News  

Kuliah Umum di Unpad, Prof. Rokhmin Kupas  Ekonomi Biru sebagai  Pondasi Bangsa

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin MS ., memberikan kuliah umum “Blue Economy sebagai Pondasi Bangsa” di Kampus Unpad, Jarinangor, Jumat (10/3/2023). (Foto-foto: Dok RD Institute)

Milenianews.com, Bandung- Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin MS ., memberikan kuliah umum “Blue Economy sebagai Pondasi Bangsa”  di Kampus  Unpad, Jarinangor, Jumat (10/3/2023).  Ia membawakan makalah berjudul “Blue Economy sebagfai Pondasi Perekonomian Bangsa untuk Peningkatan Daya Saing dan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas dan Inklusif secara Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045”.

Ia mengawali makalahnya dengan mengutip beberapa defisini tentang Blue Economy (Ekonomi  Biru). Antara lain, “Blue Economy adalah penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan umat manusia, dan  secara simultan menjaga kesehatan serta keberlanjutan ekosistem laut (World Bank, 2016).”

Selain itu, “Blue Economy adalah semua kegiatan ekonomi yang terkait dengan lautan dan pesisir. Ini mencakup berbagai sektor-sektor ekonomi mapan (established sectors) dan sektor-sektor ekonomi yang baru berkembang (emerging sectors) (EC, 2020).”

Ekonomi Kelautan

Prof. Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia mengatakan Blue Economy dengan ekonomi kelautan. Menurutnya, ekonomi kelautan adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia.”

“Jika potensi Blue Economy  didayagunakan dan dikelola berbasis inovasi Iptek dan manajemen profesional, maka sector-sektor ekonomi kelautan diyakini akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi segenap permasalahan bangsa, dan mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia serta Indonesia Emas paling lambat pada 2045,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri yang juga ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara.

Ia lalu memaparkan isu dan tantangan pembangunan Blue Economy Indonesia. Antara lain, pertama, kecuali sektor ESDM, usaha di sektor-sektor kelautan lainnya (perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan pariwisata bahari) dilakukan secara tradisional (low technology & management) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro. Sehingga, tingkat pemanfaatan SD, produktivitas, dan efisiensi usaha (bisnis) pada umumnya rendah. Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.

Kedua, investasi dan bisnis sektor kelautan yang besar (korporasi), modern, dan sangat menguntungkan (ESDM, Kawasan Industri, Properti, dll) pada umumnya kurang nasionalismenya.  “Sebagian besar profitnya dibawa ke Jakarta atau negara asalnya (regional leakage), gaji karyawan rendah, dan lingkungan hidup umumnya rusak,” ujarnya.

Ketiga, pada umumnya, tingkat pemanfaatan sektor-sektor ekonomi kelautan lainnya belum optimal (underutilized). Akibatnya,  kontribusinya bagi perekonomian bangsa (PDB, nilai ekspor, PNBP, dan lapangan kerja) pun masih rendah (15%).

Keempat, posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam Sistem Tata Niaga (Rantai Nilai) Perikanan sangat marginal. “Sehingga, nelayan dan pembudidaya terjebak dalam kemiskinan struktural,” tuturnya.

Kelima, rendahnya akses nelayan, pembudidaya ikan, dan stakeholders kelautan UMKM lainnya kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya. “Semua itu mengakibatkan kemiskinan struktural,” katanya.

Keenam, overfishing di beberapa wilayah perairan, sedangkan di sejumlah wilayah perairan lain mengalami underfishing. “Ketujuh, pencemaran, degradasi fisik ekosistem (pesisir, danau, dan sungai), dan kerusakan lingkungan lain,” ujarnya.

Kebijakan dan Program Pembangunan Kelautan

Prof. Rokhmin yang juga penasehat menteri kelautan dan perikanan 2020 – sekarang,  kemudian menjelaskan kebijakan dan program pembangunan kelautan menuju Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) 2024, yang  terdiri dari 5 langkah.

Pertama, penegakkan kedaulatan wilayah laut NKRI: (1) penyelesaian batas wilayah laut (UNCLOS 1982) dengan 10 negara tetangga; (2) penguatan & pengembangan sarpras hankam laut; dan (3) peningkatan kesejahteraan, etos kerja, dan nasionalisme aparat.

Kedua, penguatan dan pengembangan diplomasi maritim. “Ketiga, revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, dan sustainability) seluruh sektor dan usaha (bisnis) ekonomi kelautan yang ada sekarang (existing),” ujarnya.

Keempat, pengembangan sektor-sektor ekonomi kelautan baru, seperti: industri bioteknologi kelautan, shale and hydrate gas, fiber optics, offshore aquaculture, deep sea fishing, deep sea mining, deep sea water industry, dan floating city.

“Kelima, pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru di wilayah pesisir sepanjang ALKI, pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan, dengan model Kawasan Industri Maritim Terpadu berskala besar (big-push development model),” paparnya.

Keenam, semua unit usaha sektor ekonomi kelautan harus menerapkan: (1) skala ekonomi (economy of scale); (2) integrated supply chain management system; (3) inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0) pada setiap mata rantai suplai, dan (4) Integrated Coastal Management (ICM).

Ketujuh, seluruh proses produksi, pengolahan (manufakturing), dan transportasi harus secara gradual menggunakan energi terbarukan (Zero Carbon): solar, pasang surut, gelombang, angin, biofuel, dan lainnya.

Kedelapan, eksplorasi dan eksploitasi ESDM serta SDA non-konvensional harus dilakukan secara ramah lingkungan. Kesembilan, pengelolaan lingkungan: (1) tata ruang, (2) rehabilitasi ekosistem yang rusak, (3) pengendalian pencemaran, dan (4) konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity).

Kesepuluh, mitigasi dan adaptasi terhadap Global Climate Change, tsunami, dan bencana alam lainnya. Kesebelas, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan.

Kedua belas, penguatan dan pengembangan R & D guna menguasai, menghasilkan, dan menerapkan Iptek. Ketiga belas, penciptaan iklim investasi dan Ease of Doing Business yang kondusif dan atraktif. Keempat belas, peningkatan budaya maritim bangsa.

“Kelima belas, kebijakan politik-ekonomi (fiskal, moneter, otoda, hubungan pemerintah dan DPR, penegakkan hukum, dll) yang kondusif: Policy Banking (Bank Maritim) untuk sektor-sektor ekonomi kelautan,” papar Prof. Rokhmin Dahuri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *