Mata Akademisi, Milenianews.com – Di tengah riuhnya modernitas yang terus bergerak cepat, ada satu momen sakral yang tetap bertahan dalam diam: sedekah bumi. Di berbagai daerah di Jawa Timur, masyarakat masih melestarikan ritual ini sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas berkah hasil bumi. Namun, di balik doa dan tumpeng yang terhidang, tradisi ini menyimpan makna sosial yang dalam, terutama jika ditelaah melalui lensa sosiologi klasik Max Weber.
Sedekah bumi bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah jalinan nilai dan warisan budaya yang terus hidup dari generasi ke generasi. Dalam kerangka tindakan sosial Weber, sedekah bumi masuk dalam kategori “tindakan tradisional” — yakni tindakan yang dilakukan karena kebiasaan yang mengakar kuat dalam kehidupan sosial.
Melihat Tradisi Lewat Teori Max Weber
Max Weber, seorang sosiolog Jerman terkemuka, membagi tindakan sosial ke dalam empat tipe: rasional instrumental, rasional nilai, afektif, dan tradisional. Tindakan tradisional, seperti sedekah bumi, dilakukan bukan karena perhitungan logis atau emosi semata, melainkan karena sudah menjadi bagian dari norma dan rutinitas sosial yang diwariskan turun-temurun.
Dalam sedekah bumi, masyarakat berkumpul membawa tumpeng dan ayam panggang, berdoa bersama di balai desa, lalu menyantapnya secara kolektif atau membawanya pulang. Tidak ada kalkulasi untung rugi dalam praktik ini. Yang ada justru semangat kebersamaan dan keberlanjutan nilai budaya.
Baca juga: Gelar Gus dan Ning: Kontribusi Nyata atau Legalitas Semata?
Simbol Rasa Syukur dan Solidaritas Sosial
Makna utama sedekah bumi terletak pada simbol dan solidaritas. Proses gotong royong mempersiapkan makanan, tempat ritual, hingga doa bersama di akhir acara menjadi cerminan solidaritas sosial yang kuat. Seperti kata Weber, tindakan sosial tidak pernah benar-benar netral — ia selalu sarat makna.
Bahkan ketika nasi tumpeng itu diletakkan di sudut sawah sebagai bentuk syukur, itu bukan semata simbol spiritual, tapi juga bentuk komunikasi sosial: antara manusia, alam, dan kekuatan tak kasatmata yang diyakini masyarakat.
Tradisi yang Bertahan dan Bertransformasi
Di tengah derasnya arus modernisasi, tradisi sedekah bumi tidak serta-merta hilang. Sebaliknya, ia menunjukkan elastisitas sosial. Ada elemen yang mulai berubah — mungkin dari segi bentuk acara atau waktu pelaksanaannya — namun makna kolektifnya tetap dijaga.
Inilah yang dimaksud Weber dengan tindakan sosial yang bisa direinterpretasi sepanjang ia masih bermakna bagi pelakunya. Jadi, sedekah bumi bukan semata warisan budaya statis, melainkan praktik sosial yang terus hidup dan relevan.
Tradisi sebagai Cermin Jati Diri
Sedekah bumi membuktikan bahwa dalam dunia yang semakin rasional dan serba cepat, tindakan tradisional tetap punya tempat penting. Ia bukan bentuk kemunduran, tapi justru cermin identitas sosial dan kultural. Lewat tradisi seperti ini, masyarakat mengukuhkan siapa mereka dan kepada siapa mereka terhubung — baik secara sosial maupun spiritual.
Dengan perspektif Max Weber, kita diajak untuk tidak memandang tradisi hanya sebagai ritual, tapi sebagai tindakan sosial bermakna yang membentuk dan mempertahankan solidaritas masyarakat.
Penulis: Saepullah, Adibah Afuwah Karimah, Rafa Jihan Dwinus, Wianda Nurul Luthfiani. Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.








