Mata Akademisi, Milenianews.com – Potret pejabat dengan gaya hidup hedon dan merasa hebat sama sekali tidak mencerminkan arti jabatannya. Jabatan yang seharusnya menjadi jembatan bagi masyarakat untuk mengadu dan meminta kesejahteraan justru dikotori dengan gaya hidup pejabat bak artis kelas atas.
Dalam naluri kemanusiaan, tidak ada larangan menggunakan harta untuk kemewahan dan menampilkan kekayaan yang serba ada, namun dari sisi moral, seorang pejabat yang masih menerima gaji dari rakyat membuat hati rakyat teriris. Bagaimana tidak? Rumah dengan segala fasilitas tersedia, pengawal super ketat diberikan, tunjangan beragam dibayar, kendaraan bagus lengkap dengan sopir, ditambah penghormatan yang luar biasa dalam setiap acara.
Pelajaran dari Pejabat Masa Lalu
Hal ini menjadi catatan dalam menilai sejauh mana kemampuan pejabat Indonesia melihat kondisi bangsanya yang tengah merangkak menuju perbaikan ekonomi. Mengulang kembali memori masa lalu para pejabat negeri ini pada masa awal kemerdekaan, sosok Bung Hatta tidak mampu membelikan mesin jahit untuk istrinya.
Baca juga: Danantara: Perawan di Sarang Penyamun
Syafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia saat pemimpin Indonesia ditawan Belanda pada agresi militer II, bahkan melarang istrinya mendapat fasilitas negara; sang istri harus berjualan gorengan untuk kebutuhan sehari-hari. Mohammad Natsir, pimpinan Partai Masyumi yang pernah mengemban jabatan Perdana Menteri, menggunakan jas yang ditempel dan dijahit, padahal beliau bisa membeli yang baru. Jusuf Wibisono, Menteri Keuangan pada masa Kabinet Sukiman, hanya memiliki satu jas dan hidup serba kekurangan. Dari mereka, para pejabat saat ini seharusnya merenung.
Para pejabat tersebut bukan tidak mampu hidup mewah; mudah bagi mereka meminta pada negara untuk kebutuhan dipenuhi, namun moral mereka menolak hal itu. Di tengah situasi ekonomi sulit waktu itu, mereka juga merasakan kesulitan hidup seperti rakyat lain. Pola ini seharusnya menjadi gaya hidup pejabat dengan gaya selangit hari ini.
Pada masa awal republik berdiri, mencari penghidupan bisa saja dilakukan dengan berbagai cara, termasuk mengais pundi-pundi rupiah melalui Belanda atau berbisnis yang legal, namun hal itu tidak dilakukan oleh pejabat Indonesia yang memiliki integritas dan loyalitas. Dalam menjalankan republik ini, diperlukan pemikiran dan hati yang saling berkesinambungan.
Moralitas Pejabat Masa Kini
Jika hari ini hampir setiap hari terlihat di tayangan nasional pejabat yang flexing, pejabat yang tertangkap suap, melakukan korupsi, atau tidak menepati janji, semua itu terangkum dalam moralitas yang bobrok. Bagaimana mungkin pejabat dengan gaji fantastis masih kekurangan harta, lalu mencari dengan korupsi atau suap? Atau mereka yang suka pamer di media bahwa hartanya berlimpah?
Dalam konteks dirinya yang menjabat sebagai pelayan masyarakat, sekalipun hartanya didapat dengan cara halal, bukan hal yang pantas mempertontonkan kemewahan. Di sekitarnya bisa jadi ada orang yang tidak makan, anak yang tidak mampu sekolah, atau orang tua renta yang hidup seorang diri tanpa ada yang mengurusnya.
Apakah semua pejabat bobrok moralnya seperti itu? Jika dikatakan semua, tentu berlebihan. Namun yang jelas, masih ada pejabat yang mengayomi, melayani, bahkan memberikan hartanya untuk kesejahteraan masyarakat. Lalu, apa akar masalah bobroknya moralitas pejabat hari ini? Akarnya ialah matinya rasa malu.
Dalam diri seseorang terdapat rasa yang disebut malu, dan ini merupakan modal utama pejabat dalam mengawal kebijakan agar tepat sasaran dan mencapai kesejahteraan. Namun realitanya, rasa malu hilang, digantikan kesombongan yang luar biasa. Pejabat merasa paling hebat karena jabatannya, merasa punya power karena koneksi ke pejabat lain, bahkan mengancam bagi yang tidak ikut perintahnya. Gaya-gaya feodal abad ke-18 seharusnya sudah tidak laku, tapi masih ada yang melakukannya hari ini.
