Milenianews.com, Mata Akademisi – Lavender marriage merupakan sebuah hubungan antara pria dan wanita, di mana salah satu atau keduanya memiliki orientasi seksual yang berbeda, seperti halnya homoseksual. Hubungan semacam ini sering kali dibentuk untuk menyembunyikan orientasi mereka dari pandangan masyarakat. Banyak orang terlibat dalam pernikahan ini karena tekanan dari keluarga, lingkungan sosial, atau nilai-nilai agama, yang membuat mereka merasa tidak nyaman menunjukkan siapa diri mereka yang sebenarnya.
Istilah “lavender marriage” mulai digunakan pada awal abad ke-20 di dunia Hollywood. Pada masa itu, homoseksualitas dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan bahkan ilegal di banyak tempat. Selebriti dan tokoh terkenal yang memiliki orientasi non-heteroseksual terpaksa menyembunyikan identitas mereka demi melindungi karier dan reputasi yang mereka miliki.
Baca juga: Relevansi Kerangka Filsafat untuk Penelitian Sosial Modern
Secara umum, pernikahan dianggap sebagai lembaga yang memiliki makna tertentu, yakni penggabungan dua individu untuk menciptakan hubungan yang romantis, emosional, seksual, dan sosial. Dilihat dari sudut pandang esensialis, pernikahan memiliki karakter yang tetap dan harus berdasarkan cinta dan komitmen. Namun, lavender marriage menantang pemahaman tersebut.
Dalam praktiknya, pernikahan ini tidak memiliki dasar romantis, tetapi tetap diakui sebagai pernikahan yang sah secara sosial. Ini menunjukkan bahwa makna pernikahan dapat beragam, bergantung pada konteks budaya dan kebutuhan individu. Dari sudut pandang identitas ontologis, lavender marriage juga menunjukkan adanya perbedaan antara identitas internal dan identitas eksternal yang terlihat. Di dalam, individu dalam hubungan ini memiliki orientasi seksual yang berbeda dari apa yang mereka ekspos ke publik.
Mereka menjalani dua jenis kehidupan, yaitu kehidupan pribadi yang sungguh-sungguh dan kehidupan sosial yang hanya dibangun. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai ontologi—apakah identitas itu tetap dan esensialis, atau dibentuk oleh faktor sosial yang bersifat konstruksionis? Fenomena lavender marriage lebih mendukung pandangan bahwa identitas manusia adalah sesuatu yang fleksibel dan dapat dinegosiasikan.
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan adanya fenomena lavender marriage hingga saat ini, salah satunya adalah tekanan dari masyarakat dan keluarga. Harapan dari pihak keluarga dan budaya untuk menikah dengan lawan jenis sangatlah kuat. Stigma dan diskriminasi, serta ketakutan terhadap stigma yang berkaitan dengan orientasi non-heteroseksual, mendorong banyak orang untuk menyembunyikan identitas mereka.
Agama juga merupakan salah satu faktor, beberapa ajaran mungkin menolak hubungan sesama jenis, sehingga individu lebih memilih lavender marriage untuk memenuhi tuntutan yang bersifat religius. Keamanan dalam aspek finansial dan sosial juga menjadi pertimbangan, dalam beberapa kasus, pernikahan dengan lawan jenis dapat memberikan manfaat finansial atau sosial yang tidak bisa didapatkan oleh pasangan sejenis.
Lavender marriage dapat memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan mental individu yang terlibat, seperti stres dan kecemasan. Menyembunyikan identitas diri dapat menyebabkan stres yang berkepanjangan. Depresi dan ketidakmampuan untuk hidup secara autentik dapat menimbulkan perasaan putus asa dan kesedihan. Rendahnya harga diri, ditambah dengan perasaan terpaksa untuk menyembunyikan siapa mereka, dapat merusak percaya diri. Masalah dalam hubungan juga bisa muncul, kurangnya keintiman emosional dan fisik yang tulus mungkin mengarah pada konflik dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan.
Lalu, apakah lavender marriage dapat bertahan lama? Banyak lavender marriage yang dibangun untuk alasan pekerjaan atau sosial cenderung tidak bertahan dan sering berakhir dengan perceraian. Tetapi, ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi durasi ketahanan pernikahan tersebut. Kurangnya ikatan emosional karena minimnya ketertarikan romantis atau seksual dapat menjadikan hubungan terasa datar dan rawan konflik. Selain itu, harus bersembunyi untuk menutupi orientasi seksual orang lain menimbulkan banyak tekanan mental, yang menyulitkan untuk menjaga pernikahan.
Selain itu, sering terjadi ketegangan antara harapan sosial dan kenyataan yang bertentangan dengan kebutuhan individu untuk bebas dan mengekspresikan diri, yang dapat menyebabkan kekecewaan dan stres. Perbedaan tujuan hidup serta pandangan jangka panjang tentang perkawinan dan keluarga bisa berujung pada perceraian. Perubahan dalam konteks sosial dan meningkatnya penerimaan terhadap orientasi seksual non-heteroseksual membuat banyak selebritas merasa tidak perlu lagi menyembunyikan identitas mereka.
Ada beberapa cara untuk menjaga kesehatan mental dalam pernikahan apapun bentuknya, dan ini sangat penting. Beberapa langkah yang dapat diambil termasuk menjaga komunikasi yang terbuka, berbagi perasaan, kebutuhan, serta harapan dengan pasangan secara jujur. Memberikan dukungan emosional dan praktis kepada pasangan saat mereka menghadapi kesulitan hidup. Pelihara keintiman emosional dan fisik dalam hubungan. Jika menghadapi masalah, jangan ragu untuk mencari bantuan dari profesional seperti terapis atau konselor pernikahan.
Baca juga: Dari Barat Ke Indonesia: Sekularisasi Sebagai Fenomena Global Dan Lokal
Dapat disimpulkan lavender marriage adalah hubungan yang dibentuk antara seorang pria dan seorang wanita, dengan tujuan untuk menyembunyikan orientasi seksual non-heteroseksual yang dimiliki oleh salah satu pasangan, atau mungkin oleh keduanya. Hal ini biasanya terjadi karena pengaruh dari masyarakat, budaya, keluarga, atau agama. Fenomena ini menunjukkan bahwa ada aspek sosial dalam pernikahan yang tidak selalu didasari oleh cinta atau kedekatan emosional.
Dari sudut pandang ontologis, pernikahan lavender menggarisbawahi perbedaan antara identitas pribadi dan identitas sosial yang ditampilkan kepada orang lain. Namun, cara ini sering dapat berdampak negatif bagi kesehatan mental, seperti menyebabkan stres, kecemasan, dan masalah dalam hubungan. Ketahanan pernikahan jenis ini sering kali rendah karena adanya tekanan psikologis dan karena masyarakat semakin menerima berbagai orientasi seksual.
Penulis: Dini Sri Fauziah Ramadani, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













