Milenianews.com, Jakarta – Badan Intelijen Negara (BIN) menyebut pembangunan di Papua masih on the track atau berada di jalur yang benar. Papua dan Papua Barat segera menjadi daerah maju, sejajar dengan provinsi lain.
“Kita sadari pembangunan di Papua butuh percepatan. Kita kerjakan secara holistik, menuju ke arah keadilan sosial di tanah Papua. Kita ingin pelayanan dasar di sana lebih baik dan mampu mengembangkan ekonomui lokal,” kata Deputi Kominfo BIN, Wawan Hari Purwanto dalam webinar bertema “Menakar Masa Depan Papua”, Jakarta, Minggu, (14/6).
Baca Juga : Mahfud MD : Penerapan New Normal, tidak Dilakukan dengan Pendekatan Ekonomi
Wawan mengatakan pemerintah terus melakukan program dana otonomi khusus (Otsus) Papua secara afirmatif dan cepat yang berakhir pada 2021. Pemerintah, lanjutnya, sudah membangun venue untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) berkelas dunia.
Pembangunan infrastuktur, listrik, air bersih, logistik lewat jembatan udara dan kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga juga sudah dilakukan. Semua itu sebagai wujud dari percepatan pembangunan di Bumi Cenderawasih.
“Kita selalu mendorong percepatan pembangunan di Papua. Kami sering ke Bappenas untuk memprioritaskan program pembangunan di Papua. Sekarang kan sudah mulai terlihat hasilnya,” ujarnya.
Akan tetapi, sumber daya manusia menjadi yang paling penting dari pembangunan di Papua. Wawan menilai, kemampuan dan kreativitas warga Papua dalam mengembangkan ekonomi sudah sangat berkembang. Salah satu buktinya ialah keberadaan kawasan terpadu di Sorong, Teluk Bintuni, dan Raja Ampat.
“Pemuda-pemuda Papua menunjukkan punya masa depan yang cemerlang. Di Sekolah Intelijen Negara, anak-anak Papua bagus-bagus, IQ-nya di atas rata-rata. Taruna-taruna Papua dikirim ke luar negeri karena prestasinya yang bagus. Maka ke depan kita jangan lagi berpikir hanya pemuda dari Jawa, Sumatra, Sulawesi yang mendominasi,” pungkasnya.
Wawan melihat peluang pemuda-pemuda Papua menjadi pemimpin masa depan Indonesia sangat besar. Karena pemuda-pemuda Papua dinilai sangat kompetitif.
“Lihat Obama (mantan Presiden Amerika), dia Afrika-Amerika, bisa jadi Presiden. Suatu saat nanti anak-anak Papua bisa jadi presiden. Kita berkompetisi saja. Tidak ada yang tidak mungkin,” tutur Wawan.
Separatisme di Papua
Senior Pamong Papua, Michael Menufandu mengakui pembangunan pesat yang terjadi di tanah kelahirannya. Menurutnya, pembangunan di Papua sudah dimulai sejak zaman Presiden Soeharto lewat program Inpres dengan membangun sekolah dasar dan puskesmas dan pelayanan dasar lainnya pada 1973.
Ada pula program seperti transmigrasi dan pembangunan jalan yang mulai mendekatkan masyarakat Papua dengan kehidupan layak setelah lama mengisolir diri.
Di samping itu, Wawan mengakui masih adanya gerakan separatisme melanggar konstitusi dan merupakan tindak pidana. Namun, tegasnya, pemerintah tetap akan memberikan perlindungan hukum bagi pemuda Papua yang berbeda haluan ideologi.
Pemerintah, kata Wawan, mengedepankan komunikasi lewat dialog-dialog untuk meredam isu-isu separatisme yang kerap ditunggangi kepentingan-kepentingan internasional. “Ayo kita bicara dari hati ke hati dengan kelompok-kelompok yang berbeda ideologi,” ujar Wawan.
Tokoh pemuda Papua, Boy Markus Dawir menilai, kelompok yang berseberangan dengan NKRI adalah pemuda-pemuda yang merasakan ketidakadilan dari negara. Misalnya, mereka ada diskriminasi dalam penerimaan ASN, TNI/Polri, atau sekolah kedinasan lainnya, termasuk seleksi masuk perguruan tinggi negeri.
Menurut dia, paradigma diskriminatif yang seperti ini harus diubah dan tidak boleh lagi terjadi di Papua. “Bagi saya memang negara harus hadir untuk bagaimana bisa merubah maindset pemuda-pemuda Papua. Ini masalah kita bagaimana mengawal NKRI di Papua ke depan,” terang anggota DPRD Papua itu.
Baca Juga : Ditargetkan 2021 Beroperasi, Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung sudah 36,01 persen
Sementara itu, akademisi dari FISIP Universitas Indonesia Chusnul Mariyah menekankan permasalahan di Papua harus diselesaikan dengan cara dialog atau pendekatan persuasif. Pemerintah harus duduk bersama dan mendengarkan kelompok-kelompok yang punya aspirasi.
“Menyelesaikan permasalahan di Papua tidak bisa dengan pendekatan kekuasaan, dengan angkat senjata,” tegas Chusnul. (afr)