Peran Perempuan sebagai Hakim dalam Perspektif Fiqh Islam: Telaah terhadap Madzhab Hanbali

Mata Akademisi, Milenianews.com – Salah satu prinsip pokok ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik laki-laki maupun perempuan, bangsa, suku, dan keturunan. Perbedaan di antara mereka di hadapan Tuhan Yang Maha Esa hanyalah amal soleh dan ketakwaannya. Hal ini berlandaskan Al-Qur’an, Surah An-Nahl ayat 97 yang artinya:

“Barang siapa yang mengerjakan amalan sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

Baca juga: Tuhan dalam Gimik Influencer

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menafsirkan bahwa janji Allah ini ditunjukan kepada orang yang beramal soleh. Yang dimaksud dengan amal soleh ialah amal perbuatan yang mengikuti petunjuk Al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya, baik dia laki-laki ataupun perempuan dari kalangan anak Adam, sedangkan hatinya dalam keadaan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan bahwa amal yang dilakukannya itu merupakan amal yang diperintahkan serta disyariatkan dari sisi Allah. Maka Allah berjanji akan memberinya kehidupan yang baik di dunia.

Namun persoalan perempuan dalam ranah publik, khususnya dalam jabatan kehakiman, telah lama menjadi perdebatan di kalangan ulama fiqh, baik klasik maupun kontemporer. Beberapa ulama melarang perempuan menjadi hakim, dan ada juga sebagian ulama membolehkan dengan syarat selain perkara huhud dan qisǎs, dan ada juga yang membolehkan secara mutlak. Namun mayoritas ulama fiqh berpendapat bahwa jabatan hakim tidak layak diemban oleh perempuan, dan bahkan pendapat ini dituangkan dalam berbagai kitab fiqh mereka. Pandangan tersebut tidak lepas dari kondisi sosial dan konstruksi peran gender yang berkembang pada masa itu, di mana laki-laki diposisikan sebagai pemimpin yang secara eksplisit dijelaskan oleh Allah, melalui firman-Nya.

Prinsip ini sejalan dengan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), pendiri mazhab Hanbali, yang dikenal sebagai ulama yang sangat berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah. Beliau menolak kedudukan perempuan menjadi hakim dalam keadaan apapun. Madzhab Hanbali yang merupakan hasil pemikiran beliau dan Ulama Hanabilah, menyatakan bahwa jabatan hakim haruslah laki-laki dan tidak boleh perempuan. Menurut mereka, karena tugas seorang hakim disamping harus menghadiri sidang-sidang terbuka yang didalamnya terdapat kaum laki-laki, ia harus memiliki kecerdasan akal yang prima. Padahal tingkat kecerdasan perempuan berada di bawah kecerdasan kaum laki-laki, dan kemudian kehadiran perempuan bersama laki-laki dapat menimbulkan fitnah.

Ulama Hanabilah juga mensyaratkan seorang hakim haruslah laki-laki, sedangkan Imam Rajraji (w. 633 H) mengatakan “bahwa tidak boleh perempuan memimpin sesuatu yang berkaitan dengan perkara orang-orang Muslim”. Menurut mereka Nabi Saw, para khalifah Al-Rasyidin juga penguasa-penguasa Islam sesudahnya tidak pernah memberikan kekuasaan kepada perempuan. Para ulama salaf sepakat bahwa perempuan tidak diperbolehkan menduduki jabatan sebagai hakim. Kesepakatan mereka ini didasari dengan firman Allah dalam Surah an-Nisa’ ayat 34 yang artinya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang sholehah, ia yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Oleh karena itu, Allah telah memelihara mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, kemudia jika mereka mentaatimu, maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha Tinggi lagi maha Besar.”(Q.S. An-Nisa [4]: 34).

Dalam Kitab Tafsir Ibnu katsir, menafsirkan ayat ini, bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, yakni laki- laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, dan mendidiknya tatkala dia melakukan penyimpangan.

“Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.” Yakni, karena laki-laki lebih unggul daripada wanita dalam hal nalar berpikir. Ayat ini menyatakan, bahwa perempuan tidak memiliki hak-hak politik untuk memegang jabatan publik atau kepentingan publik, karena laki-laki merupakan pemimpin perempuan, mereka berkewajiban memberikan nafkah kepada perempuan, dan ayat ini juga  menunjukan bahwa laki-laki berkewajiban mengatur dan mendidik perempuan, serta menugaskannya berada di rumah dan melarang keluar rumah.

Pernyataan yang sama dinyatakan dalam sebuah riwayat imam Bukhari yang artinya: “Sampai kabar kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita”. (HR Al-Bukhari).

Hadits ini para pensyarah menjelaskan peristiwa apa yang menyebabkan Nabi berujar demikian. Alkisah, negeri Kisra-salah satu bagian dari negeri-negeri Persia-memiliki seorang raja yang terbunuh, buah dari konflik internal kerajaan. Rupanya, pembunuh sang raja adalah anak lelakinya sendiri. Intrik demi intrik terjadi dalam kerajaan, dan singkat cerita diputuskan untuk mengangkat raja dari anak perempuan sang Kisra. Sayangnya, anak perempuan Kisra ini kurang sukses memimpin kerajaan. Demikian kurang lebih keterangan dalam Irsyadus Sari Syarh Shahih Al-Bukhari karya Imam Al-Qasthalani dan Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi karya Imam Al-Mubarakfuri.

Salah satu argumen disajikan oleh Imam Al-Munawi dalam Faidhul Qadir tentang hadits tersebut. Disebutkan bahwa suatu kaum atau golongan tidak akan sejahtera jika dipimpin perempuan karena lemahnya pemikiran perempuan. Selain itu, berdasarkan keterangan Al-Munawi, perempuan adalah aurat. Merupakan suatu pantangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin karena pemimpin perlu banyak tampak di masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *