Milenianews.com, Mata Akademisi – Bagaimana metode tahlili mengintegrasikan aspek bahasa, konteks ayat, dan latar belakang teologis Mu’tazilah dalam Tafsir al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari? Metode yang digunakan merupakan pendekatan komprehensif yang menafsirkan Al-Qur’an secara berurutan dari Surah Al-Fatihah hingga An-Nas. Pendekatan ini bersifat tafsili, dialogis, dan mengandalkan analisis linguistik sebagai fondasi untuk membuka makna ayat. Karakteristik tersebut sekaligus mencerminkan pengaruh kuat latar belakang intelektual Al-Zamakhsyari sebagai penganut Mu’tazilah yang menandai corak penafsirannya.
Karakteristik Metode Tahlili dalam al-Kasysyaf
Pendekatan tahlili yang diterapkan Al-Zamakhsyari sangat dipengaruhi oleh konteks historis kemunculan tafsir ini. Ketika berbicara mengenai persoalan teologis, pembelaan terhadap prinsip-prinsip Mu’tazilah tampak jelas melalui argumen-argumen yang ia hadirkan. Walaupun begitu, kualitas penafsirannya dari aspek bayan, balaghah, dan mukjizat bahasa Al-Qur’an diakui sangat tinggi. Hal ini menjadikan al-Kasysyaf tidak hanya bernilai linguistik, tetapi juga memiliki fondasi teologis yang kuat, meski memiliki dominasi corak bil ra’yi.
Integrasi Analisis Bahasa sebagai Fondasi Penafsiran
Sebagai ahli bahasa Arab, Al-Zamakhsyari sangat mengutamakan analisis kebahasaan dalam metode tahlili. Ia menguraikan makna kata secara mendalam melalui kajian sharaf, struktur nahwu, serta keindahan balaghah. Pendekatan ini digunakan sebagai pintu masuk utama untuk mengungkap haqa’iq al-tanzil atau hakikat wahyu. Kedalaman pengetahuan kebahasaannya bahkan disebut mampu membuka “wajah baru serta keindahan Al-Qur’an” melalui analisis yang tajam dan sistematis.
Untuk memperkuat interpretasi linguistik, Al-Zamakhsyari menggunakan penalaran rasional dan mengutip syair Arab klasik sebagai alat validasi makna. Bahasa tidak hanya digunakan sebagai alat bantu, tetapi menjadi jiwa keseluruhan penafsiran untuk menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an melalui sudut pandang kebahasaan.
Konteks Ayat dan Metode Dialogis
Al-Zamakhsyari mengintegrasikan konteks ayat melalui teknik dialogis khas menggunakan pola in qulta (jika engkau bertanya) dan qultu (saya menjawab). Pola ini membuat tafsirnya responsif, seolah-olah terjadi percakapan antara mufassir dan pembaca. Pendekatan ini secara aktif mengantisipasi pertanyaan dan keberatan pembaca terhadap makna tertentu.
Melalui pola dialogis tersebut, ia menjelaskan berbagai elemen kontekstual seperti asbabun nuzul, munasabah, hingga perbandingan lintas ayat. Integrasi konteks berfungsi melengkapi analisis bahasa yang telah dilakukan, sehingga makna ayat tidak hanya kuat secara struktur tetapi juga memiliki kedalaman historis dan argumentatif.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Dominasi Teologi Mu’tazilah dalam Penafsiran al-Kasysyaf
Latar belakang teologis Al-Zamakhsyari sebagai penganut Mu’tazilah memberikan pengaruh besar dalam tafsirnya. Hal ini terlihat pada pembahasan akidah seperti sifat Allah, takdir, dan konsep balasan di akhirat. Al-Zamakhsyari menggunakan pendekatan takwil rasional untuk menyelaraskan teks wahyu dengan logika akal.
Prinsip Mu’tazilah yang mengedepankan akal menyebabkan ayat-ayat yang dianggap bertentangan dengan logika ditakwilkan dari makna literal ke makna metaforis. Konsekuensinya, tafsir ini berbeda secara signifikan dengan karya-karya ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.
Lima Prinsip Pokok Teologi Mu’tazilah dalam Tafsir
Corak teologis al-Kasysyaf diwarnai oleh lima prinsip pokok Mu’tazilah:
tauhid, keadilan, janji dan ancaman, manzilah bayna manzilatain, serta amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam aspek tauhid, Mu’tazilah menafsirkan bahwa sifat-sifat Allah menyatu dalam Dzat-Nya dan menolak konsep sifat yang berdiri sendiri. Mereka juga berpendapat bahwa manusia tidak dapat melihat Allah di dunia maupun akhirat, serta meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk baru, berbeda dengan pandangan Sunni yang menganggap Al-Qur’an bersifat qadim.
Pada aspek manzilah bayna manzilatain, Al-Zamakhsyari memaknai pelaku dosa besar sebagai tidak kafir namun tidak mukmin sempurna. Pendekatan ini menegaskan posisi fasik yang menerima balasan berbeda di akhirat.
Menariknya, dalam pembahasan tertentu, Al-Zamakhsyari menunjukkan sudut pandang berbeda dari Mu’tazilah klasik. Misalnya, ia lebih condong bahwa Al-Qur’an merupakan kalamullah qadim, bukan makhluk baru sepenuhnya. Hal ini menunjukkan adanya fleksibilitas intelektual dalam penerapan metode tahlili-nya.
Metode tahlili dalam Tafsir al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari merupakan sistem penafsiran komprehensif yang mengintegrasikan tiga pilar utama: bahasa, konteks, dan teologi. Analisis linguistik menjadi fondasi utama yang mengungkap mukjizat kebahasaan Al-Qur’an. Integrasi konteks ayat dilakukan melalui metode dialogis yang hidup, menghadirkan respons langsung terhadap pembaca. Di sisi lain, latar belakang teologi Mu’tazilah memberikan warna rasional yang sangat kuat dalam penafsiran.
Kombinasi ketiga aspek inilah yang menjadikan al-Kasysyaf sebagai mahakarya tafsir yang berpengaruh dalam khazanah keilmuan Islam. Meskipun corak Mu’tazilah memicu kontroversi, nilai kebahasaan dan kedalaman metodologinya tetap menjadikan tafsir ini sebagai karya monumental yang menampilkan kapasitas Al-Zamakhsyari sebagai mufassir dan ahli bahasa tanpa tanding.
Penulis: Qori’atun Hafizoh, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.







