Milenianews.com, Mata Akademisi — Menjadi perempuan di era modern menuntut stamina yang utuh, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Dalam diri seorang perempuan, melekat berbagai peran sekaligus: sebagai individu, istri, ibu bagi anak-anaknya, serta anggota keluarga dan masyarakat.
Dalam konteks Islam, pemahaman mengenai posisi dan peran perempuan tidak dapat dilepaskan dari Al-Qur’an dan sumber ajaran Islam lainnya. Oleh karena itu, mengkaji perspektif Al-Qur’an tentang perempuan menjadi penting untuk memahami bagaimana Islam memandang hak, martabat, serta tanggung jawab perempuan secara utuh dan adil.
Kesetaraan Kemanusiaan dalam Al-Qur’an
Quraish Shihab dalam bukunya Islam yang Saya Pahami menegaskan bahwa Islam menekankan kesamaan kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan. Semua manusia diciptakan dari satu pasangan, sehingga keduanya memiliki derajat kemanusiaan yang setara.
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa [4]: 1, yang menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki berasal dari satu asal penciptaan yang sama. Dengan demikian, keduanya memiliki kedudukan spiritual yang setara di hadapan Allah Swt. Kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh ketakwaan.
Pengakuan Hak Perempuan dalam Aspek Sosial
Selain menegaskan kesetaraan spiritual, Al-Qur’an juga memberikan pengakuan terhadap hak-hak perempuan dalam ranah sosial dan kemanusiaan. Turunnya wahyu Al-Qur’an membawa perubahan besar terhadap tradisi penindasan perempuan yang mengakar kuat pada masa jahiliah.
Pada masa itu, kelahiran anak perempuan sering dianggap sebagai aib. Perempuan tidak dipandang memiliki peran sosial yang penting, karena tidak terlibat dalam peperangan, berburu, atau mencari nafkah. Akibatnya, tidak sedikit bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup, sebagaimana digambarkan dalam QS. An-Nahl [16]: 58 dan QS. Az-Zukhruf [43]: 17.
Penghapusan Praktik Diskriminatif terhadap Perempuan
Dalam tradisi Arab pra-Islam, perempuan juga diperlakukan sebagai harta warisan. Ketika seorang suami meninggal, istrinya berada di bawah kuasa wali dan sering diperlakukan sewenang-wenang, bahkan ada yang dinikahi oleh anak tirinya sendiri.
Al-Qur’an secara tegas melarang praktik tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nisa [4]: 22. Larangan ini menandai penghapusan sistem perlakuan tidak manusiawi terhadap perempuan dan mengangkat kembali martabat mereka sebagai subjek yang memiliki hak.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Perempuan dan Ruang Publik
Dalam ranah politik dan sosial, perempuan pada masa jahiliah tidak memiliki hak untuk berbicara atau menyampaikan pendapat. Keberadaan mereka di ruang publik dianggap tidak penting dan tidak berpengaruh.
Namun, dengan turunnya Al-Qur’an, posisi tersebut mengalami perubahan mendasar. QS. An-Nisa [4]: 7 menegaskan hak perempuan atas warisan. Selain itu, perceraian dibatasi secara ketat sebagaimana QS. Al-Baqarah [2]: 229, serta diberlakukan masa iddah sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan.
Hak Pendidikan dan Intelektual Perempuan
Al-Qur’an juga memberikan legitimasi terhadap hak perempuan dalam bidang pendidikan dan intelektual. Dalam QS. Al-Mujadalah [58]: 11, Allah Swt. menegaskan bahwa orang-orang berilmu, baik laki-laki maupun perempuan, diangkat derajatnya.
Ayat ini menjadi landasan kuat bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk belajar, berbicara, dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Perempuan Muslimah di Era Modern
Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad dalam bukunya Perempuan dan Al-Qur’an menjelaskan bahwa salah satu prinsip modernitas dalam Al-Qur’an adalah larangan memasuki wilayah yang tidak dikuasai ilmunya, sebagaimana QS. Al-Isra’ [17].
Makna ayat ini sangat luas dan mencakup pentingnya keahlian serta spesialisasi di berbagai bidang kehidupan. Perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mendalami ilmu sosial maupun ilmu eksakta, sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Membantah Stigma Pendidikan Perempuan
Di era modern, pendidikan perempuan semakin tinggi. Namun, masih muncul anggapan bahwa pendidikan tinggi bagi perempuan menjadi sia-sia karena pada akhirnya hanya berperan sebagai ibu rumah tangga.
Kisah Ibu Ratih Nur Esti Anggraini, PhD, alumni University of Bristol sekaligus ibu dari tiga anak, menjadi contoh konkret yang mematahkan stigma tersebut. Ia berhasil meraih gelar doktor di bidang Engineering Mathematics, bahkan menjalani kehamilan anak keduanya di awal masa studi S3.
Perempuan sebagai Pilar Generasi Masa Depan
Dalam menjalani peran sebagai peneliti, istri, dan ibu, Ibu Ratih menunjukkan kemampuan dalam mengatur prioritas. Tanggung jawab domestik tetap dijalankan tanpa menghambat pengembangan akademiknya.
Kisah ini menunjukkan bahwa perempuan berpendidikan tinggi tidak kehilangan perannya sebagai ibu. Justru sebaliknya, perempuan berilmu menjadi unsur penting dalam penciptaan generasi masa depan. Jika masa depan suatu bangsa ingin diperbaiki, maka perhatian terhadap perempuan menjadi sebuah keniscayaan.
Penulis: Azharia Nur, Mahasiswi Institut Ilmu Alqur’an Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.








