Saya Gagal Menjadi Diri Sendiri

lomba menulis kisah inspiratif
lomba menulis kisah inspiratif

Oleh : Wirda Nissa

Milenianews.com – Perempuan itu selalu identik dengan segala overthinking-nya, memiliki pola pikir yang out of the box, tak jarang menyimpulkan segala sesuatu secara langsung tanpa pikir panjanag. Mungkin, ini salah satu penyebab mengapa perempuan dianggap ‘berhati lembut’ sekalipun tampangnya bar-bar. Halo, Aku Wirda, salah satu tipe perempuan tersebut. Saya gagal menjadi diri sendiri. Saat saya memasuki bangku putih merah, tanpa merasakan bagaimana rasanya memakai seragam polisi cilik, seragam lain yang sangat lucu, bermain sepuasnya, dan cerita-cerita yang tidak saya miliki. Saya tidak bisa membaca saat menginjak bangku putih merah, bahkan saya berhasil mendapatkan peringkat 31/31 siswa masa itu. Luar biasa bukan?

Saya beruntung hidup di lingkungan keluarga yang tidak memaksa saya untuk selalu juara satu. Saya tidak mempunyai ambisi juara sama sekali, tetapi ketika saya memegang kepercayaan orang lain atau bahkan kepercayaan keluarga sendiri, itu adalah hal terberat dalam hidup saya. Seakan-akan, saya tidak boleh mengecewakan mereka sama sekali. Tidak boleh, sekalipun kita juga belajar untuk tidak mengecewakan. Saat itu juga, saya belajar tiap hari bersama kakak perempuan saya, setiap pulang sekolah dan mengikuti bimbingan belajar bersama wali kelas. Alhasil, semester dua, saya berhasil meraih peringkat 15/31 siswa masa itu. Jika banyak opini menyatakan, mungkin karena saya bimbel dengan wali kelas dan nilai saya dinaikkan, kalian salah besar. Ya, saat saya kelas dua, nama saya dipanggil di seribu siswa masa itu, sebagai juara 2 /31 siswa. Tentu, jangankan orang lain, saya aja sampai kaget. Sejak saat itu juga, saya selama duduk di bangku sekolah dasar, menjadi langganan juara meskipun tidak selalu juara satu. Masa putih merah saya tentu meninggalkan beberapa cerita, teman-teman saya menganggap saya adalah orang yang pintar, yang tidak dapat dikalahkan. Mungkin waktu itu saya juga bodoh sedikit, saat olimpiade selesai di salah satu sekolah, saya malah lari-lari dengan teman yang lain, mungkin memalukan, tapi anak sd mana yang pikirannya tidak jauh-jauh dari bermain, bahkan saat TPQ dulu, sengaja datang cepat buat booking lapangan biar nggak dipakai anak cowok.

Alhasil, saya kena tegur sedangkan teman saya yang lain tidak, karena mereka berhasil masuk final. Kecewa pasti, apalagi mungkin guru berharap saya menang. Tapi, saat melihat respond seperti itu, saya jadi ragu untuk ikut kegiatan lain. Tidak sampai di sana, saat di TPQ, teman saya menyindir mengatakan, kok bisa saya kalah dengan si A, yang notabene-nya dia tidak termasuk siswa tiga besar. Mungkin jika dia mengatakan itu pada saya, it’s okay, saya terima, tapi tidak, dia mengatakannya di depan banyak orang. Saya malu saat itu. Saya juga mempunyai teman, sebut saja namanya Ana dan Putri. Mereka satu kelas, tapi saya mengenal Ana lebih dulu. Putri merupakan siswi pindahan dari Jakarta. Mereka berdua cukup unik, saat terima rapor, pasti ada yang ngambek, gara-gara tidak juara satu, dan saya dengan ‘terpaksa’ mendengarkan semua keluh kesahnya yang terkesan memburukkan satu sama lain, tapi di kemudian hari baru baikan. Lucu, ya.

Cerita ini tidak berakhir sampai di sini saja, saat memasuki masa putih biru, sepertinya Tuhan ingin saya lebih lama lagi di olimpiade, ya, nggak ada angin, nggak ada hujan apalagi topan, secara mendadak dipilih menjadi anggota olimpiade sains, Oh, God. Oh, ya, Putri satu sekolah dengan saya, sedangkan Ana melanjutkan pendidikan ke sekolah berbeda. Saya mulai rajin mengikuti olimpiade saat itu, walaupun tidak menang, tapi saya bangga, berhasil menjadi urutan pertama di antara teman-teman saya yang lain di sekolah itu. Dan bahkan, pernah sebagai finalis olimpiade tingkat provinsi masa itu. Kamu tahu, teman adalah yang penting bagi saya, bahkan saya mengorbankan diri sendiri demi teman yang mungkin tidak menganggap saya.

