Milenianews.com, Mata Akademisi – Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi salah satu fenomena paling signifikan dalam sejarah modern. Artificial intelligence merupakan gabungan dari dua kata: artificial yang berarti “tidak nyata” atau “tidak alami”, dan intelligence yang merujuk pada kemampuan menalar, memahami, serta belajar. Hingga kini, ruang lingkup AI belum sepenuhnya ditetapkan sehingga definisinya tetap berkembang. Istilah artificial intelligence mulai diperkenalkan di Konferensi Dartmouth tahun 1956 oleh ilmuwan komputer John McCarthy, dan sejak saat itu AI terus menjadi fokus pengembangan teknologi global.
Jejak Awal AI Sejak Peradaban Kuno
Sebelum istilah modern ini hadir, konsep kecerdasan buatan dapat ditelusuri sejak zaman kuno. Adrianne Mayor dalam Gods and Robots: Myths, Machines, and Ancient Dream of Technology menjelaskan bahwa khazanah Yunani kuno sudah memuat gagasan kecerdasan buatan. Kisah robot perunggu Talos dan patung Medea menunjukkan imajinasi awal manusia tentang teknologi cerdas. Secara historis, konsep AI juga telah muncul sejak abad pertengahan melalui robot humanoid karya Al-Jazari pada 1206. Perkembangannya berjalan lambat, namun menjadi pondasi teknologi yang kita rasakan hari ini.
AI dan Transformasi Pendidikan Islam
Dalam dunia pendidikan Islam, kemunculan AI bukan sekadar inovasi ilmiah. Ia juga merupakan fenomena epistemologis dan filosofis yang memengaruhi cara ilmu diproduksi, ditransmisikan, dan diverifikasi. Pendidikan Islam yang bertumpu pada sanad, otoritas ulama, serta nilai spiritual kini berhadapan dengan realitas baru: mesin mampu menyusun, menghasilkan, bahkan menilai informasi dengan kecepatan yang melampaui kapasitas manusia. Struktur ini memunculkan peluang besar, tetapi juga ancaman epistemologis yang tidak bisa diabaikan.
AI bekerja berdasarkan inferensi statistik dan pola data. Kemampuannya sejalan dengan prinsip ilmu mantiq seperti qiyas, analisis relasi, dan penyusunan premis. Meski demikian, logika mesin berbeda secara hakiki dari logika manusia karena AI tidak memiliki niat, kesadaran nilai, atau tanggung jawab. Melalui sudut pandang ini, AI dipandang sebagai peluang bagi pendidikan Islam sekaligus ancaman serius bagi otoritas keilmuan tradisional.
Landasan Wahyu dalam Memahami Fenomena AI
Dalam QS. An-Nahl ayat 64 ditegaskan bahwa wahyu hadir sebagai penjelasan dan solusi atas perselisihan sosial manusia. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menegaskan bahwa tujuan utama wahyu adalah membimbing manusia menuju kebenaran, memperjelas jalan lurus, serta menghindarkan mereka dari kesesatan. Ayat ini relevan dengan AI, karena teknologi modern tetap membutuhkan arah nilai dan etika agar tidak digunakan secara keliru.
AI dan Logika dalam Konteks Islam
Kecerdasan buatan memiliki kesesuaian tertentu dengan logika formal Islam. Dalam fiqih kontemporer, AI mampu menemukan kesamaan sifat (‘illat) antar kasus yang kadang luput dari manusia. Teknologi ini dapat membantu kajian hukum fintech, rekayasa genetika, hingga problem digital modern. Selain itu, AI berpotensi melatih kemampuan analitis dengan mendeteksi fallacy, mengevaluasi argumentasi, serta menyusun silogisme.
Namun, AI tidak dapat menggantikan manusia karena logika keilmuan Islam melibatkan etika, maqashid, dan pertimbangan nilai. Mesin dapat menyusun argumentasi sah, tetapi tidak selalu benar secara moral. Karena itu, AI tidak boleh mengambil keputusan epistemik, melainkan berfungsi sebagai alat bantu dalam proses istidlal.
Gangguan Terhadap Sanad, Otoritas Ulama, dan Adab Ilmu
Tradisi keilmuan Islam sejak awal dibangun atas integrasi antara wahyu, akal, dan pengalaman. Pengetahuan tidak hanya berlandaskan logika, tetapi juga spiritualitas, hikmah, dan sanad. Dengan hadirnya AI, otoritas keilmuan dapat bergeser drastis. Santri atau mahasiswa kini mampu memperoleh jawaban agama tanpa halaqah, talaqqi, atau bimbingan guru.
Fenomena ini dapat menimbulkan “otoritas digital semu”, ketika AI dianggap lebih valid daripada ulama karena tampilannya ilmiah dan bahasanya rapi. Jika tidak diatur, AI dapat memutus mata rantai sanad dan melemahkan peran ulama dalam membimbing umat.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Risiko Fragmentasi Pengetahuan dan Pemahaman Tekstual
AI cenderung memfragmentasi informasi menjadi potongan data, bukan pemahaman holistik. Turats Islam mengajarkan konteks historis, estetika bahasa, dan hubungan antarbab. AI mereduksi nilai ini menjadi teks ringkas yang berpotensi menghilangkan makna mendalam. Akibatnya muncul pemahaman tekstualis tanpa perenungan spiritual, dan budaya instan menggantikan proses tafakkur yang sejatinya merupakan inti epistemologi Islam.
Perubahan Relasi Guru dan Murid
Dalam sosiologi pendidikan Islam, guru bukan hanya pemberi ilmu, tetapi juga teladan etika. Dengan hadirnya AI, guru beralih fungsi menjadi kurator pengetahuan, sementara murid dituntut lebih kritis menyaring informasi mesin. Jika tidak diperkuat, ketergantungan digital dapat melemahkan nalar kritis dan kedalaman analitis dalam pendidikan Islam.
Ketimpangan Akses dalam Pendidikan Islam
AI memunculkan ketimpangan baru antara pesantren modern dan lembaga tradisional. Institusi yang tidak memiliki fasilitas AI berisiko tertinggal dan kehilangan daya saing akademik. Metode talaqqi, musyawarah, dan munazharah juga dapat tergerus jika budaya instan menguasai ruang belajar.
Bias, Distorsi Makna, dan Tantangan Ideologi
AI dapat membawa risiko distorsi makna ayat atau hadis akibat keterbatasan membaca konteks, sejarah, atau maqashid. Selain itu, karena AI dilatih dari data global, ia berpotensi memuat bias budaya tertentu seperti sekularisme atau relativisme moral yang bertentangan dengan nilai Islam jika tidak dikontrol ulama.
AI sebagai Peluang Besar Bagi Pendidikan Islam
Terlepas dari ancaman tersebut, AI tetap menawarkan keuntungan besar. Teknologi ini dapat mempercepat digitalisasi kitab kuning, menganalisis ribuan hadis sekaligus, memetakan fatwa, serta menyusun hubungan antarteks secara cepat. Dalam penelitian, AI mempercepat pencarian referensi, memperluas akses, dan mempermudah pembelajaran personal.
AI juga dapat membantu ulama memahami perkembangan sains modern sehingga fatwa menjadi lebih relevan. Dengan pemanfaatan yang tepat, teknologi ini berpotensi memperkuat tradisi intelektual Islam di masa depan.
Penulis: Azizah Putri Rahma Dhania, Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













