Pemikiran Mu’tazilah Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Kuasa Negara vs Kesadaran Rakyat

Mu’tazilah

Mata Akademisi, Milenianews.com – Amar ma’ruf nahi mungkar adalah salah satu ajaran yang terdapat dalam Islam, yaitu mengajak untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan buruk. dalam peekembangan pemikiran silam, Mu’tazilah muncul dan menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai salah satu dari lima prinsip keimanannya (Al-ushul Al-khamsah). menurut Mu’tazilah, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar bukan hanya sebagai bentuk ibadah sosial, namun juga sebagai kewajiban rasional setiap individu sebagai bukti keimanan dan akal sehatnya.

Mu’tazilah berpendapat bahwa menegakkan kebaikan dan mencegah keburukan bukan hanya terbatas untuk pemerintah saja, namun masyarakat juga memiliki hak dan kewajiban moral untuk bertindak seperti dalam hal mengkritik atau perlawanan terhadap penguasa yang lalai atau dzalim. hal ini lahir dari prinsip keadilan dan kebebasan berpendapat yang dijunjung tinggi oleh Mu’tazilah.kritik

Baca juga: Free Will Harun Nasution: Suara Nurani di Tengah Polemik Revisi RUU TNI

Pemberantasan korupsi adalah bentuk nahi mungkar nyata

Pada zaman sekarang, legalasi miras, banyaknya tempat maksiat, korupsi, hingga lunturnya moral di dunia pendidikan menunjukkan bahwa kemungkamaran semakin menyebar luas di tengah masyarakat. pertanyaan tentang siapa yang lebih berhak menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar menjadi sangat relevan. Apakah tugas ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah atau masyarakat yang sesuai dengan ajaran mu’tazilah?

Dengan mengkaji pemikiran Mu’tazilah tentang peran individu dalam menegakkan keadilan dan moral sosial. dalam pemikiran ini masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk mencegah kemungkaran yang semakin melebar luas di zaman sekarang, bukan hanya pemerintah saja. Maka penting untuk mengkaji ulang siapa yang seharusnya bertanggung jawab dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Inilah yang akan menjadi fokus utama dalam pembahasan essay ini.

Pemerintah, sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam sebuah negara, memiliki peran penting dalam mewujudkan prinsip keadilan di tengah masyarakat. Dalam pandangan Mu’tazilah, prinsip keadilan (Al-‘adl) menempati posisi sentral. Tuhan menurut mereka tidak akan melakukan ketidakadilan, sehingga manusia sebagai wakil Tuhan di bumi (khilafah) juga harus menegakkan keadilan dengan akalnya. Negara, sebagai institusi yang memiliki kekuasaan dan alat pemaksa, tidak boleh abai terhadap kewajiban untuk memerangi kemungkaran dan mendukung kebaikan. Amar ma’ruf nahi mungkar harus dilaksanakan tanpa memandang status sosial, kekuasaan, atau kedekatan seseorang dengan elit penguasa.

Pemerintah tidak hanya bertugas mengatur urusan administratif dan politik, tetapi juga bertanggung jawab terhadap aspek moral dan sosial kehidupan warga negaranya. Peran ini meliputi pembuatan undang-undang yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan, penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap pelanggaran, serta dukungan terhadap pendidikan dan dakwah. Pemerintah juga harus memberikan keteladanan moral melalui perilaku pemimpinnya agar menjadi panutan bagi masyarakat.

Contohnya, dalam kasus pemberantasan korupsi, pemerintah wajib bersikap tegas tanpa pandang bulu. Jika seorang menteri atau pejabat negara terlibat korupsi, pemerintah harus mengusut dan menghukumnya sesuai hukum yang berlaku. Tindakan ini merupakan bagian dari nahi mungkar, karena korupsi adalah bentuk kemungkaran yang merugikan rakyat dan mencederai amanah publik. Dengan demikian, pemerintah memiliki peran strategis dalam memastikan terciptanya tatanan masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai kebaikan dan keadilan, sebagaimana diajarkan dalam prinsip amar makruf nahi mungkar.

Peran masyarakat dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan tanggung jawab moral setiap individu. Karena manusia memiliki akal dan kebebasan untuk memilih perbuatan, maka setiap orang wajib mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran di lingkungannya. Diam terhadap kemungkaran dianggap sebagai bentuk kelalaian dan ikut bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, masyarakat harus aktif menegur, mengingatkan, dan memperbaiki kesalahan yang terjadi, dengan cara yang rasional, adil, dan bijaksana.

Penegakan amar ma’ruf nahi munkar menurut Mu’tazilah tidak dilakukan dengan kekerasan, melainkan melalui pendekatan dialogis dan edukatif yang mengandalkan akal. Selain itu, masyarakat juga harus menciptakan lingkungan yang mendukung perbuatan baik melalui kegiatan sosial dan keagamaan, sebagai bagian dari usaha bersama untuk menegakkan keadilan dan kebaikan dalam kehidupan. Dengan demikian, amar ma’ruf nahi munkar menjadi sebuah gerakan kolektif yang berakar pada kesadaran moral, bukan sekadar kewajiban formal semata.

Sebagai contoh, jika di suatu lingkungan ada kebiasaan buruk seperti membuang sampah sembarangan atau berkata kasar, maka masyarakat di situ harus saling mengingatkan agar hal seperti itu dihentikan. Jika diam saja saat melihat kemungkaran, berarti kita tidak menggunakan akal dan tanggung jawab secara benar. Selain itu, masyarakat juga perlu menciptakan suasana yang mendukung perbuatan baik. Langkah kecil seperti saling mengingatkan atau memberi contoh yang baik dapat menjadi awal perubahan menuju lingkungan yang lebih bermoral dan tertib.

