Budaya  

Antologi Puisi “Jantung yang Berdetak dalam Batu”:  Ketika Puisi Menjadi Rumah Nurani

Dari kiri ke kanan: Agus R. Sarjono, Dr. Venus Khasanah, Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Maman S. Mahayana, dan Dr. Rahmi Yulia Ningsih. (Foto: Istimewa)

Milenianews.com, Jakarta — Gedung PDS HB Jassin  yang biasanya sunyi menjelma altar kata-kata pada Jumat malam, 27 April 2025. Di hadapan ratusan pecinta sastra, Jantung yang Berdetak dalam Batu, kumpulan puisi terbaru Helvy Tiana Rosa, diluncurkan sebagai bagian dari peringatan 40 tahun kiprahnya di dunia literasi. Lebih dari sekadar peluncuran buku, acara ini menjadi peristiwa kultural yang menegaskan kembali bahwa puisi masih memiliki daya detak untuk menyuarakan luka, cinta, dan kemanusiaan.

Acara yang digelar di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, dihadiri para penyair, akademisi, seniman, hingga aktivis kemanusiaan lintas generasi. Tak sekadar menjadi ruang selebrasi, malam itu terasa seperti doa panjang—di mana kata-kata mengisi kekosongan yang tak bisa dijangkau oleh pidato, dan puisi menjadi bahasa bagi yang tak lagi mampu bersuara.

Puisi yang Merawat Luka, Menjaga Cahaya

Kumpulan puisi Jantung yang Berdetak dalam Batu (JyBdB) disebut oleh kritikus sastra Maman S. Mahayana sebagai karya yang melampaui batas konvensi. “Helvy bukan penyair perempuan biasa. Ia tak berhenti pada klangenan rindu. Puisinya adalah napas kemanusiaan yang tak jatuh pada propaganda. Diksinya sangat terjaga,” tegas Maman.

Penampilan Bengkel Sastra UNJ membawakan 2 puisi Helvy

Pujian juga datang dari penyair dan kritikus Agus R. Sarjono. “Yang wow bukan saja pesannya, tapi cara Helvy memainkan majas. Ketika ada kata ‘adalah’, ‘seperti’, dan ‘bagaikan’kelanjutannya tak pernah gagal. Semua bagus!” ujar penyair yang biasanya pelit memuji itu sambil tersenyum.Dr. Venus Khasanah, akademisi sastra dari UNJ, menyebut buku ini sebagai mahakarya. Dari sembilan puisi tentang Palestina, delapan tentang Aceh, selusin puisi tentang guru, sastra, hingga tema korupsi, Ramadan, kesehatan mental, dan tokoh perempuan—semua dirangkai dengan liris, dalam, dan estetik.

Baca Juga : 40 Tahun Berkarya Dalam Sastra, Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia Konsisten Perjuangkan Palestina

Ini mengingatkan akan pendapat kritikus, penyair Acep Iwan Saidi dalam pengantar buku JyBdB bahwa Helvy intens mempertimbangkan diksi. Helvy merawat diksinya untuk tetap menjadi metafora yang hidup (creative metaphor). Di samping itu ia menjaga relasi semiotis antardiksi dalam larik dan bait, sehingga konstruksi sajak selalu kohesif dan koheren.

Panggung yang Menjadi Jantung

Tujuh juara baca puisi nasional, para deklamator terkemuka Indonesia, bergantian membawakan karya Helvy, menyulap senja menjadi panggung empati. Devie Matahari membawa puisi tentang perempuan Aceh seolah dari dalam tubuhnya sendiri. Ical Vrigar dan Fauzi Afriansyah menambahkan kekuatan maskulin yang reflektif. Rahmi Yulia membacakan puisi dengan kombinasi ketegasan dan kelembutan. Ahmad Mulyadi dan Ayu Puspa Nanda menjadi penyambung nyawa puisi, sekaligus pemandu jiwa acara. Mae Shafira menutup sesi dengan suara bening yang menghantarkan puisi ke dimensi spiritual.

Musikalisasi oleh Bengkel Sastra UNJ dan Jumpakustik memekarkan makna puisi ke dalam melodi. Saat puisi tentang Palestina dan Ibu, dinyanyikan, para penonton menyimak haru.

Tak kalah mengharukan juga saat Asma Nadia, sang adik sekaligus penulis terkenal, membacakan puisi “Rel yang Menanam Mimpi”. Puisi tentang masa kecil mereka yang keras di tepi rel Gunung Sahari itu menyayat dan menginspirasi: dari keterbatasan bisa tumbuh kata-kata yang memeluk semesta.

Momen paling menggetarkan datang dari sang penyair sendiri, ketika Helvy membacakan puisinya: “Palestina Menang”. Larik-larik yang lahir dari pikiran, perasaan, pengalaman, impian dan doa terasa hidup. Tak ada akting. Hanya kejujuran dan nyawa kata-kata.

Helvy bersama Asma Nadia,  para narasumber, para deklamator nasional, dan Bengkel Sastra UNJ

Ketika Kata Menjadi Tindakan

Helvy Tiana Rosa bukan sekadar penyair. Ia adalah gerakan literasi. Dengan 83 buku lintas genre yang sebagian telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, ia juga mendirikan Forum Lingkar Pena, yang membantu melahirkan ribuan penulis muda.

Selama lebih dari dua dekade, ia mengajar di Fakultas Bahasa dan Seni UNJ, sekaligus aktif sebagai produser film dan musik. Film terbarunya Gaza akan tayang di bioskop mulai 12 Juni 2025, menandakan bahwa kiprahnya melintasi batas medium, namun tetap setia pada suara nurani.

Buku Jantung yang Berdetak dalam Batu  yang diterbitkan Penerbit Bukunesia, kini telah tersedia di toko buku dan platform daring. Bukan hanya buku, tetapi refleksi. Sebuah doa panjang untuk mereka yang berjuang, bertahan, dan masih percaya bahwa kata bisa mengubah dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *