News  

Pakar: Potensi Blue Economy Sangat Besar untuk Mewujudkan Indonesia Emas 2045

Pakar kelautan dan perikanan Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS menyampaikan Kuliah Umum “Blue Economy sebagai Future Player Ekonomi Iindonesia” di kampus IPB Dramaga, Bogor, Rabu (15/2/2023). (Foto-foto: Dok RD Institute)

Milenianews.com, Bogor- Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS mengatakan, potensi Blue Economy  sangat besar dalam mengatasi permasalahan bangsa dan mewujudkan Indonesia Emas 2045.

“Jika potensi Blue Econony  didayagunakan dan dikelola berbasis inovasi Iptek dan manajemen profesional, maka sector-sektor Ekonomi Kelautan   diyakini akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi segenap permasalahan bangsa, dan mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia serta Indonesia Emas paling lambat pada 2045,” kata Prof. Rokhmin Dahuri pada General Lecturer “Blue Economy sebagai Future Player Ekonomi Iindonesia” di kampus IPB Dramaga, Bogor, Rabu (15/2/2023).

Menurut Bank Dunia (2016),  Blue Economy adalah penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan umat manusia, dan  secara simultan menjaga kesehatan serta keberlanjutan ekosistem laut.

“Blue Economy adalah semua kegiatan ekonomi yang terkait dengan lautan dan pesisir. Ini mencakup berbagai sektor-sektor ekonomi mapan (established sectors) dan sektor-sektor ekonomi yang baru berkembang (emerging sectors),” ujar Prof. Rokhmin mengutip EC (2020).

Alasannya

Pakar kelautan dan periknanan IPB University itu  menyebutkan sejumlah alasan potensi Blue Economy sangat besar untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.  Pertama, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang 77% wilayahnya (termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indoenesia/ZEEI) berupa laut.  “Wilayah pesisir dan laut Indonesia mengandung potensi ekonomi berupa sumberdaya alam (SDA)  terbarukan, SDA tidak terbarukan, dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang luar biasa besar, yakni sekitar  1,4 trilyun dolar AS/tahun atau 1,5 kali PDB Indonesia dan dapat menciptakan lapangan kerja bagi sedikitnya 45 juta orang (30% total angkatan kerja),” kata Prof. Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).

Kedua, sebelas sektor Ekonomi Kelautan yang potensi nilai ekonominya  1,4 trilyun dolar AS/tahun itu dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (> 7%/tahun) dan berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), mengurangi ketimpangan ekonomi, mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah, dan memperkuat kedaulatan pangan, energi, farmasi, dan mineral.

“Secara geoekonomi dan geopolitik, letak Indonesia sangat strategis, di mana sekitar 45% total barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai ekonomi rata-rata US$ 15 trilyun/tahun dikapalkan melalui laut Indonesia,” kata Prof. Rokhmin mengutip data  UNCTAD  (2016).

Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu menambahkan, Selat Malaka sebagai bagian dari ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia)-1 merupakan jalur transportasi laut terpendek yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik. Menghubungkan raksasa-raksasa ekonomi dunia, termasuk India, Timur-Tengah, Eropa, dan Afrika di belahan Barat dengan China, Korea Selatan, dan Jepang di belahan Timur.

ALKI-1, kata Prof Rokhmin,  melayani pengangkutan sekitar 80% total minyak mentah yang memasok Kawasan Asia Timur dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika.  Jumlah kapal yang melintasi ALKI-1 mencapai 100.000 kapal/tahun.  Sementara, Terusan Suez dan Terusan Panama masing-masing hanya dilewati oleh 18.800 dan 10.000 kapal per tahun (Calamur, 2017).  Pendapatan Otoritas Terusan Suez mencapai rata-rata Rp 220 milyar/hari atau Rp 80,7 trilyun/tahun.

“Malangnya, sampai sekarang, Indonesia belum menikmati keuntungan ekonomi secuil pun dari fungsi laut NKRI sebagai jalur transportasi utama global,” ungkapnya.

Habitat Ikan Tuna Terbesar

Prof. Rokhmin juga menjelaskan, ARLINDO (Arus Lintas Indonesia) yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari Samudera Pasifik ke S. Hindia berfungsi sebagai ‘nutrient trap’ (perangkap unsur-unsur hara). “Sehingga, perairan laut Indonesia merupakan habitat ikan tuna terbesar di dunia (the world tuna belt), memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi, dan potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut terbesar di dunia, sekitar 12 juta ton/tahun (13,3% total MSY ikan laut dunia),” katanya mengutip  Dahuri (2004); KKP (2021); dan FAO  (2022).

Selain itu, sebagai bagian utama dari ‘the World Ocean Conveyor Belt’ (Aliran Arus Laut Dunia) dan terletak di Khatulistiwa, Indonesia secara klimatologis merupakan pusat pengatur iklim global, termasuk dinamika El-Nino dan La-Nina (NOAA, 1998).

“Kondisi oseanografi, geomorfologi, dan klimatologi NKRI menjadikan Indonesia sebagai pusatnya energi kelautan dunia yang terbarukan (renewable), seperti arus laut, pasang surut, gelombang, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) yang potensinya mencapai 10.000 megawatts, dan sampai sekarang baru dimanfaatkan kurang dari 5 persen,” paparnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *