Milenianews.com, Tangsel– Berbagai riset terkini menggambarkan kondisi kehidupan era digital ditandai dengan perubahan yang begitu cepat (Volatility), penuh ketidakpastian (Uncertainty), kompleks Complexity, dan seringkali membingungkan (Ambiguity) atau dikenal dengan singkatan VUCA. Persoalan dan tantangan hidup semakin kompleks dengan dengan adanya “hujan” informasi dari segala aspek, positif maupun negatif. Saking canggihnya, antara hoaks dan fakta semakin sulit dibedakan.
Seminar tersebut mengangkat tema “Mewujudkan Pendidikan yang Holistik: Integrasi Neuropedagogy, Kecerdasan Artifisial, Lingkungan Belajar Adaptif-Inklusif, STEAM serta Nilai-Nilai Multikultural”.
Situasi ini menjadi tantangan nyata dalam merancang dan mengimplementasikan strategi yang tepat bagi Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan pada umumnya. Apalagi Universitas Terbuka yang sejak awal memposisikan diri untuk menghadirkan pendidikan tinggi inklusif, membudayakan belajar mandiri, dan membiasakan mahasiswa untuk kajian-kajian ril di mana dia berada, kondisi menggambarkan keberagaman potensi, persoalan, sekaligus tantangan.
Terkait hal tersebut, PGSD FKIP Universitas Terbuka menggelar Seminar Inovasi dan Riset (SINAR) Tahun 2025. Seminar tersebut mengangkat tema “Mewujudkan Pendidikan yang Holistik: Integrasi Neuropedagogy, Kecerdasan Artifisial, Lingkungan Belajar Adaptif-Inklusif, STEAM serta Nilai-Nilai Multikultural”.
“Tema tersebut diangkat karena menyentuh inti transformasi pendidikan di abad ke-21. Bahwa pendidikan tidak lagi cukup hanya berfungsi sebagai transfer pengetahuan, melainkan harus membentuk manusia yang utuh: cerdas intelektual, matang emosional, berkarakter kuat, serta mampu beradaptasi dengan perubahan zaman,” kata Dekan Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Terbuka (UT), Prof. Dr. Ucu Rahayu, M.Sc, pada saat mebuka Seminar Riset dan Inovasi Pendidikan Dasar (SINAR) yang diadakan oleh Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), FKIP UT, Sabtu 30/8/2025).
Dalam keterangan persnya, Prof Ucu menegaskan, “Integrasi neuropedagogy membantu guru memahami bagaimana otak belajar secara alami, sehingga strategi pembelajaran dapat lebih personal, mendalam, dan sesuai dengan perkembangan kognitif siswa. Kecerdasan artifisial (AI) membuka peluang menghadirkan pembelajaran adaptif yang responsif terhadap kebutuhan individu, sekaligus mengefisienkan asesmen dan umpan balik. Sementara itu, lingkungan belajar adaptif-inklusif memastikan bahwa setiap anak, tanpa terkecuali, memiliki ruang untuk berkembang sesuai potensinya. Ditambah dengan penguatan nilai-nilai multikultural, pendidikan dasar tidak hanya membentuk siswa yang cakap secara akademis, tetapi juga memiliki sensitivitas sosial dan kesadaran global.”
Monika Handayani, M.Pd. selaku ketua Prodi S1 PGSD UT, dan juga selaku penanggung jawab kegiatan ini menambahkan, Pendidikan Dasar merupakan fondasi penting bagi tumbuh kembang generasi bangsa. Guru sekolah dasar memiliki peran strategis dalam membangun karakter, literasi, numerasi, sekaligus menumbuhkan rasa kebangsaan sejak usia dini.
“Oleh karena itu, menyiapkan guru SD yang profesional, adaptif, dan berdaya saing merupakan agenda besar bangsa ini. Sejak berdirinya, PGSD UT tidak hanya membuka akses pendidikan tinggi inklusif bagi mahasiswa di berbagai wilayah, tetapi juga melahirkan ribuan alumni yang kini telah mengabdi sebagai guru SD di pelosok tanah air. Banyak di antara mereka yang telah menjadi guru berprestasi, kepala sekolah, pengawas, bahkan penggerak inovasipembelajaran di sekolah dasar. Kiprah para alumni inilah yang menjadi bukti nyata kontribusi PGSD UT dalam membangun mutu Pendidikan Dasar di Indonesia”, ungkap Monika Handayani, M.Pd.
Hadir sebagai pembicara kunci Prof. Dr. Asep Supena, M.Si, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta. Ia menekankan pentingnya pendekatan pendidikan yang mendorong pengembangan potensi anak secara menyeluruh dan terintegrasi yang mencakup aspek fisik, emosi, sosial, intelektual, bahasa, moral, spiritual, seni dan kreativitas untuk mewujudkan manusia seutuhnya.
