Mata Akademisi, Milenianews.com – Di jalan berliku antara Banda Aceh dan Calang, Gunung Geureutee berdiri bagai penjaga tua yang menyimpan kisah panjang tentang keterisolasian, kecelakaan, dan harapan pembangunan. Kini, di bawah rindangnya pepohonan dan cadas purba, sebuah wacana besar kembali mencuat, yaitu pembangunan Terowongan Geureutee—proyek ambisius yang disebut-sebut akan memangkas jarak tempuh hingga 40 persen dan membuka simpul ekonomi bagi delapan kabupaten/kota di Barat Selatan Aceh.
Wacana itu, yang kembali mencuat setelah langkah politik dan diplomasi publik dilakukan oleh Muzakir Manaf atau Mualem, disambut dengan gegap gempita. Sebagian masyarakat menyebutnya sebagai tonggak sejarah, simbol kebangkitan konektivitas Aceh pasca MoU Helsinki. Namun di balik euforia tersebut, tersimpan pertanyaan yang lebih dalam: apakah pembangunan ini murni demi rakyat, atau ada kekayaan lain yang hendak digali dari perut bumi Geureutee?
Baca juga: Hatee Meuhom: Belajar Keteguhan Hati dari Leluhur Aceh di Tengah Kabut Dunia
Di Balik Batuan, Ada Narasi Mineral dan Kuasa
Menurut Detail Engineering Design (DED) Dinas PUPR Aceh, proyek ini akan menembus tiga titik utama, yakni Gunung Paro sepanjang 1.135 meter, Gunung Kulu 1.638 meter, dan Geureutee 2.805 meter, sehingga totalnya bisa mencapai sekitar 4 kilometer terowongan. Jika diasumsikan diameter rata-rata 12 meter dengan ketinggian efektif 10 meter, maka volume material yang akan dikeluarkan dari perut gunung itu mencapai sekitar 480.000 meter kubik, setara dengan hampir 1 juta ton batuan. Dalam konteks geologi, ini bukan sekadar galian infrastruktur, melainkan penyingkapan perut bumi dalam skala raksasa.
Gunung Geureutee bukanlah kawasan sembarangan. Berdasarkan peta geologi Lembar Banda Aceh (Pusat Survei Geologi, 2011), zona ini tersusun atas formasi batuan vulkanik Tersier yang kaya akan alterasi hidrotermal—jenis batuan yang di banyak wilayah Indonesia menjadi indikator keberadaan logam mulia seperti emas, tembaga, dan bahkan logam tanah jarang (rare earth elements). Beberapa batuan di sekitar wilayah ini, menurut catatan lapangan geologis Universitas Syiah Kuala (2017), menunjukkan ciri mineralisasi kuarsa dan kalsit, fenomena umum pada sistem hidrotermal yang pernah mengandung fluida logam.
Apakah di perut Geureutee tersimpan emas, paladium, atau bahkan torium? Tidak ada yang tahu pasti, sebab belum ada publikasi resmi eksplorasi mineral di kawasan tersebut. Namun, jika asumsi geologinya benar, maka nilai material yang akan “tergali” dari proyek ini bisa melampaui nilai proyek itu sendiri. Dalam studi oleh Kementerian ESDM (2020), kandungan rata-rata emas aluvial di batuan alterasi Aceh mencapai 2–5 gram per ton. Jika angka konservatif 1 gram per ton saja dipakai, maka potensi logam mulia yang ikut terangkat dari 1 juta ton batuan itu mencapai 1 ton emas, atau setara lebih dari Rp1,3 triliun dengan harga emas saat ini.
Itu baru dari sisi satu logam mulia, belum termasuk mineral industri lain seperti feldspar, kuarsa, atau batuan mulia bernilai tinggi. Apalagi jika terdapat mineral mahal, misalkan rodium, mineral radioaktif seperti torium, uranium, atau logam tanah jarang, maka nilainya pasti lebih fantastis dan bisa jadi jauh lebih besar dari pagu anggaran proyek itu sendiri.
Maka, pembangunan terowongan ini secara geologis tak bisa dilepaskan dari geopolitik mineral—bagaimana sebuah proyek infrastruktur strategis bisa sekaligus membuka pintu ke potensi kekayaan alam baru yang menggiurkan. Bila tidak dikelola dengan transparan, proyek ini berpotensi menjadi celah ekonomi baru bagi kelompok rente, sebuah pola klasik di mana proyek publik menjadi bungkus rapi bagi eksploitasi sumber daya tersembunyi.
Pembangunan dan Filsafat “Tanah Seumeugot”
Bagi masyarakat Aceh, gunung bukan sekadar tumpukan batu. Ia adalah bagian dari tanoh seumeugot—tanah yang memberi hidup dan memelihara keseimbangan alam. Dalam falsafah lama Aceh, bumi dan gunung dipandang memiliki ruh dan kehormatan. Maka, menggali perut gunung tanpa niat suci dan tata kelola yang benar bukan hanya soal teknis, tapi juga soal moral dan spiritual.
Pembangunan terowongan memang menjanjikan perubahan besar: mempercepat arus logistik, membuka isolasi, dan menekan angka kecelakaan yang selama ini kerap menghantui jalur ekstrem Geureutee. Namun setiap kilometer beton yang menembus cadas harus juga menembus mentalitas lama pembangunan yang hanya berhenti pada proyek. Harus ada audit lingkungan dan mineral yang terbuka untuk publik, sebab dari situ nasib gunung dan rakyat ditentukan.
Di masa lalu, Aceh sudah terlalu sering kehilangan. Hutan ditebang, batuan dikupas, tambang rakyat dituduh liar, sementara izin besar justru melenggang tanpa pengawasan. Jangan sampai proyek Geureutee menjadi babak baru dari ironi yang sama, di mana rakyat hanya dapat jalan, sementara mineralnya raib entah ke mana.
Baca juga: Aceh di Persimpangan Tambang: Lepas dari Mulut Buaya, Diterkam Mulut Harimau
Mualem telah membuka pintu lobi besar di tingkat nasional. Tapi tugas berikutnya jauh lebih berat, yakni memastikan bahwa setiap batu yang digali, setiap truk yang melintas, setiap rupiah yang keluar dari APBN, benar-benar memberi manfaat bagi rakyat Aceh. Terowongan ini tak boleh menjadi liang kubur bagi transparansi, melainkan jembatan menuju keadilan mineral dan pembangunan yang bermartabat.
Sejarah mencatat, pembangunan besar tanpa kejujuran hanya meninggalkan lubang—baik secara fisik maupun moral. Maka, sebelum alat bor pertama menembus perut Geureutee, pemerintah Aceh perlu menyiapkan mekanisme keterbukaan data geologi, audit material, serta pelibatan akademisi dan masyarakat sipil. Hanya dengan cara itu, proyek ini bisa menjadi simbol kemajuan, bukan simbol kerakusan.
Terowongan Geureutee mestinya bukan sekadar lorong menuju seberang gunung, tapi lorong menuju kesadaran baru bahwa setiap pembangunan harus menggali masa depan, bukan hanya bumi.
Penulis: Delky Nofrizal Qutni (Wakil Ketua DPW APRI Aceh, Pemuda Barat Selatan Aceh)
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.



 





