Oleh : Herlin Aprilianty
Ini sudah kali kedua aku tanpanya,
Jujur masih berat menerima kenyataan, jika kami sudah tidak bersama
Ada hal-hal yang biasanya kami lakukan bersama kini hanya sendiri
Lebih tepatnya aku seorang diri
Tuhan, salahkah aku merindukannya?
Tuhan, apa dia juga merindukan aku?
Terkadang ada sebuah pikiran picik dalam benakku
Kenapa aku harus di pisahkan dengannya, kenapa dia pergi duluan
Tahukah dia aku begitu terlalu ringkih tidak ada yang membantu aku berdiri tegak, Saat aku merasakan jika beban di bahu terasa sangat berat
Tidak ada lagi bunyi dering teleponku kala kau begitu larut dalam duniaku
Kali ini, ada sebuah kejujuran yang sangat ingin aku utarakan Tuhan
Duniaku hancur, runtuh dan beratakan kala dia pergi
Rasanya aku ingin ikut dengannya
Hanya dengan dia aku merasakan sebuah ketenangan
Air mataku deras mengalir tanpa dapat aku cegah, kala kumandang adzan yang terakhir kalinya di kumandangkan
Tangis pilunya merendu kala papan demi papan menutupi tubuhnya aku tidak rela
Kalimat yang ku utarakan adalah “om jangan tutup papannya, papah disana sendirian. Papah pasti dinginan tolong jangan om”
Namun sebuah kenyataan yang kudapati adalah ayahku telah tiada
Entah apa yang akan aku lakukan atau yang terjadi pada diriku di hari – hari berikutnya,
Apakah aku mampu bertahan dan berdiri tegak lagi, setelah badai besar menganhantam aku?
Atau aku terlarut dalam jurang yang akan membuat aku akan lebih hancur
Pada malam ini,
Tuhan, aku merindukan ayahku
Tolong sampaikan padanya Tuhan
Si anak manja ini kini telah tebiasa dengan ganasnya dunia,
Dan berhasil berdiri di atas kaki meskipun dengan tertatih bagaikan menginjak serpihan kaca pada setiap langkah
Sakit memang, tapi dia harus tetap berjalan,
Agar kaca yang sedang di injaknya tidak terlalu dalam menggores luka dia telapak kakinya
Dan tolong sampakan juga Tuhan…
Pah… si anak bungsu ini selalu meridukan ayahnya sampai kapanpun
Satu pintuku pada Tuhan semoga papah selalu diberikan tempat terbaik di sisi Tuhan