Cerita ini bermula, saat penerimaan rapor, Putri, dia mengatakan bahwa dia iri dengan saya, yang selalu menjadi bahan perbandingan antara saya dengan dia dari
keluarganya. Kita berbeda kelas, saya tidak tahu itu sama sekali, bahkan rumah
kita juga sekalipun dekat, tidak seperti cerita lain yang mengatakan, kedua orang
tuanya bersahabat. Tahu apa tindakan yang saya ambil, saya menjadi malas dalam
belajar. Iya, saya malas belajar, bahkan saat kelas delapan, kita satu kelas. Tetapi, tetap saya yang sedikit unggul dari dia. Saat saya pulang ke rumah bersama dia, di perjalanan pasti mulai membanggakan diri sendiri, dia mengatakan mendapatkan nilai seratus, lah saya juga seratus, saya tidak berani menyuarakan itu. Saya memang bodoh dalam bertindak. Terlalu takut bersuara, bahkan orang-orang banyak membenci saya, padahal saya jarang keluar kelas dan sebagainya, semuanya tidak jauh berbeda dengan sebuah rasa cemburu, saat beberapa guru ‘mengenalkan’ saya ke beberapa kelas. Mungkin, saat itu saya tidak merasakan sebagai korban bully fisik, tapi selalu ‘diomongin’ lebih menyakitkan.

Sejak sembilan tahun mengenyam pendidikan, hati saya mulai terganggu, perasaan tidak nyaman muncul, bahkan berniat saat memasuki SMA, ingin pesantren agar saya beneran mendapatkan teman yang baru. Saya takut, saat orang mengiring opini, pandangan mereka ke saya berbeda. Tapi, saya selama ini diam. Sembilan tahun itu, merusak diri saya sendiri tanpa sadar, saya gagal menjadi diri saya sendiri. Sembilan tahun bahkan hampir dua belas tahun, saya tidak berani mengeluhkan atau mengatakan perasaan tidak nyaman saya. Kamu tahu kenapa, saya gagal, saya takut sekalipun sekarang saya sendiri, tidak memiliki teman yang beneran dekat di sekolah, saya masih takut. Nggak jarang, saya menyemangati diri sendiri mengatakan, satu bulan lagi, insyaAllah semuanya usai. Iya, usai. Saya berharap seperti itu. Ketakutan saya, menyebabkan saya menyibukkan diri dengan berbagai organisasi, saya perlahan mulai aktif di banyak kegiatan.

Diamanahkan sebagai koordinator kecamatan, forum anak kota Padang, sebagai staff bisnis di forum lingkar pena Sumatera Barat, sebagai ketua di Singgalang Masuk Sekolah, sebagai delegasi MUNAS V FLP Nasional, diamanahi juga mengikuti kegiatan-kegiatan lain atau pelatihan khusus. Saya juga menulis beberapa antologi yang sudah terbit serta satu novel anak di KKPK berjudul Fashion Show Princess. Tulisan saya mulai sering dimuat di koran, berhasil menjadi ketua panitia lomba kepenulisan tingkat nasional, dll.

Dari kesibukan itu, saya mulai mengenal banyak orang, mereka yang mempercayai saya yang bahkan tidak terkontaminasi dengan perkataan orang lain. Saya teringat, saat saya difitnah oleh salah satu penulis, teman saya percaya dengan saya. Saya diam, iya lagi-lagi diam karena kalah usia, anak di bawah umur diam saja. Teman saya mendorong untuk saya berani speak up, tapi saya memilih diam. Bagi saya, diam tidak terlalu buruk. Lagi dan lagi saya gagal, saya diam membuat emosional saya tertahan, saya menjadi gampang tersinggung walaupun memang perkataan mereka menyakitkan. Akibat adanya trend baperan, saya merasa tidak diperbolehkan lagi untuk kecewa, sedih, tersinggung, dll.

Cerita saya belum usai di sini saja, perjalanan saya akan sangat panjang sekali. Tetapi, selama dua belas tahun saya tertekan, lima tahun saya memperbaiki itu, setidaknya mengubah banyak pola pikir saya;
1. Bagi saya, teman itu penting, tapi jangan karena teman saya tidak dapat
menjadi diri sendiri. Teman yang baik adalah teman yang mendukung
kamu, bukan menjatuhkanmu tanpa sepengetahuanmu sendiri.

2. Love your self, tidak hanya tentang mencintai diri sendiri, kita berlaku
apa adanya, kita hidup di lingkungan yang bernorma, kita harus bisa jaga
sikap di manapun berada dan juga love your self berarti bahwa kamu tahu
diri kamu sendiri apa. Saya tidak menyukai pelajaran olahraga, maka saya
tidak memaksakan diri untuk selalu bisa demi mendapatkan pengakuan
orang lain.

3. Jangan pernah berhenti bermimpi, berbahagialah selama kamu bisa
bermimpi, karena setidaknya alam bawah sadar kamu mengatakan, kamu
harus usaha lebih banyak agar dapat mencapai itu.

4. Tidak semua orang seberuntung kamu. Bersyukurlah. Saya setiap hari
melihat anak sd bersama orang tuanya mendorong gerobak yang berisi
pungutan sampah. Dia tidak malu menemani orang tuanya untuk itu. Kamu luar biasa, Dek. Bahkan saya sendiri belum tentu mampu sepertimu.

5. Menjaga amanah itu penting. Saya tidak pernah dituntut untuk bisa abcd, tapi saya merasa ini amanah yang sangat besar. Saya takut mengecewakan
orang tua saya. Sekali lagi, cerita saya belum usai. Hal yang akan saya temukan
kedepannya akan lebih banyak lagi. Semoga kita sama-sama kuat menghadapinya. Sukses selalu buat kita semua! Sampai bertemu di saat sama-sama sukses. See you!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *