Milenianews.com, Mata Akademisi – Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan pentingnya menumbuhkembangkan nilai-nilai multikultur. Dengan amanat seperti ini semestinya angin segar multikultur sudah seharusnya berhembus kencang ke pelosok di bumi Zamrud Khatulistiwa. Maraknya praktik pendidikan yang nilainya kurang mendukung terwujudnya multikultural yang didambakan, menimbulkan pertanyaan besar: apakah keinginan para founding father dan Bapak Bangsa dapat terwujud dengan melihat perkembangan hasil pendidikan multikultural di bumi Indonesia yang kita cintai?
Gerakan multikulturalisme dalam pendidikan muncul pertama kali di negara-negara Barat (Amerika, Kanada, dan Eropa). Hari ini, pendidikan multikultural telah diadopsi di banyak negara. Singkatnya, pendidikan multikulturalisme merupakan opposite pendidikan monokulturalisme. Para aktivis multikultural berpandangan monokulturalisme tidak mampu membangkitkan rasa ingin tahu, menghambat pertumbuhan sikap kritis, dan hanya melahirkan siswa yang mampu menilai budaya lain dengan perspektif budayanya sendiri. Pendidikan monokultur sungguh berbahaya karena berpotensi menumbuhkan arogansi, ketidakpekaan dan rasisme dalam mental siswa.
Sisi negatif dari pelaksanaan pendidikan monokultural menyebabkan pendidikan multikultural sangat cepat mendapatkan tempat dan menjadi pilihan di berbagai negara. Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan globalisasi akibat kemajuan ilmu pengetahuan teknologi komunikasi, semua negara harus mengimplementasikan pendidikan multikutural. Para pengamat umumnya setuju pada pendapat bahwa negara-negara yang tidak mengimplementasikan pendidikan multikultural secara baik, maka dapat diramalkan mereka tidak akan berlanjut (unsustain) sebagai sebuah bangsa dan negara. Tak kecuali Indonesia, pendidikan multikultural adalah harga mati.
Mengelola Kemajemukan
Kemajemukan merupakan fakta yang melekat pada Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara besar di dunia. Penduduk Indonesia terdata dari sumber kependudukan Semester II tahun 2021 tanggal 30 Desember 2022 lebih dari 273 juta jiwa. Sesuai sensus BPS 2010 Indonesia terdiri atas 1.340 suku bangsa. Indonesia tercatat pula sebagai bangsa yang memiliki keanekaragaman agama, suku, ras, bahasa, kondisi sosial dan budaya. Jika kita membandingkan Indonesia dari sisi kemajemukan, maka Indonesia jauh lebih majemuk dari negara manapun seperti Australia dan Malaysia. Indonesia membutuhkan pengelolaan kemajemukan dengan baik dan benar sehingga ia akan menghasilkan kekuatan positif bagi pembangunan Indonesia. Jika tidak dikelola dengan baik, kemajemukan dapat berujung pada konflik dan kekerasan sosial.
Selain pluralitas sejak berlangsungnya otonomi daerah di Indonesia pada awal tahun 2000-an, kita telah menyaksikan munculnya politik identitas lokal bercita rasa etnis dan agama di berbagai tempat. Kekerasan sebagai akibatnya juga muncul, meskipun masih dalam skala lokal. Kekerasan berkala biasanya meletus, terutama saat pemilihan kepala daerah. Globalisasi yang melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia, telah menyebabkan internasionalisasi, termasuk pendidikan. Sekolah asing dan universitas asing bermunculan di Indonesia. Adanya internasionalisasi tidak hanya terkait dengan kemampuan fleksibilitas dalam merancang program internasional, membuka program studi, atau merekrut dosen asing, tetapi juga terkait dengan pengembangan multikulturalisme dalam pendidikan. Berdasarkan konteks Indonesia seperti yang dijelaskan di atas, Indonesia sangat membutuhkan implementasi pendidikan multikulturalisme yang kuat.
Dalam konteks implementasi penddidikan multikultural, Indonesia tercatat menggunakan Undang-undang yang mengembangkan multikultural. Tetapi, landasan yang kuat belum seiring dengan implementasinya di lapangan. Sejumlah fakta menunjukkan hasil masih jauh dari harapan. Istilahnya masih ada inkonsistensi dalam implementasi Pendidikan multikultural.
Hal itu terekam dari sejumlah informasi. 2 Agustus 2022 data yang dirilis oleh Direktorat Sekolah Dasar menunjukkan bahwa 24,4% peserta didik berpotensi mengalami insiden perundungan. Kompas (22/04/2022) memberitakan ada anak 11 tahun di Tasikmalaya dipaksa oleh teman-temannya bersetubuh dengan kucing. Kompas (21/07/2022) memberitakan anak kelas 2 SD dipukuli, di-bully, dan diinjak oleh 15 anak lainnya. Dari penyelidikan, berbagai pembulian tersebut terjadi karena berbagai alasan. Di antaranya karena wajah sang teman seperti orang India. Mengerikan! Harusnya Indonesia bisa lebih baik dari negara manapun dalam hal menikmati hasil pendidikan multikultural.
Kembalikan Marwah Pendidikan Multikultural
Di tengah situasi seperti ini, kita membutuhkan pengembalian marwah pendidikan multikultural pada khitahnya. Targetnya tiga dosa besar pendidikan (perundungan, intolerasi, dan kekerasan seksual) seperti yang disampaikan oleh Mas Menteri dapat hilang dari dunia pendidikan.
Penulis mengidentifikasi empat agenda perbaikan guna mengembalikan Pendidikan multikulturalisme ke jalurnya yang benar. Pertama: meningkatkan kesadaran akan keadilan, simpati, inklusi, dan menghilangkan prasangka. Kedua: mematuhi kurikulum yang mengacu pada multikulturalisme seperti menjunjung tinggi toleransi, perbedaan etnis dan agama, resolusi konflik dan mediasi, HAM, demokrasi, kemajemukan, dan kemanusiaan universal.
Ketiga: mengembangkan pendidikan multikultural yang berorientasi pada kewarganegaraan transformatif sehingga menghasilkan pendidikan yang bebas dari trauma dan kecemasan. Keempat: meningkatkan komitmen dan kesabaran karena implementasi kurikulum berorintasi multicultural dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat majemuk bukanlah perkara mudah. Guru sebagai ujung tombak pendidikan multikultural dituntut lebih kreatif dengan menggunakan berbagai wacana multikulturalisme, wacana keagamaan yang damai, penggunaak media social, music multicultural, dan bahkan humor.
Melihat perkembangan pendidikan multikultural di Indonesia, sudah saaatnya semua merasa terpanggil memperbaiki implementrasi pendidikan multikultural ke arah yang lebih membanggakan. Dosa besar Ppndidikan yang selama ini masih terlihat dari berbagai praktik pendidikan harus bisa hilang. Mari selamatkan pendidikan multikultural dari lampu kuning menuju ke lampu hijau.
Penulis: Yuyun Elizabeth Patras, Pengajar di Universitas Pakuan, Pelatih Ahli Sekolah Penggerak