Mata Akademisi, MileniaNews.com – Dalam sejarah pemikiran Islam modern, nama Muhammad Abduh (1849–1905) senantiasa hadir sebagai obor perubahan. Lahir di tengah gempuran kolonialisme dan kejumudan berpikir, Abduh menghadirkan satu gagasan radikal: bahwa Islam bukanlah agama yang bertentangan dengan akal, dan pembaruan (tajdid) adalah keniscayaan zaman.
Murid dari Jamaluddin Al-Afghani ini tidak sekadar berbicara tentang teologi, tetapi juga tentang masa depan peradaban Islam. Bagi Abduh, penyebab utama stagnasi umat Islam adalah ketergantungan pada tradisi tanpa refleksi kritis—suatu bentuk taklid buta yang mematikan nalar dan kebaruan. Maka dari itu, ijtihad menjadi kunci: menggali kembali makna ajaran agama dengan keberanian intelektual dan kesadaran kontekstual.
Teologi Abduh dan Tuntutan Zaman
Di era globalisasi dan sekularisasi yang semakin menggerus identitas keagamaan, pemikiran rasional Muhammad Abduh hadir sebagai oase. Ia tidak mengajak umat untuk meninggalkan agama demi modernitas, melainkan menghubungkan keduanya dalam jembatan intelektual yang kuat: harmoni antara akal dan wahyu.
Konsep rasionalitas ini tidak berdiri di ruang hampa. Ia hadir dalam wajah kehidupan nyata—dari ekonomi syariah yang inklusif, bioetika yang mempertimbangkan kemanusiaan, hingga dialog antaragama yang menumbuhkan toleransi. Ijtihad, dalam pandangan Abduh, bukan sekadar alat tafsir, tapi strategi hidup untuk menjawab dinamika zaman.
Akal dan Wahyu: Bukan Musuh, Tapi Kawan Sejalan
Menurut Abduh, Islam adalah agama yang mendorong logika sehat. Selama tidak melanggar prinsip-prinsip syariat, penggunaan akal adalah bagian dari ibadah intelektual. Di tengah derasnya arus teknologi dan sains, pendekatan ini justru menjadi kunci agar Islam tidak terpinggirkan dalam diskursus global.
Contoh konkret dari pemikiran ini adalah integrasi ilmu agama dan sains dalam pendidikan tinggi. Universitas seperti UIN di Indonesia atau IIUM di Malaysia bukan hanya mengajarkan tafsir dan fikih, tetapi juga sains, teknologi, bahkan kedokteran. Hal ini mencerminkan gagasan Abduh tentang pentingnya membangun peradaban yang religius sekaligus rasional.
Baca juga: Islamofobia dan Radikalisme: Dua Wajah yang Sama-Sama Gagal Paham
Menolak Taklid, Mendorong Kemandirian Berpikir
Salah satu kritik tajam Abduh adalah terhadap praktik taklid: mengikuti pandangan lama tanpa pertimbangan kritis. Di era digital, ketika informasi melimpah ruah, umat Islam harus mampu menjadi pemikir aktif, bukan pengikut pasif. Abduh menyuarakan maqashid syariah—tujuan hukum Islam—sebagai parameter berpikir: keadilan, kemaslahatan, dan kebebasan berpikir.
Dengan pendekatan ini, hukum-hukum lama bisa dievaluasi ulang tanpa kehilangan ruhnya. Misalnya, bank syariah yang tumbuh bukan karena teks semata, tetapi karena kebutuhan zaman yang direspon dengan nilai-nilai Islam. Ijtihad, dengan demikian, bukan hanya intelektual, tetapi juga spiritual.
Teologi Abduh sebagai Cahaya Pandu Umat Modern
Di tengah kebingungan zaman—radikalisme, degradasi moral, dan krisis pendidikan—pemikiran Abduh hadir sebagai kompas. Rasionalitasnya bukan kering, tetapi hidup oleh nilai. Inklusivitasnya bukan permisif, tetapi berbasis akhlak. Dan reformismenya bukan pemutusan tradisi, melainkan penyegaran makna.
Umat Islam modern, khususnya generasi muda, dapat menjadikan Abduh sebagai inspirasi dalam merumuskan teologi masa kini. Sebuah teologi yang tidak larut dalam romantisme masa lalu, namun juga tidak silau pada modernitas semata. Teologi yang mengakar, tapi juga bergerak.
Seperti dikatakan Abduh sendiri, “Islam itu suci, tapi umatnya yang harus terus dibersihkan.” Dan melalui ijtihad, dialog, serta keberanian berpikir, ajaran Islam dapat tetap relevan, hidup, dan memberi cahaya dalam setiap zaman.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.