Milenianews.com, Yogyakarta— Indonesia memiliki potensi Blue Economy (Ekonomi Biru) senilai 1,4 triliun dolar AS per tahun—setara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional saat ini—dan mampu menyerap hingga 45 juta tenaga kerja atau sekitar 40% dari total angkatan kerja. Namun, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Hal ini disampaikan Prof. Rokhmin Dahuri, Pakar Kelautan, Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, dan Rektor Universitas UMMI Bogor, saat menjadi keynote speaker dalam pembukaan The 5th International Conference on Marine Molecular Biology and Biotechnology (ICMMBT) yang digelar oleh PKSPL IPB University, Rabu (30/7) di Yogyakarta.
Menurut Prof. Rokhmin, Ekonomi Biru, termasuk industri bioteknologi kelautan dan pengelolaan pesisir terpadu, adalah “game changer” dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Selain menciptakan lapangan kerja, sektor ini juga berperan besar dalam mendukung swasembada pangan dan energi, serta pengembangan industri farmasi.
“Untuk mentransformasi potensi luar biasa ini menjadi kekuatan ekonomi nyata, diperlukan kebijakan pemerintah yang kondusif, partisipasi aktif sektor swasta, kalangan industri, masyarakat, dan tentu saja para ilmuwan,” tegasnya dalam rilis yang diterima Milenianews.com.
Konferensi ini diikuti oleh peneliti, akademisi, dan pelaku usaha di bidang kelautan dari 21 negara, termasuk dari Amerika Serikat, Tiongkok, Australia, dan negara-negara Asia Pasifik lainnya. Forum ini menjadi ajang kolaborasi ilmiah dalam merespons tantangan global di bidang pangan, kesehatan, dan perubahan iklim berbasis sumber daya laut.
Prof. Rokhmin juga menekankan pentingnya penerapan inovasi, teknologi genomik, dan manajemen profesional agar Indonesia tidak hanya menjadi negara maritim secara geografis, tetapi juga secara ekonomi dan teknologi.
Kunci Mewujudkan Dunia yang Lebih Baik
Prof. Rokhmin mengawali pidatonya dengan mengungkapkan fakta bahwa saat ini masyarakat dunia berada di titik krusial dalam sejarah manusia. Konvergensi berbagai krisis global—mulai dari meningkatnya ketegangan geopolitik, perang dagang, disrupsi teknologi, perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi, hingga kerawanan pangan dan kelangkaan energi—menuntut solusi yang inovatif, inklusif, dan berbasis alam.
“Dan saya sangat yakin bahwa Ekonomi Biru, yang didukung oleh bioteknologi kelautan dan berlandaskan pada Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu (Integrated Coastal and Ocean Management atau ICM/ICOM), memegang kunci untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih berkelanjutan bagi semua,” kata Prof. Rokhmin yang juga ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).
Ia menegaskan, Ekonomi Biru bukan sekadar tentang pemanfaatan sumber daya kelautan—melainkan sebuah pergeseran paradigma. “Ekonomi Biru adalah tentang menata kembali lautan kita sebagai fondasi bagi pembangunan berkelanjutan, ketahanan iklim, dan kesejahteraan inklusif,” ujarnya.
Menurut Bank Dunia (2016), Ekonomi Biru adalah pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan yang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan manusia, sekaligus menjaga kesehatan dan keberlanjutan ekosistem pesisir dan kelautan.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI itu mengemukakan, bagi negara-negara berkembang, terutama negara-negara pesisir dan kepulauan seperti Indonesia, Filipina, Negara-negara Kepulauan Kecil Pasifik, Negara-negara Karibia, Mauritius, dan Seychelles; Ekonomi Biru merupakan jalur strategis untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), menciptakan lapangan kerja, memastikan ketahanan pangan, meningkatkan kesejahteraan inklusif, dan membangun ketahanan iklim.