Dulu Hanya Membaca dan Menonton, Kini Hadir di Riuhnya Dhaka

dhaka bangladesh

Milenianews.com – Saya ada di dalam ricksa ini—bajajnya kota Dhaka—di tengah kepadatan dan keriuhan jalanan. Suara klakson mobil dan motor bersahutan. Sopir serius menjalankan bajaj, matanya awas melihat lalu lintas. Wajahnya berkeringat, wajah saya pun sama, karena Dhaka adalah kota tropis, panas. Tadi saya menunjukkan tujuan ke satu pasar melalui layar HP, dia mengerti. Kami sepakat biaya 250 Taka, sekitar 30 ribu rupiah untuk jarak 5 km.

Bajaj Dhaka menggunakan bahan bakar gas alam, compressed natural gas—energi bersih—tapi suaranya tetap menderu berisik. Saya berada di keriuhan lautan kendaraan: mobil, motor, bajaj, becak kayuh, bus tua, semuanya berlomba ingin segera sampai tujuan. Kadang tidak peduli ada yang ketakutan atau mengumpat.

Baca juga: Pagi di Hakodate, Petualangan Kuliner di Pasar Pagi

Nadi Kota di Jalanan Dhaka

jalanan dhaka

Di tepi jalan, kiri dan kanan, deretan toko, bengkel, warung makan, pedagang chai tea dengan gerakan lincah, dan pembeli yang padat saling berebut. Naik bajaj di Dhaka bukan cuma pindah lokasi, tapi juga menyatu dengan nadi kota, mendapat pengalaman.

Ya, ini Dhaka, ibu kota Bangladesh. Kota yang tidak terlalu populer sebagai tujuan wisata bagi penduduk Jakarta. Dari berita, media sosial, juga YouTube, kesan yang terbangun adalah kota kumuh: perumahan padat, polusi, dan tidak bersih. Sebagian tidak salah. Ini memang salah satu kota terpadat di dunia. Hal menarik dari Dhaka adalah kontras kaya-miskin, mayoritas penduduk muslim, dan masyarakatnya ramah.

Dhaka adalah kota yang seru, bahkan lebih dari Jakarta. Kota padat penduduk, bising, punya budaya ramah, bicara seperti berteriak tapi penuh semangat. Dhaka dikenal sebagai pusat perdagangan kain dan tekstil. Kota ini menghadapi masalah polusi, kemacetan, dan banjir musiman. Kenyataan yang membuat warganya tabah, kreatif, dan menjalani hidup dengan penuh energi.

Dhaka adalah pusat kota yang penuh bajaj serta becak warna-warni, simbol ikonik warga yang membawa orang dengan cepat ke seluruh penjuru. Hampir tiap sudutnya ada aroma teh, susu manis, dan kari pedas dengan isi bervariasi. Sekaligus menjadi pusat politik, budaya, dan pendidikan. Banyak mal, pasar, perumahan kelas atas yang tertata—hal yang tidak mewakili persepsi kita tentang Dhaka.

Pani Puri dan Teh Susu, Mendominasi Kuliner Rakyat

pani puri

Pani puri, jajanan gorengan jalanan berbentuk bola-bola. Ketika digigit terasa krispi-renyah, isinya bawang, cabai, kacang hitam, dan daun ketumbar. Sebelum dimakan, dicelup dahulu ke air asam pedas. Camilan berbahan dasar tepung ini digoreng hingga bulat, disebut pani puri—camilan jalanan paling ikonik di Dhaka.

Satu lagi yang menarik adalah jhalmuri, berbentuk bola, terbuat dari tepung beras, juga digoreng. Isinya tomat, cabai, bawang, ketumbar, sehingga terasa pedas. Dimakan langsung tanpa dicelup ke saus.

Street food di Dhaka memang bagian dari keseharian masyarakat. Gerainya berbentuk gerobak atau bangunan darurat menempel dinding, umumnya ramai pembeli berkerumun. Street food selalu penuh karena murah dan mengenyangkan. Penjual camilan di Dhaka jauh lebih banyak variasinya dibandingkan gorengan di Jakarta. Selain pani puri dan jhalmuri, ada samosa, egg roll, roti prata roll, chotpoti, hingga chicken kebab.

Minuman populer di Dhaka adalah teh, disebut dalam bahasa setempat cha. Pilihan kedua adalah lassi—yoghurt manis atau gurih. Kopi tidak banyak penggemarnya di sini. Teh dengan susu adalah bagian dari kehidupan. Gerai penjual teh ada hampir di setiap sudut jalan, setara dengan gerai camilan street food, biasanya berdampingan.