Dengan adanya kegiatan seperti kerja bakti, pengajian, atau diskusi keagamaan, masyarakat akan terbiasa berbuat baik dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Membentuk lingkungan yang baik juga bagian dari usaha manusia dalam menciptakan keadilan dan kebaikan di dunia ini. Amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya ajaran agama, tapi juga bentuk tanggung jawab moral dan akal manusia. Masyarakat harus sadar bahwa setiap orang punya peran untuk menjaga lingkungan tetap dalam kebaikan. Jika semua orang ikut terlibat, maka akan tercipta kehidupan yang lebih adil, tertib, dan bermakna.

Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan tanggung jawab bersama yang tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga kepada masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki peran penting sebagai penggerak moral dan pelaku langsung dalam lingkungan sosial. Melalui dakwah, nasihat, teguran, hingga aksi sosial, masyarakat menjadi garda terdepan dalam menyuarakan kebaikan dan mencegah kemungkaran, terutama yang terjadi secara terbuka di lingkungan sekitar mereka.

Masyarakat cenderung lebih dekat dengan realitas di lapangan. Mereka lebih cepat melihat dan merasakan langsung kemungkaran yang muncul, seperti penyebaran konten pornografi, praktik riba di sekitar pasar, atau pergaulan bebas di lingkungan tempat tinggal. Karena itu, partisipasi masyarakat bersifat langsung dan fleksibel. Meski tidak memiliki kekuatan hukum, pendekatan mereka yang persuasif seringkali lebih mudah diterima oleh individu yang ditegur atau diingatkan.

Masyarakat harus jadi penyeimbang saat pemerintah lalai

Di sisi lain, pemerintah memiliki otoritas yang lebih besar dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar secara struktural. Melalui perundang-undangan, aparat penegak hukum, dan kebijakan publik, pemerintah mampu membuat langkah nyata dalam skala nasional. Contohnya, dengan menertibkan tempat maksiat, mengontrol distribusi minuman keras, atau menindak pelaku korupsi dan kejahatan lainnya. Karena memiliki kekuatan koersif, tindakan pemerintah bisa memberikan efek jera dan mengatur masyarakat dalam skala luas.

Namun, efektivitas peran pemerintah seringkali terhambat oleh kepentingan politik, ekonomi, atau tekanan kelompok tertentu. Ketika pemerintah abai atau bahkan turut melegalkan bentuk-bentuk kemungkaran, seperti legalisasi miras atau pembiaran terhadap praktik korupsi, maka kepercayaan masyarakat bisa melemah. Dalam kondisi seperti ini, peran masyarakat menjadi semakin penting sebagai penyeimbang dan pengingat, bahkan dalam bentuk kritik terhadap penguasa yang lalai.

Oleh karena itu, peran masyarakat dan pemerintah dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar tidak seharusnya dipertentangkan, melainkan saling melengkapi. Masyarakat bertindak sebagai pengawal moral dari bawah, sementara pemerintah menjalankan fungsi legal dan struktural dari atas. Kolaborasi keduanya menjadi kunci dalam menciptakan tatanan sosial yang lebih adil, bersih, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan sinergi yang kuat antara keduanya, upaya menjaga moralitas publik dan menegakkan keadilan dapat berjalan lebih efektif dan berkelanjutan.

Perpaduan antara tanggung jawab negara dan masyarakat dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar menunjukkan pendekatan yang menyeluruh dan seimbang. Negara bertanggung jawab untuk memiliki sistem hukum yang adil dan lingkungan sosial yang mendukung moralitas. Masyarakat, di sisi lain, bertindak sebagai pengawas sosial yang aktif dan bertindak berdasarkan kesadaran moral dan akal sehat. Dalam perspektif Mu’tazilah, keadilan dan akal adalah dasar dari tanggung jawab yang sama bagi keduanya. Oleh karena itu, membangun sinergi antara kekuatan struktural negara dan kesadaran kolektif rakyat merupakan kunci untuk membangun masyarakat yang bermoral, adil, dan beradab.

Baca juga: Ketika Akal Tak Lagi Jadi Kompas Moral di Tengah Krisis Zaman

Berdasarkan pemikiran Mu’tazilah Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban agama dan moral setiap orang. Pemikiran ini menekankan bahwa masyarakat dan pemerintah memiliki peran penting dan seimbang dalam menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sementara masyarakat bertindak sebagai pengawas sosial yang terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari, pemerintah harus menciptakan sistem yang adil dan memberikan keteladanan moral. Dalam situasi ini, menahan diri dari perbuatan jahat dianggap sebagai bentuk kelalaian yang tidak dapat diterima baik secara logistik maupun iman.

Oleh karena itu, untuk menciptakan lingkungan sosial yang bersih, adil, dan tidak jujur, negara dan rakyat harus bekerja sama. Keadilan dan kebaikan akan lebih mudah terwujud ketika pemerintah dan masyarakat menjalankan peran masing-masing secara harmonis. Jika semua orang menyadari betapa pentingnya amar ma’ruf nahi mungkar, maka akan terbentuk sistem sosial yang tidak hanya mematuhi hukum tetapi juga memiliki etika, akal sehat, dan kepedulian moral yang tinggi, sebagaimana yang diinginkan oleh Mu’tazilah.

Penulis: Nazma Aidah Nabilah, Dosen serta Zulfa Ulin Nuha, Wudda Mutiara Agnia, Siti Aisyah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *