Milenianews.com, Jakarta – Gelora Bung Karno (GBK) selalu punya nuansa cahaya yang khas. Matahari jatuh perlahan di sela pepohonan, dan di bawahnya, para Fotografer berdiri untuk memotret atau hanya sekadar mencoba menangkap siluet pengunjung yang berlari di lintasan. Di antara bunyi shutter yang berulang, suasana GBK saat itu mestinya terasa damai.
Namun, dunia digital menuturkan cerita lain. Di media sosial, beredar tangkapan layar percakapan antara seorang Fotografer dengan seseorang yang mengaku sebagai pengurus Komunitas, pada Selasa (21/10) lalu.
Isinya sederhana berupa teguran agar foto yang diambil dihapus, dengan alasan tertentu yang tak dijelaskan secara detail. Dari sana, percakapan kecil itu menjalar ke mana-mana. Banyak orang heran, sejak kapan memotret di ruang publik harus meminta izin komunitas?
Ramainya perbincangan itu membuat pihak pengelola GBK akhirnya angkat bicara. Dilansir dari Kompas.com, Direktur Umum Pengawas Pengelolaan Pusat Pengelola Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK), Hadi Sulistia, menegaskan bahwa siapapun boleh memotret di kawasan GBK.
Ia juga menyebutkan bahwa pihaknya kini tengah menyiapkan pembaruan aturan agar bisa menampung aspirasi berbagai kalangan fotografer. Artinya, ruang itu tetap milik publik, menjadi ruang yang seharusnya aman untuk siapapun yang datang dengan niat berkarya.
Baca juga: Menghidupkan Budaya di Ruang Publik: Evaluasi dan Apresiasi Karya Seni Jakarta Utara
Seorang Fotografer, Ichsan Nur Ramadhan, ternyata juga merasakan hal serupa. Ia mengaku pernah dilarang membawa kamera ke area GBK. “Waktu itu mikirnya mungkin karena itu aturan dari pemerintah ya, jadi yaudah, gue ikutin aja,” ujarnya saat diwawancarai pada Kamis (23/10).
Tapi kasus ini membuka cermin lain tentang bagaimana komunitas yang awalnya dibangun untuk berbagi minat dan belajar bersama, kadang tanpa sadar menumbuhkan rasa berhak lebih atas ruang yang sama. Banyak fotografer pemula yang datang hanya untuk belajar, tapi pulang dengan perasaan sungkan dan takut menyinggung, takut dianggap tak tahu etika.
Menurut Ichsan, komunitas seharusnya jadi wadah untuk berkembang bersama, bukan alat untuk menentukan siapa yang boleh atau nggak boleh berkarya di tempat umum. Meski begitu, ia tetap melihat dunia fotografi sebagai ruang yang penuh dukungan.
“Sesama fotografer tuh saling bantu kok, saling ngajarin juga. Kalau gue sih mikirnya tergantung kita terima masukan aja. Kalau kitanya santai, semua bisa jadi pelajaran,” katanya sambil tersenyum.
Padahal etika tak pernah berarti membatasi dan mestinya menjadi pagar yang menjaga, bukan tembok yang menutup. Ruang publik seperti GBK adalah panggung tempat setiap orang bisa berkreasi, dari mereka yang datang dengan kamera profesional, maupun yang hanya membawa ponsel dan rasa ingin tahu.
Kasus kecil di GBK ini, mungkin hanya selembar percakapan singkat di dunia maya. Tapi dari situ, muncul percakapan yang lebih besar, siapa yang sesungguhnya berhak mengatur ruang publik?
Mungkin jawabannya tidak ada yang berhak, kecuali kesadaran bersama untuk saling menghormati. Karena di balik setiap jepretan kamera, ada niat yang sama untuk melihat dunia dengan cara yang lebih indah, tanpa harus menguasainya.
Bagi Ichsan, etika tetap jadi hal penting. Ia memilih untuk tidak asal jepret, terutama kalau objeknya orang yang sedang beraktivitas pribadi. “Gue nggak suka motret orang pacaran, yang auratnya kebuka, atau yang kira-kira nggak nyaman di foto,” jelasnya.
Meski kadang ada batas tak terlihat yang bikin langkahnya tertahan, Ichsan, sang Fotografer tetap setia dengan kameranya.
“Karena ini hobi, dan kreativitas nggak bisa dibatasi,” ujarnya dengan semangat. Di tengah hiruk pikuk kota dan segala aturan, dibenaknya selalu tertanam bahwa keindahan bisa ditemukan di mana saja, asal kita tahu caranya melihat.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.











