Rebo Wekasan: Ritual Sakral Antara Mitos dan Spiritualitas Perspektif Émile Durkheim

rebo wekasan

Mata Akademisi, Milenianews.com – Rebo Wekasan adalah tradisi tahunan masyarakat Jawa yang dilaksanakan setiap Rabu terakhir bulan Safar dalam kalender Hijriah, yang diyakini dapat menolak bala dan musibah. Meskipun tidak secara tegas disebutkan dalam ajaran agama, tradisi ini tetap bertahan sebagai bagian dari warisan budaya dengan nilai religius dan sosial, seperti doa bersama, sedekah, dan mandi tolak bala.

Rebo Wekasan dalam perspektif sosiologi Émile Durkheim dipahami sebagai fakta sosial yang memperkuat ikatan antarwarga dan menciptakan kesadaran bersama melalui ritual bersama. Tradisi ini juga mengandung makna spiritual yang mendalam, dan menjadi penghubung antara manusia dengan keyakinan akan kekuatan yang lebih besar. Hal itu menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana tradisi Rebo Wekasan berperan sebagai fakta sosial dalam membentuk solidaritas dan memperkuat nilai spiritual masyarakat, berdasarkan perspektif Émile Durkheim?

Baca juga: Sakral dan Sosial pada Ritual Ngaben dalam Budaya Bali

Rebo Wekasan mengandung spritualitas yang kuat di masyarakat Jawa. Kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat Jawa mengenai akan turunnya berbagai musibah pada hari Rabu terakhir bulan Safar. Kepercayaan ini menghubungkan masyarakat dengan hal-hal gaib yang tidak terlihat tetapi diyakini keberadaannya.

Menurut Durkheim, kepercayaan yang dijalankan bersama-sama ini tidak hanya sebagai bentuk kedekatan hubungan individu dengan Tuhan saja, tetapi juga untuk memperkuat kebersamaan antarwarga. Masyarakat merasa lebih terhubung satu sama lain dengan berkumpul dan berdo’a bersama, sehingga solidaritas semakin terjaga. Rebo Wekasan dengan demikian sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan sebagai perekat sosial yang menjaga kerukunan dan kebersamaan dalam masyarakat.

Menurut Émile Durkheim, tradisi keagamaan dan ritual kolektif seperti Rebo Wekasan berfungsi untuk memperkuat rasa kebersamaan dalam masyarakat. Saat warga berkumpul untuk melakukan doa bersama, mandi tolak bala, atau memberi sedekah, dan sholat tolak balak, masyarakat sedang membangun ikatan emosional yang mempererat hubungan sosial.

Tradisi ini mempertemukan berbagai lapisan masyarakat dalam satu tindakan bersama yang mengarah pada tujuan spiritual dan sosial yang sama. Inilah yang disebut Durkheim sebagai fungsi membentuk “Solidaritas Mekanik”, yaitu bentuk solidaritas yang muncul karena adanya kesamaan nilai dan kepercayaan dalam masyarakat tradisional. Rebo Wekasan ini menjadikan masyarakat merasa menjadi satu kesatuan yang saling terhubung dan saling mendukung.

Menurut Durkheim, setiap kegiatan keagamaan atau tradisi bersama menciptakan sesuatu yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif, yaitu kesadaran bersama yang hidup dalam kelompok sosial. Masyarakat tidak hanya menjalankan ritual secara individu, tetapi menyadari bahwa mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.

Melalui doa, dzikir, dan sedekah yang dilakukan bersama, nilai-nilai seperti kepasrahan kepada Tuhan, keinginan untuk selamat bersama, dan semangat berbagi menjadi norma sosial bersama. Tradisi Rebo Wekasan mengajarkan bahwa kekuatan sosial dan moral tidak datang dari individu saja, tetapi dari kesatuan seluruh masyarakat yang saling percaya dan saling mendukung dalam ritual.

Rebo Wekasan tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk meneruskan nilai-nilai sosial dan budaya kepada generasi berikutnya. Tradisi Rebo Wekasan dalam perspektif Durkheim merupakan bentuk pendidikan sosial yang mengajarkan nilai, norma, dan aturan hidup bersama. Melalui partisipasi dalam tradisi Rebo Wekasan, anak-anak dan remaja belajar tentang pentingnya gotong royong, saling mendoakan, dan menjaga hubungan antarwarga.

Hal ini menjadi bentuk integrasi sosial yang menjaga keharmonisan masyarakat lintas generasi. Proses pembelajaran ini terjadi tanpa paksaan, tapi melalui pembiasaan yang turun temurun. Rebo Wekasan tidak hanya menjadi peristiwa budaya tahunan, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk membentuk, menjaga, dan mewariskan identitas sosial masyarakat.

Baca juga: Pamali dan Tabu: Membaca Kearifan Lokal Lewat Kacamata Psikoanalisis Freud

Di tengah derasnya arus modernisasi, Rebo Wekasan tetap berdiri sebagai tiang penyangga yang menjaga keseimbangan antara dunia spiritual dan sosial masyarakat Jawa. Ritual tahunan ini bukan hanya tentang menghindari malapetaka, tetapi lebih merupakan cermin dari cara sebuah masyarakat memaknai keberadaan mereka di antara yang sakral dan yang profan.

Seperti air mengalir, membawa nilai-nilai luhur dari generasi ke generasi. Rebo Wekasan mengajarkan bahwa dalam setiap ritual, selalu ada ruang untuk menemukan kembali esensi kemanusiaan yang sering terlupa dalam kesibukan duniawi.

Penulis: Samsul Ariyadi, Dosen serta Maya Ariska, Novi Badriyah, dan Yeni Rosa Damaiyanti, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *