Milenianews.com, Mata Akademisi – Maraknya penggunaan media sosial di kalangan anak muda tidak hanya membuka ruang kreatif, tetapi juga memunculkan berbagai bentuk kekerasan seksual di ruang digital yang mencerminkan masalah serius. Ruang digital kini menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari, namun keberadaannya membawa risiko yang jarang dibicarakan secara terbuka. Laporan Komnas Perempuan mencatat 1.791 kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) pada 2024, meningkat 40,8% dari tahun sebelumnya. Lonjakan ini menunjukkan bahwa ruang yang seharusnya menjadi tempat interaksi sosial, justru berubah menjadi area yang rentan terhadap kekerasan seksual, terutama bagi perempuan dan kelompok muda. Meskipun angkanya tinggi, data ini belum sepenuhnya menggambarkan keseluruhan kasus karena banyak korban memilih diam akibat takut disalahkan, diragukan, dianggap berlebihan, atau menerima cibiran dari lingkungan. Diamnya korban bukan sekadar sikap pasif, tetapi bentuk ketakutan terhadap penilaian mayoritas. Ketika keheningan menjadi pilihan yang dianggap lebih aman, fenomena ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual sangat relevan untuk dianalisis melalui teori Spiral of Silence yang dikembangkan oleh Elisabeth Noelle-Neumann. Sebuah teori tentang bagaimana suara minoritas secara perlahan ditekan oleh dominasi opini mayoritas.
Baca juga: Reaksi Sosial Otomatis Terhadap Media Digital
Menurut teori Spiral of Silence yang dikembangkan oleh Elisabeth Noelle-Neumann, individu memiliki kemampuan intuitif yang disebut quasi-statistical sense, yaitu kemampuan membaca apakah pandangannya berada dalam posisi aman atau berisiko. Ketika seseorang merasa pandangannya minoritas dan tidak didukung, muncullah fear of isolation, yaitu ketakutan akan dikucilkan atau ditolak. Rasa takut ini membuat orang memilih untuk diam. Semakin banyak orang memilih diam, semakin dominan suara mayoritas muncul, maka semakin tenggelam suara minoritas. Donsbach, Salmon, dan Tsfati memperjelas bahwa spiral ini dapat diamati melalui cara individu membaca iklim opini di sekitarnya, baik melalui interaksi sosial maupun media. Sementara itu, Glasser dan Salmon menekankan bahwa tingkat keterlibatan ego seseorang juga menentukan apakah mereka akan bersuara atau memilih bungkam. Jika isu yang mereka alami membawa risiko sosial tinggi, individu cenderung menahan diri. Keseluruhan konsep ini membentuk kerangka analitis yang kuat untuk memahami mengapa korban kekerasan seksual di ruang digital sering kali memilih diam.
Ketika teori ini dikaitkan dengan kondisi kekerasan seksual digital di Indonesia, pola spiral keheningan terlihat sangat jelas. Berdasarkan pohon faktor yang sudah di susun, yang mencakup variabel opini publik, tekanan sosial, peran media, dinamika relasi kuasa, serta aspek psikologis korban. Fenomena diamnya korban bukan hanya disebabkan oleh satu faktor tunggal. Menurut penelitian dalam tujuh referensi yang di kumpulkan menunjukkan bahwa korban sering kali merasa tidak memiliki dukungan sosial. Lingkungan digital dengan komentar yang menyalahkan korban, seperti “kenapa balas chat?”, “kenapa fotonya bisa bocor?”, atau “pasti ada kurang hati-hati.” Pola ini membuat korban merasa pengalaman mereka dianggap sepele. Ini sejalan dengan konsep perceived majority opinion. Dalam Spiral of Silence, ketika opini publik tampak tidak memihak korban, mereka semakin tidak berani mengekspresikan pengalaman mereka.
