Mata Akademisi, Milenianews.com – Dalam sejarah intelektual Islam, perdebatan teologis bukan sekadar persoalan metafisik yang mengawang-awang, tetapi juga menyentuh dasar kehidupan sosial. Salah satu aliran yang menandai tonggak pemikiran rasional dalam Islam adalah Mu’tazilah. Di antara lima prinsip utama yang mereka anut, al-‘adl (keadilan) menempati posisi sentral—sebuah prinsip yang tidak hanya membicarakan Tuhan, tetapi juga manusia dan tatanan masyarakat.
Keadilan, dalam pandangan Mu’tazilah, bukan sekadar anjuran moral, melainkan kewajiban nalar. Mereka menolak determinisme mutlak dan menegaskan kebebasan kehendak manusia (free will). Tuhan, bagi Mu’tazilah, adalah zat yang mutlak adil. Maka mustahil bagi-Nya menciptakan kejahatan atau menzalimi hamba-Nya. Dalam kerangka ini, manusia adalah aktor moral yang bebas dan bertanggung jawab. Kejahatan bukan produk kehendak Ilahi, tetapi akibat dari pilihan manusia sendiri.
Lalu bagaimana prinsip teologis ini bersuara di tengah tantangan kontemporer seperti korupsi, ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan hukum di Indonesia?
Rasionalitas dan Etika Sosial: Akal sebagai Kompas Keadilan
Mu’tazilah memposisikan akal bukan hanya sebagai alat berpikir, tetapi juga sebagai penjaga moral. Mereka percaya bahwa bahkan tanpa wahyu, manusia mampu mengenali mana yang baik dan buruk. Dalam konteks keadilan, ini berarti bahwa sistem hukum dan kebijakan sosial dapat dinilai melalui pertimbangan akal sehat dan nalar etis.
Konsepsi ini sangat relevan ketika kita mengamati praktik hukum di Indonesia yang kerap timpang. Dalam sejumlah kasus, hukum terlihat “tumpul ke atas dan tajam ke bawah.” Koruptor berdasi yang merugikan negara triliunan rupiah bisa mendapat keringanan hukuman, sementara pencuri sandal dipenjarakan. Fenomena ini, dalam pandangan Mu’tazilah, adalah pengkhianatan terhadap asas keadilan ilahiah sekaligus kegagalan akal manusia dalam menegakkan etika sosial.
Baca juga: Al-Qur’an sebagai Objek Perdebatan Teologi dalam Islam
Menolak Fatalisme: Membangun Kesadaran Kritis dan Partisipasi Masyarakat
Penolakan terhadap determinisme (jabr) membawa implikasi besar: masyarakat tak bisa bersandar pada dalih “takdir” untuk membenarkan ketidakadilan. Mu’tazilah mewajibkan manusia bertanggung jawab atas segala pilihan dan perbuatannya. Dalam konteks ini, ketidakadilan struktural bukanlah sesuatu yang harus diterima sebagai nasib, melainkan tantangan yang harus dilawan secara sadar.
Oleh karena itu, prinsip ini menuntut partisipasi aktif masyarakat dalam mengawal kekuasaan. Lahirnya gerakan sipil, LSM antikorupsi, media independen, dan ormas keagamaan kritis dapat dibaca sebagai manifestasi modern dari seruan amar ma’ruf nahi munkar—menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Bagi Mu’tazilah, prinsip ini bukan retorika kosong, tetapi kewajiban moral kolektif.
Dari Teologi ke Kebijakan Publik: Jalan Menuju Reformasi Sosial
Apa yang ditawarkan Mu’tazilah bukan sekadar doktrin teologi, melainkan fondasi untuk merumuskan kebijakan publik yang adil dan rasional. Dalam konteks Indonesia, sejumlah rekomendasi dapat dijabarkan:
Pajak Progresif dan Redistribusi Kekayaan: Mereka yang berpenghasilan tinggi harus berkontribusi lebih besar demi menciptakan keseimbangan sosial. Ini sejalan dengan etika keadilan distributif yang dijunjung Mu’tazilah.
Bantuan Sosial Tepat Sasaran: Perbaikan data penerima manfaat seperti DTKS sangat penting agar subsidi benar-benar menyentuh lapisan masyarakat paling rentan.
Reformasi Hukum: Tidak boleh ada perlakuan istimewa dalam hukum. Prinsip equality before the law adalah pengejawantahan dari keadilan Tuhan yang diyakini Mu’tazilah.
Lebih jauh, prinsip reward and punishment dalam teologi Mu’tazilah—bahwa setiap perbuatan manusia akan dibalas secara adil oleh Tuhan—dapat dijadikan inspirasi sistem meritokrasi dalam birokrasi. Jabatan harus diraih berdasarkan prestasi, bukan karena koneksi atau uang suap.
Mewariskan Keadilan, Menjaga Martabat
Pemikiran Mu’tazilah menawarkan kerangka kerja yang kuat untuk membangun masyarakat yang adil dan rasional. Dalam menghadapi problem ketimpangan dan krisis kepercayaan terhadap hukum, kita tak bisa hanya bergantung pada mekanisme hukum formal. Diperlukan transformasi kesadaran—baik dari pemerintah maupun rakyat—bahwa keadilan adalah tanggung jawab bersama.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl: 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan…”—ayat ini menjadi gema abadi bahwa keadilan bukan sekadar kebijakan negara, tapi juga refleksi spiritual.
Mu’tazilah, dengan keberanian berpikirnya dan penghormatannya pada akal, mengajarkan bahwa keadilan sejati adalah keadilan yang tidak hanya diucapkan, tetapi diperjuangkan. Kini saatnya kita menerjemahkan nilai-nilai itu ke dalam tindakan nyata demi Indonesia yang lebih adil dan bermartabat.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.