan spiritual yang mendalam.
Abu Yazid al-Busthami menegaskan pentingnya peran guru spiritual dengan ungkapan terkenal: “man lam yakun lahu ustadzun fa imāmuhus syaithān”. Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka imamnya adalah setan.
Penulis: Faizah Gholiyah Baasit, Mahasiswi Institut Ilmu Al-Qur;an Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.