Pemilihan Pejabat yang Bermoral
Para pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum menjadi tanggung jawab rakyat sebagai pemegang kuasa untuk menilai track record kepala daerah atau wakil rakyat yang akan membuat kebijakan dalam lima tahun mendatang. Jika sejak awal sudah termakan bujuk rayu yang memesona bak pujangga kasmaran, lima tahun ke depan rakyat akan merasakan pahitnya hidup karena kebijakan tak tentu arah.
Menilai calon pejabat dalam pemilu sebenarnya mudah dan efisien, dimulai dengan melihat dan mendengar sepak terjang calon tersebut: apakah ada kasus, berita buruk, atau masalah hukum. Berita ini mudah dicari, namun jika telah terkena siraman bujuk rayu, sepak terjang calon bukan lagi persoalan.
Dalam demokrasi, pemegang kuasa utama adalah rakyat. Maka rakyat berhak menentukan siapa yang menjadi pelayannya dalam lima tahun ke depan. Namun politik yang tidak bersih—dimulai dari politik uang, saling sikut, saling menjelekkan, hingga pembunuhan calon kontestan—menjadi potret demokrasi Indonesia yang masih jauh dari sempurna.
Jika sejak awal cara menang dalam pemilu sudah menghabiskan modal dan tenaga besar, pejabat yang menjabat harus mencari gantinya untuk mengembalikan modal. Hal ini sudah menjadi rahasia umum di seluruh Indonesia. Maka puncak pengharapan tertuju pada rakyat: apakah ingin arah bangsa lebih baik atau lebih buruk, dimulai dari memilih pejabat yang berintegritas.
Pengawasan Digital dan Tanggung Jawab Pejabat
Era digital memudahkan rakyat melihat tindak tanduk pejabat dari A sampai Z melalui media. Maka pejabat seharusnya bekerja sungguh-sungguh karena amanat yang diembannya merupakan tanggung jawab. Jika menyelewengkan jabatan, seyogyanya mundur dan meminta maaf, bukan tertawa riang di hadapan media. Sangat miris jika melihat potret pejabat yang tidak lagi malu memakai baju oranye tahanan KPK atau Kejagung.
Dengan kemudahan media, rakyat mudah memantau apa saja yang telah dikerjakan pejabat. Kebijakan yang minim pengawasan rentan terhadap penyelewengan. Puncak pengharapan tertinggi ada pada rakyat yang hampir selalu memiliki gadget di genggaman; seluruh kebijakan harus dikritisi untuk perbaikan dan pengawasan. Kebijakan pemerintah pasti ada baik dan buruknya, justru itulah titik kritis untuk menghadirkan kebijakan yang memihak rakyat, bukan mereka yang mampu membeli kebijakan.
Baca juga: Dari Pupuk ke Penjara Opini, Ironi Demokrasi di Negeri Agraris
Aturan ketat menyulitkan pejabat berbuat sewenang-wenang. Jika bukan tupoksi atau wewenangnya, jangan mencampuri karena melanggar aturan. Saat ini terjadi miskonsepsi: pejabat merasa berhak mengatur semua hal, bahkan yang bukan urusannya, atau mempertontonkan hal tidak pantas sebagai abdi masyarakat. Jika aturan berjalan, seharusnya sudah ada peringatan hingga sanksi pemecatan. Maka secara akal sehat, menjadi pejabat sulit: kebijakan dipantau, gaya hidup dijaga, serta hubungan dengan masyarakat dijaga baik.
Menjadi pelayan masyarakat yang berintegritas bukan hal mudah, namun jika sudah terpilih, harus mampu menjalankannya. Tantangan dan rintangan bukan persoalan jika membawa nama rakyat, dan jika orang tersebut baik, akan dibela oleh rakyat di daerahnya. Aturan menjadi tolak ukur seberapa jauh negeri ini menginginkan kemajuan. Jika aturan ditegakkan, kemajuan menjadi tujuan. Jika aturan ditabrak dengan dalih penuh alasan, negeri ini tak akan maju secara prinsip dan moral.
Penulis: Wirda Widayani, Mahasiswi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Padang
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.








