Gerakan Transhumanisme: Etika Teknologi Manusia di Masa Depan

Etika Transhumanisme

Milenianews.com, Mata Akademisi – Imajinasi tentang bentuk manusia di masa depan sudah hadir sejak dulu, meski hanya hidup dalam dunia fiksi ilmiah. Namun, perkembangan teknologi digital, bioteknologi, kecerdasan buatan, serta nanoteknologi membuat gambaran tersebut semakin nyata. Dalam konteks ini, transhumanisme muncul bukan sekadar sebagai aliran pemikiran, tetapi juga sebagai gerakan aktif yang bertujuan memanfaatkan teknologi untuk mengatasi berbagai keterbatasan biologis manusia. Gerakan ini berakar pada keyakinan bahwa manusia memiliki kemampuan, bahkan tanggung jawab untuk mendesain ulang kodratnya.

Gerakan transhumanisme membawa satu tujuan utama: memutakhirkan potensi manusia jauh melampaui batas biologis alaminya. Keyakinan ini dibangun atas optimisme bahwa peningkatan tersebut suatu hari akan menjadi kenyataan, sebagaimana roda, vaksin, dan internet lahir di masa lalu. Dengan memodifikasi tubuh serta pikiran manusia, pendukung transhumanisme percaya bahwa manusia mampu menyelesaikan persoalan lama yang selama ini dianggap mustahil. Jika selama ini teknologi berada di luar tubuh manusia, langkah selanjutnya adalah menjadikan tubuh dan pikiran sebagai bentuk teknologi itu sendiri.

Meskipun transhumanisme dianggap sebagai puncak kemajuan yang mengarah pada kehidupan lebih panjang, mudah, dan makmur, gerakan ini juga memunculkan tantangan etika serius. Salah satu persoalan paling mendesak adalah ancaman terhadap keadilan dan kesenjangan sosial. Sejarah menunjukkan bahwa teknologi canggih pada awal kemunculannya selalu hadir dengan biaya tinggi, sehingga hanya dapat diakses oleh kelompok elit. Jika pola ini berlanjut, transhumanisme berisiko memperdalam ketimpangan dan menciptakan pembagian biologis yang radikal dan permanen.

Bayangkan dunia terbagi menjadi dua kelompok manusia.
Pertama, kelompok elit yang mampu membeli modifikasi genetik agar berumur panjang, menanamkan implan untuk meningkatkan kecerdasan, atau menggunakan anggota tubuh robotik yang memberi kekuatan luar biasa.
Kedua, kelompok masyarakat luas yang hanya memiliki tubuh alami yang mudah sakit, menua, dan terbatas. Perbedaan ini tidak lagi sekadar soal kekayaan, tetapi berpotensi membentuk kasta biologis permanen.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Dalam dunia kerja, manusia hasil modifikasi teknologi tentu lebih unggul dan mendominasi lapangan pekerjaan, sehingga menggusur pekerja tradisional dan memperburuk pengangguran. Kesenjangan juga dapat terjadi secara global: negara maju dengan dukungan teknologi akan semakin melesat, sedangkan negara miskin semakin tertinggal. Kondisi ini dapat memunculkan bentuk kolonialisme baru yang memanfaatkan keunggulan bioteknologi untuk menguasai masyarakat yang lemah.

Kemunculan era transhumanisme juga membawa perubahan besar di bidang kesehatan. Teknologi mampu meningkatkan kekuatan dan daya tahan tubuh melampaui batas alami. Namun, kemampuan ini hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu membiayainya. Kasus kontroversial seperti penggunaan kaki palsu canggih pada atlet lari menimbulkan pertanyaan etika: apakah hal tersebut adil, dan apa hakikat manusia sebenarnya? Begitu pula kehadiran teknologi seperti lensa mata berkamera yang berpotensi disalahgunakan untuk memata-matai, menghadirkan dilema antara kemajuan teknologi dan pelanggaran privasi.

Kemajuan teknologi seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh manusia. Karena itu, akses terhadap gerakan transhumanisme perlu diberikan secara adil. Pemerintah harus memfasilitasi warganya untuk mendapatkan teknologi, sekaligus melindungi mereka dari risiko penyalahgunaan. Pemerintah, ilmuwan, dan penyedia layanan transhumanisme perlu merumuskan strategi guna mengantisipasi ketimpangan sosial serta diskriminasi. Salah satu upaya adalah memberikan akses publik terhadap teknologi transhumanisme dengan biaya yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

Di tengah kompleksitas etika dan sosial ini, menolak kemajuan teknologi bukan solusi. Dunia kedokteran telah mengadopsi gagasan transhumanisme, seperti lengan buatan yang dapat merasakan sentuhan, implan pendengaran, dan terapi gen yang secara nyata meningkatkan kualitas hidup manusia. Kemajuan ini menegaskan perlunya batasan antara penggunaan teknologi sebagai alat pengobatan dan peningkatan kemampuan yang melampaui kodrat alami. Tanpa batas jelas, risiko penyalahgunaan serta ketidakadilan sosial akan semakin besar. Karena itu, regulasi yang kuat dan inklusif perlu diterapkan sebelum teknologi berkembang tanpa kendali.

Gerakan transhumanisme membuka pertanyaan mendasar tentang siapa kita dan apa tujuan kita sebagai manusia. Meskipun masa depan mungkin akan didominasi oleh manusia hasil rekayasa teknologi, perjalanan menuju masa depan tersebut harus dibangun di atas landasan etika yang kokoh: keadilan, hakikat identitas manusia, dan makna keberadaan. Tujuannya adalah terciptanya masa depan yang bermartabat dan membawa kebaikan bersama, bukan sekadar keuntungan bagi segelintir individu.

Pada akhirnya, transhumanisme bertujuan mengakhiri penderitaan manusia, termasuk penyakit dan kematian, melalui peningkatan teknologi pada tubuh dan pikiran. Namun, etika teknologi masa depan menuntut kewaspadaan terhadap dua risiko utama: ketidakadilan sosial dan ancaman terhadap hakikat manusia. Oleh karena itu, regulasi yang kuat diperlukan untuk memastikan akses adil, mencegah diskriminasi, serta menetapkan batasan etis yang jelas agar kemajuan ini memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia, bukan hanya kelompok tertentu.

Penulis: Fatimah Azzahra, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *