Konsep Musyawarah sebagai Landasan Demokrasi dalam Tafsir Al-Azhar dan Relevansinya

demokrasi deliberatif Habermas

Milenianews.com, Mata Akademisi – Konsep demokrasi berbangsa dirumuskan melalui demokrasi deliberatif Habermas, yaitu demokrasi yang bertumpu pada ruang publik, dialog rasional, serta proses musyawarah untuk mencapai konsensus, bukan sekadar kemenangan suara mayoritas. Demokrasi hanya dapat berjalan sehat apabila setiap warga memiliki akses setara terhadap informasi publik serta mampu berpartisipasi dalam diskusi untuk membentuk opini dan kehendak bersama yang rasional. Oleh karena itu, pemenuhan hak atas informasi publik menjadi prasyarat penting bagi terwujudnya demokrasi berbangsa yang adil dan setara.

Habermas dan Konsep Ruang Publik dalam Demokrasi

Habermas, seorang filsuf dan ahli teori sosial asal Jerman, menegaskan bahwa demokrasi deliberatif menuntut keberadaan ruang publik yang otonom dari negara dan pasar sebagai tempat warga mengartikulasikan kepentingan secara diskursif. Ruang publik yang ideal bersifat inklusif, tidak membedakan status sosial, agama, maupun kekayaan, serta hanya mempertimbangkan kekuatan argumen yang rasional.

Dalam konteks Indonesia, tradisi musyawarah mufakat mencerminkan praktik demokrasi deliberatif. Musyawarah tersebut menekankan dialog terbuka, penyesuaian pandangan antara mayoritas dan minoritas, serta upaya membentuk konsensus politik yang adil bagi semua golongan.

Musyawarah Islam dalam Perspektif Tafsir Hamka

Musyawarah memiliki legitimasi keagamaan yang kuat. Dalam QS. Asy-Syu’ara (42:38), Tafsir Al-Azhar karya Hamka menjelaskan bahwa prinsip pokok pengelolaan urusan bersama kaum beriman muncul setelah hubungan dengan Allah ditegakkan melalui salat dan ketaatan. Musyawarah dipahami sebagai mekanisme mengambil keputusan terkait kepentingan kolektif agar beban sosial dipikul bersama, sesuai peribahasa “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.”

Musyawarah tidak cukup berhenti pada dialog semata, melainkan wajib diwujudkan dalam tindakan gotong royong nyata untuk membangun masyarakat. Hamka menyebut pola ini sebagai dasar “demokrasi atau gotong royong” yang menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.

Hamka juga menegaskan bahwa musyawarah menjadi landasan normatif bagi sistem politik yang partisipatif, terbuka, dan adil. Secara teknis, bentuk musyawarah tidak menggunakan satu metode tunggal—baik langsung, perwakilan, maupun penunjukan—karena aspek praktiknya mengikuti perkembangan ruang dan waktu. Yang harus dijaga adalah ruh syura: keadilan, kebersamaan, dan tanggung jawab kolektif.

Demokrasi Bermusyawarah dalam Pandangan Gus Dur

Konsep demokrasi di Indonesia berkembang melalui pertemuan antara demokrasi modern dan budaya musyawarah. Menurut Gus Dur, Islam sebagai ajaran universal dapat berdialog dengan demokrasi untuk menegakkan keadilan, kebebasan beragama, dan perdamaian dalam kehidupan berbangsa. Demokrasi baginya tidak hanya dimaknai sebagai pemilu dan dominasi suara mayoritas, tetapi sebagai proses mengelola perbedaan melalui dialog terbuka dan damai.

Musyawarah dianggap sebagai mekanisme untuk melindungi hak minoritas dan mencegah tirani mayoritas. Demokrasi tidak hanya diukur dari lembaga formal, tetapi juga dari keterbukaan publik, partisipasi rakyat, dan kemampuan demokrasi untuk mengoreksi kekuasaan.

Bagi Gus Dur, musyawarah merupakan budaya dialog yang menolak kekerasan, menghargai perbedaan, dan berpihak kepada korban ketidakadilan. Karena itu, demokrasi Indonesia harus menjunjung martabat rakyat kecil dan memfungsikan musyawarah sebagai sarana mengoreksi ketidakadilan struktural.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Pelengseran Gus Dur: Demokrasi Tanpa Ruh Musyawarah

Keputusan politik yang menumbangkan Gus Dur sebagai presiden melalui Sidang Istimewa MPR sering dibaca melalui dua perspektif: formal dan etis. Secara prosedural, pemberhentiannya mengikuti mekanisme konstitusional. Namun, dari sisi etika demokrasi, proses tersebut minim ruang dialog substantif serta sarat manuver elite dan kompromi transaksional.

Ada ironi mendalam antara gagasan demokrasi yang ia perjuangkan dengan cara kekuasaan diperebutkan. Gus Dur memilih menerima pelengseran bukan karena takut melanjutkan kekuasaan, melainkan karena komitmennya untuk membela martabat manusia dan nilai kemanusiaan di atas jabatan politik. Ia mengikuti prinsip Mahatma Gandhi mengenai perlawanan tanpa kekerasan dan melanjutkan perjuangan melalui tulisan serta gerakan masyarakat sipil.

Gus Dur mengingatkan bahwa demokrasi tidak boleh berhenti pada legalitas prosedural tanpa kejujuran politik karena sistem demokrasi dapat disalahgunakan untuk menjatuhkan lawan melalui alasan hukum yang dipolitisasi.

Demokrasi Deliberatif Indonesia Masih dalam Proses Konsolidasi

Singkatnya, demokrasi deliberatif menekankan musyawarah sebagai dialog sejajar yang terbuka terhadap perbedaan serta berorientasi pada kemaslahatan umum. Dalam konteks Indonesia, prinsip ini berpadu dengan tradisi musyawarah mufakat dan gotong royong yang menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.

Keputusan Gus Dur menerima pelengseran mencerminkan komitmen terhadap martabat manusia serta keadilan sosial. Dari Tafsir Al-Azhar dan pemikiran Gus Dur, demokrasi dimaknai sebagai tatanan etis yang menjunjung kebebasan beragama, perlindungan minoritas, keadilan sosial, dan keberanian mengoreksi kekuasaan melalui budaya dialog yang inklusif.

Dengan demikian, demokrasi deliberatif Habermas dan tradisi musyawarah Islam menjadi fondasi visi demokrasi Indonesia yang ideal: demokrasi yang tidak hanya berorientasi pada prosedur, tetapi juga pada kejujuran politik, ruang publik yang sehat, dan penghargaan terhadap martabat rakyat kecil.

Penulis: Nur Aini Amilatus Sholichah

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *