Judul buku: Neng Ning Nung Nang (Filosofi Jawa Kuna yang Menjawab Keresahan Manusia Modern).
Penulis: Setyo Hajar Dewantoro.
Penerbit: CV. Mahadaya Nusantara
Cetakan: Pertama, 2025
Tebal: 320+x hlm.
Milenianews.com, Ngobrolin Buku– Bangsa terbelah. Negara tak baik-baik wajah. Warganya gelisah. Elitnya rusak parah. Warisan kebijaksanaannya tenggelam oleh hal-hal remeh dan penetrasi nilai-nilai dari luar yang nyampah.
Apa yang harus dilakukan? Belajar kembali. Membaca buku lagi. Riset ulang. Mencerna warisan kebajikan yang ada. Dan, buku berjudul Neng, Ning, Nung, Neng sangat baik untuk jadi pembuka awal kesadaran diri.
Buku ini mengungkap filosofi Jawa kuno yang relevan untuk menjawab keresahan hidup manusia masa kini. Penulis menjelaskan tentang kesemestaan, konsep ketuhanan, psikologi manusia, dan hubungan manusia dengan alam (ekologi).
Dalam beberapa lembarnya, buku ini juga menyingkap beberapa mitologi Jawa yang maha luas dan enigmatik. Tetapi, inti ajarannya adalah progresif, transformatif dan revolusioner.
Tentu membaca karya dan warisan buku lama itu tak mudah. Ada jeda bahasa, beda suasana, kemiskinan literatur dan kandungan filosofis yang kadarnya tinggi (h.7). Apa solusinya?
Penulis memberikan kuncinya dengan hening dan penyaksian. Kita tahu, hening adalah kontemplasi. Sedang penyaksian adalah proses pengumpulan bukti atau fakta tentang suatu kejadian, peristiwa, atau tindakan dengan menggunakan saksi atau bukti langsung.
Artinya, kebenaran (substansi ajaran) bukanlah apa yang dipercaya; disangka; dikira-kira. Tetapi yang disaksikan, dengan ngelmu titen atau observasi. Dengan begitu, dibutuhkan keseriusan, fokus, makan waktu dan terbuka pada banyak narasi serta informasi.
Karenanya, ini bukan sembarang buku, melainkan ajakan untuk menyalakan kembali suluh kesadaran yang telah lama padam. Dan, padamnya api indonesia memang dimulai dari krisis diri dan kehilangan titik tumpu, titik sandar, titik tuju serta konsensus nilai (pancasila).
Singkatnya krisis kebangsaan. Sebuah bangsa yang mestinya ditakdirkan untuk me[neng] (berdiam diri), lalu he[ning] (menyepi), kemudian mere[nung] (bernalar) dan diakhiri untuk me[nang] dari segala jalan keputusan dirinya.
Tentu bukan menjadi pemenang dalam setiap lomba ketamakan kapital, tetapi menjadi pemenang untuk menakdirkan dirinya menjadi versi terbaik dari jiwa, raga dan hidupnya.
Kata neng-ning-nung dan nang merupakan filosofi yang diambil dari suara gamelan Jawa yang sering kita dengar di lagu, pewayangan maupun instrumentalia. Dari suara gamelan, para pujangga membuat maknanya sebegitu dalam dan ultima.
Buku ini berisi 13 bab dan meraksasa temanya ke langit Nusantara. Ditulis oleh guru spiritual yang otoritatif karena mempraktekkan keheningan batin (meneng); berhati lurus dan bening (wening); cerdas, terarah dan bertanggung jawab (dunung); dan terus berkiprah bagi warga negara (terutama murid-muridnya).
Atas alasan itu, buku ini sangat layak dikoleksi bahkan dijadikan hadiah untuk siapa saja agar terjadi virus kesadaran pancasila. Semoga mestakung.(*)
Resensor: Astika Wahyuaji (Spiritualis di Nusantara Centre)