Aspek psikologis korban juga memperkuat spiral keheningan. Banyak korban merasa malu, bersalah, atau takut menjadi bahan pembicaraan. Menurut penelitian dalam jurnal-jurnal yang di jadikan referensi menegaskan bahwa rasa trauma, kecemasan, dan ketidakpastian membuat korban semakin sulit mengambil tindakan. Aspek ini muncul sebagai “ketakutan akan stigma,” “rasa tidak aman,” dan “keraguan diri.” Noelle-Neumann menyebut bahwa ketika seseorang tidak yakin apakah lingkungannya akan menerima pendapatnya, mereka cenderung memilih diam dan itulah yang terjadi pada korban KBGO.
Peran media juga sangat menentukan. Dalam pohon faktor yang kamu buat, media masuk sebagai variabel penting yang memengaruhi persepsi masyarakat. Media sering kali memberikan ruang yang tidak seimbang: isu kekerasan seksual sering diberitakan tanpa perspektif korban, bahkan terkadang sensasional. Jurnal literasi media dari salah satu referensi menunjukkan bahwa representasi korban dalam berita sering tidak empatik. Akibatnya, publik memandang korban sebagai pihak yang “kurang hati-hati” atau “ikut bersalah”. Menurut teori Spiral of Silence, media bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi membentuk persepsi tentang pendapat mana yang dianggap normal. Ketika media memperkuat pandangan yang meremehkan korban, maka suara korban semakin tenggelam dan spiral keheningan semakin dalam.
Relasi kuasa dalam ruang digital juga berperan besar. Seperti “ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban.” Banyak pelaku menggunakan anonimitas sebagai tameng. Anonimitas membuat pelaku merasa bebas, sementara korban merasa tidak berdaya. Penelitian dalam beberapa jurnal menunjukkan bahwa pelaku dengan posisi sosial lebih kuat, baik secara gender, usia, atau jumlah pengikut, mereka lebih mudah membungkam korban. Spiral of Silence menjelaskan bahwa ketika korban merasa pelaku memiliki kekuasaan lebih besar, suara mereka semakin kecil. Mereka merasa berbicara tidak akan mengubah apa pun, sehingga lebih memilih diam. Dukungan sosial adalah rujukan yang sangat menentukan apakah korban berani berbicara. Ketika korban melihat bahwa temannya atau lingkungan digital pernah mendukung korban lain, mereka lebih berani. Namun ketika mereka melihat banyak korban diserang balik atau dituduh mencari perhatian, mereka mundur. Dalam Spiral of Silence, fenomena ini disebut willingness to speak out, yaitu kemauan seseorang untuk berbicara ketika merasa mendapatkan dukungan dari lingkungan. Jika dukungan tidak ada, spiral keheningan terus berputar.
Baca juga: Love Bombing pada Generasi Z: Analisis melalui Teori Atraksi Interpersonal Byrne dan Clore
Pada akhirnya, fenomena kekerasan seksual di ruang digital tidak hanya soal interaksi dua orang, tetapi soal bagaimana masyarakat memandang isu ini. Spiral keheningan tidak akan berhenti jika opini masyarakat tetap memojokkan korban. Untuk memutus spiral ini, masyarakat perlu mengubah cara melihat korban dari objek yang harus disalahkan menjadi individu yang membutuhkan dukungan. Institusi pendidikan harus menyediakan sistem pelaporan yang aman dan tidak menghakimi. Media harus mulai menghadirkan sudut pandang yang empati dan tidak memperkuat stigma. Jika ruang berbicara dibuka lebih luas dan korban tidak lagi takut diisolasi, spiral keheningan dapat dihentikan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa keheningan korban adalah produk dari struktur sosial yang menekan, bukan kelemahan pribadi. Melalui perspektif Spiral of Silence dan didukung temuan dari tujuh jurnal yang digunakan, dapat disimpulkan bahwa suara korban bungkam bukan karena mereka tidak ingin bersuara, tetapi karena lingkungan sosial membuat mereka merasa suara mereka tidak pantas didengar. Ketika masyarakat mulai memberi ruang, mendukung korban, dan mengubah opini publik yang selama ini menempatkan korban sebagai pihak yang salah, maka spiral keheningan dapat dipatahkan dan suara korban dapat muncul kembali dengan keberanian yang baru.
Penulis: Firyal Kamilia, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.