“Otak Belajar dengan Pola dan Makna. Otak manusia secara alami mencari pola, keteraturan, dan keterhubungan dari informasi baru (pattern-seeking organ). Informasi yang berdiri sendiri, terpisah, atau tidak bermakna akan lebih sulit disimpan dan cepat dilupakan. Makna berperan sebagai “lem” yang merekatkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah ada (prior knowledge). Agar, kekuatan otak tetap dapat dimanfaatkan dengan baik, dan untuk menghindarkan anak agar jangan jadi “korban” kecerdasan artifisial,” papar Prof. Asep Supena.
Asep Supena menyampaikan tujuh kaidah-etika penggunaan AI dalam pembelajaran. “Yaitu, keamanan dan privasi anak, kesesuaian usia, kesadaran bahwa AI hanya alat bantu, guru tetap utama, tidak menumbuhkan ketergantungan, mendukung inklusivitas dan keadilan, transparansi (ajari anak berpikir kritis terhadap AI), tidak mengurangi interaksi sosial,” ujarnya.
Dr. Laksmi Dewi, M.Pd. selaku kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Badan Standar, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kemendikdasmen, sebagai narasumber pertama dalam sesi paralel memaparkan bahwa “Pembelajaran Mendalam merupakan pendekatan yang memuliakan dengan menekankan pada penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan melalui olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga secara holistik dan terpadu. Peserta didik dapat merasakan manfaat dan relevansi dari hal-hal yang dipelajari untuk kehidupan, serta mampu mengkonstruksi pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan lama dan menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan nyata.”
Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Amalia Sapriati, M.A., guru besar FKIP UT, menegaskan bahwa “Meningkatkan pengalaman pembelajaran yang mendalam, bermakna dan menyenangkan akan menumbuhkan pemahaman yang lebih dalam dan keterlibatan siswa yang lebih besar. Mengintegrasikan teknologi yang menyenangkan dan berkembang dapat semakin memperkaya pengalaman belajar dan menjadikan pendidikan tidak hanya efektif tetapi juga menyenangkan.”
SINAR 2025 merupakan kegiatan yang pertama menghadirkan peserta umum dan pemakalah berasal dari berbagai provinsi di Indonesia. Jawa Barat tampil sebagai peserta terbanyak, Banten. Selain itu hadir pula para peserta dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta, Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan, NTT, NTB, Papua, Yogyakarta, Riau.
Dari sisi institusi, Universitas Terbuka (peserta terbanyak). Berikutnya, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Langlang Buana, Universitas Pasundan, Universitas Pelita Harapan, STAI TAPAKTUAN, SDIT Rabbani, SD Global Islamic Labschool, SD Negeri 3 Cisaat, dan SD Muhammadiyah Singaraja.
Pemakalah terbanyak dari Jawa Barat, disusul daerah lain seperti: Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sumatera Selatan, NTB, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera Barat, Bengkulu.
“Total peserta yang hadir, termasuk pemakalah sebanyak 302 orang,” ungkap Rif’at Shafwatul Anam, selaku ketua penyelenggara SINAR I tahun 2025 ini. “Ini sebuah awal yang baik. Semoga SINAR yang pertama ini dapat menginspirasi sehingga akan lahir SINAR-SINAR berikutnya mengangkat tema-tema yang visioner namun praktis agar dapat diterapkan,” tegas Rif’at.
Melalui seminar terebut, muncul berbagai gagasan visioner. Pembelajaran mendalam menuntut pemahaman konsep, pemecahan masalah kompleks, serta refleksi kritis, sesuatu yang sejalan dengan pendekatan neuropedagogy dan dukungan AI. Sementara STEAM mendorong integrasi sains, teknologi, rekayasa, dan matematika, yang jika dikontekstualisasikan dalam lingkungan multikultural dan inklusif, akan melahirkan inovasi berakar pada keberagaman lokal sekaligus relevan secara global.
Calon guru SD perlu dibekali visi (Vision) yang jelas agar tetap fokus membentuk pendidikan holistik meski kurikulum dan teknologi berubah. Pemahaman mendalam (Understanding) tentang peserta didik, konteks sosial, dan dinamika belajar akan membantu mereka menghadapi ketidakpastian. Kejelasan (Clarity) memungkinkan guru menyederhanakan materi yang kompleks menjadi mudah dipahami anak. Dan yang paling penting, kelincahan (Agility) membuat guru mampu beradaptasi cepat dengan teknologi baru maupun situasi kelas yang tidak menentu. Intinya, untuk menghadapi VUCA yang “galau” membutuhkan VUCA yang optimis: Vision, Understanding, Clarity, Agility.
Dengan demikian, tema yang diangkat melalui SINAR I ini tidak hanya relevan sebagai jawaban atas tantangan abad ke-21, tetapi juga menjadi jembatan menuju pendidikan berkelanjutan pendidikan yang menyeimbangkan dimensi kognitif, afektif, spiritual, sosial, dan ekologis untuk keberlangsungan peradaban.







