News  

Sri Radjasa: Kebijakan Hentikan Tambang Ilegal di Aceh Berani, Tapi Butuh Strategi Transisi yang Manusiawi

Pemerhati Intelijen

Milenianews.com, Banda Aceh – Pemerhati intelijen Sri Radjasa, MBA, kasih acungan jempol buat kebijakan Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf (Mualem) yang berani menghentikan seluruh aktivitas tambang ilegal di Aceh. Tapi menurutnya, langkah berani itu belum lengkap kalau nggak dibarengi dengan strategi transisi yang matang buat masyarakat yang selama ini hidup dari tambang rakyat.

“Secara hukum dan lingkungan, ini keputusan keren banget. Tapi pemerintah jangan cuma berhenti di penertiban, harus ada solusi biar rakyat tetap bisa hidup tanpa melanggar hukum,” kata Sri Radjasa, Minggu (5/10).

Baca juga: Presiden Prabowo Subianto Umumkan Kerugian Negara Akibat Tambang Ilegal Capai Rp300 Triliun

Berhenti nambang, rakyat ikut terdampak

Sri menjelaskan, tujuan utama dari kebijakan ini jelas bagus: mencegah kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengurangi kerusakan lingkungan. Tapi di lapangan, efeknya langsung terasa. Di beberapa daerah seperti Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Pidie Jaya, ribuan penambang rakyat mendadak kehilangan pekerjaan.

“Mereka bukan kriminal, cuma belum dikasih jalur legal buat kerja. Kalau dibiarkan tanpa solusi, keresahan pasti muncul,” tegasnya.

Dampaknya pun meluas: pengangguran naik, daya beli turun, dan potensi gesekan sosial makin tinggi. Menurut Sri, ini bisa jadi bom waktu kalau pemerintah nggak cepat turun tangan.

Sri bilang, penegakan hukum memang penting, tapi jangan sampai rakyat kecil jadi korban. Kebijakan yang tegas tanpa dibarengi pemberdayaan bisa bikin masyarakat kehilangan kepercayaan sama pemerintah.

“Ketegasan itu perlu, tapi jangan sampai kebijakan berubah jadi bumerang. Pemerintah harus hadir bukan cuma di sisi hukum, tapi juga di sisi kemanusiaan,” katanya.

Belajar dari daerah lain yang sukses

Biar Aceh nggak jalan di tempat, Sri kasih contoh sukses dari Kalimantan Barat, tepatnya di Sintang dan Kapuas Hulu. Di sana, pemerintah daerah berhasil menata tambang rakyat tanpa bikin konflik sosial. Kuncinya: kerja bareng dengan Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) dan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang legal.

“Model kayak gitu bisa banget ditiru Aceh. Nggak perlu nutup tambang, cukup ditata bareng rakyatnya. Hasilnya, lingkungan pulih, PAD naik, dan masyarakat tetap dilibatkan,” jelasnya.

Masalahnya, kata Sri, sampai sekarang Aceh belum punya satu pun WPR resmi. Padahal aturan hukumnya sudah ada di UU Minerba No. 3 Tahun 2020 dan Permen ESDM No. 7 Tahun 2020.

Data Dinas ESDM Aceh bahkan nyebut ada lebih dari 3.000 penambang rakyat yang masih beroperasi tanpa izin, dengan cadangan emas lebih dari 20 ton.

“Ironis banget. Sumber daya besar dibiarkan begitu aja, tapi rakyat yang hidup dari situ malah dikriminalisasi karena nggak ada payung hukum,” ujarnya.

Sri mendorong Pemprov Aceh segera bikin Qanun Pertambangan Rakyat Aceh. Menurutnya, qanun ini bisa jadi jembatan antara hukum, lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat.

Dorong tambang rakyat yang ramah lingkungan

Sri juga dukung penuh rencana pembangunan laboratorium dan pusat pelatihan pengolahan emas ramah lingkungan yang pernah ia bahas bareng DPC APRI Aceh Selatan.

Menurutnya, proyek ini bisa jadi contoh nyata gimana tambang rakyat bisa tetap legal dan berkelanjutan. Teknologi seperti leaching IDA dan sistem gravitasi terbukti lebih aman dan bebas merkuri. Ini juga sejalan sama komitmen Indonesia buat mewujudkan “Bebas Merkuri 2025” sesuai Konvensi Minamata.

“Kalau pemerintah nggak kasih alternatif teknologi, masyarakat pasti balik lagi pakai merkuri diam-diam. Makanya saya usul bikin program Aceh Bebas Merkuri 2025, biar ada edukasi, insentif, dan solusi nyata,” kata Sri.

Baca juga: Tambang Emas Ilegal di Pidie, Aceh Digrebek Polisi

Sebagai pemerhati intelijen, Sri juga nyaranin pembentukan tim terpadu pengelolaan tambang rakyat Aceh yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, APRI, sampai tokoh masyarakat. “Tambang rakyat itu bukan cuma soal ekonomi, tapi juga ekosistem sosial. Nggak bisa dikelola pakai logika hukum pidana aja,” tegasnya.

Di akhir, Sri tetap mengapresiasi langkah Mualem yang berani dan tegas menegakkan hukum serta menjaga alam Aceh. Tapi ia mengingatkan, hukum tanpa keadilan sosial nggak akan berarti apa-apa. “Negara harus jadi jembatan antara hukum dan perut rakyat, bukan tembok di antara keduanya. Penertiban itu perlu, tapi yang lebih penting adalah ngasih rakyat jalan yang legal buat hidup,” tutup penulis buku “Intel Juga Manusia” itu.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *