Mata Akademisi, Milenianews.com – Di wilayah Sunda dan Betawi, sebutan abah identik dengan figur ayah—sosok yang dihormati, bijaksana, dan penuh kasih. Panggilan yang sarat nuansa emosional ini kini melekat pada diri Anies Rasyid Baswedan. Julukan Abah Anies terdengar hangat, menciptakan kesan kebapakan yang dekat dengan rakyat. Namun, tak sedikit pula yang melihatnya sebagai strategi komunikasi politik untuk membangun citra ramah dan merakyat.
Pertanyaannya, apakah panggilan ini lahir dari ketulusan rakyat atau justru bagian dari strategi branding politik?
Jejak Panjang Sosok Anies Baswedan
Lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada 7 Mei 1969, Anies tumbuh dalam lingkungan akademis dengan nilai pendidikan yang kuat. Ia dikenal sebagai rektor termuda Universitas Paramadina, pendiri gerakan Indonesia Mengajar, hingga menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Popularitasnya kian meluas ketika terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022.
Gaya kepemimpinannya yang tenang, penuh pertimbangan, dan ramah kepada rakyat membuat panggilan Abah Anies semakin mengakar. Bagi sebagian pendukung, ia bukan sekadar tokoh politik, melainkan figur ayah bangsa.
Politik, Branding, dan Simbol Citra
Dalam politik, simbol kerap menjadi senjata ampuh untuk membangun kedekatan emosional. Julukan Abah Anies memperlihatkan bagaimana citra kebapakan dapat dipadukan dengan strategi komunikasi digital.
Teori komunikasi politik menyebutkan bahwa narasi dan simbol publik berfungsi sebagai jembatan antara pemimpin dan rakyat. Fenomena ini terlihat dari hadirnya komunitas relawan “Ubah Bareng” hingga tren “anak online Abah” di media sosial. Konten yang menampilkan sisi personal Anies—memberi nasihat, berbagi pandangan hidup—menambah legitimasi panggilan tersebut.
Baca juga: Bukber ICMI-KAHMI Bogor, Anies Tekankan Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini
Emosionalitas dan Identitas Kolektif
Meski berbau strategi politik, panggilan ini tak lepas dari emosi tulus para pendukungnya. Mereka merasa bukan sekadar bagian dari massa kampanye, tetapi keluarga besar yang dihormati. Bagi banyak orang, Abah Anies mewakili pemimpin yang berusaha memperjuangkan keadilan sosial, keberagaman, dan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, panggilan ini lahir dari pertemuan dua arus: strategi politik yang cermat dan afeksi publik yang mendalam.
Refleksi: Politik yang Lebih Manusiawi?
Fenomena Abah Anies memperlihatkan bahwa politik bukan hanya arena teknokratis, tetapi juga ruang emosional yang sarat simbol. Julukan ini adalah ekspresi bagaimana rakyat ingin melihat pemimpin: tidak hanya sebagai penguasa, tetapi juga sebagai figur ayah yang mendengar, melindungi, dan memimpin dengan hati.
Apakah ini sekadar strategi? Atau benar-benar panggilan sayang? Jawabannya mungkin keduanya. Yang jelas, fenomena Abah Anies membuka diskusi lebih luas tentang bagaimana politik Indonesia membangun kedekatan emosional antara pemimpin dan rakyatnya.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.