Selalu ada cha stall yang tidak besar, dengan ketel besar mengepul, camilan tersaji, serta deretan gelas mungil. Aroma teh pekat bercampur susu dan gula tersebar ke jalanan. Penduduk Dhaka biasanya berhenti sejenak, duduk di bangku sederhana, sambil menikmati cha panas. Ada yang tergesa melanjutkan tugas, ada juga yang ramai berbincang, mungkin tentang politik atau kebutuhan sehari-hari yang makin susah. Cha menjadi alasan untuk ngobrol dan berkumpul.

Kopi ada, tapi tidak sebanyak teh susu. Kopi dianggap lebih mewah, umumnya tersedia di gerai modern dengan harga lebih mahal. Lidah warga Dhaka belum terbiasa dengan kopi. Hal ini terkait sejarah kolonial Inggris, yang menjadikan Bangladesh area perkebunan teh, warisan yang berlanjut sampai kini. Teh mudah didapat, murah, sehingga menjadi minuman rakyat. Sementara kopi tidak pernah dibudidayakan meluas. Akibatnya, bagi lidah Dhaka, kopi yang pahit terasa “tidak enak.”

Kafe kopi memang makin banyak, tapi belum menjadi bagian keseharian. Ia populer di kalangan anak muda sebagai lambang gaya hidup modern ala Barat. Namun cha tetap tak tergantikan. Ketika lelah bekerja, warga Dhaka lebih mendekati gerobak kecil dengan ketel mendidih dan gelas kecil teh susu.

Gulshan Area: Apik, Tertata, dan Menengah Atas

gulshan

Kawasan tenang dan simbol modernitas ada di utara kota Dhaka: Gulshan. Dahulu hanyalah pinggiran sepi, sejak 1970-an dirancang sebagai perumahan elit yang hijau, asri, dengan fasilitas lengkap hingga mewah. Gulshan area yang apik dan aman. Banyak mal, pusat perbelanjaan modern, dan hotel berbintang hadir di sini.

Ada Gulshan Lake, memberi suasana hijau, sejuk, dan asri, dengan pedestrian lebar, area rekreasi, dan apartemen kelas menengah atas di sekitarnya. Ekspatriat, diplomat, dan warga menengah atas banyak berkumpul di area ini.

Memasuki Gulshan, terlihat jalan-jalan lebar nan rapi, trotoar nyaman, taman-taman dengan pepohonan rindang terawat. Beberapa apartemen tinggi tampak megah, bersebelahan dengan perkantoran berdinding kaca lebar. Restoran internasional dan toko brand global juga ramai pengunjung.

Selain bisnis dan diplomasi, Gulshan Lake memberi kontras dengan hiruk pikuk pusat Dhaka. Masyarakat umum sering datang menikmati pedestrian lebar, berjalan santai, sekadar merasakan udara sore hingga malam.

Old Dhaka: Jantung Kota, Kuil Dhakeswari Lambang Toleransi

old dhaka

Old Dhaka, kawasan kota lama, adalah jantung kisah dan cerita kota. Gambaran yang sesuai dengan persepsi kita di YouTube: lorong-lorong sempit, bangunan tua berwarna gelap kusam, pasar hiruk pikuk dengan aroma rempah, dan waktu yang seolah berhenti.

Old Dhaka sudah ada sejak abad ke-17, ketika Dinasti Mughal menjadikan Dhaka pusat perdagangan di Bengal, di tepi Sungai Buriganga. Mughal berasal dari Asia Tengah, tepatnya Uzbekistan, lalu melebur dengan budaya India. Warisannya masih terasa di Dhaka.

Baca juga: Menelusuri Jejak di Bukares: Paris dari Timur, Kampus Tua, dan Salad Tomat

Namun jauh sebelum Mughal, sudah ada Dhakeswari National Temple, kuil terbesar di jantung kota, sejak abad ke-12. Bangunannya bergaya arsitektur klasik Bengal, dengan kubah kecil dan dinding bercat merah. Di dalamnya terdapat arca Dewi Dhakeswari, pusat pemujaan. Nama Dhakeswari berarti “Dewi Dhaka”, dari sinilah nama kota berasal.

Sebagai kuil terbesar dan paling suci di Bangladesh, Dhakeswari menjadi pusat ibadah umat Hindu. Di halamannya rutin digelar doa harian, persembahan dupa dan bunga, diiringi suara lonceng. Kuil ini juga pusat kegiatan sosial-budaya. Pada perayaan Durga Puja, ribuan orang berkumpul, diiringi musik tradisional, tarian, dan dekorasi warna-warni.

Kuil Dhakeswari adalah simbol warisan sejarah, toleransi beragama, dan bagian hidup kota sejak abad ke-12, melewati era Mughal, era kolonial, hingga Dhaka modern yang mayoritas muslim.

Kontributor: Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSc, seorang Entrepreneur, Peminat dan Penikmat Kuliner

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *