Ketukan di Tepian Malam

Ketukan di Tepian Malam

Akhirnya mereka tiba juga di rumah. Sudah sekitar pukul lima sore.

Hari terakhir Ramadhan itu rumah sakit bukannya sepi, tapi malah makin ramai. Banyak orang sakit dan datang berobat. Akibatnya Bu Latifah yang mestinya pulang siang hari, baru bisa meninggalkan rumah sakit sore hari.

Bu Latifah diopname tak kurang dari lima hari. Ia terkena cikungunya.

Mereka hanya bertiga di rumah itu: Lailatul Qadar, Bu Latifah, dan anak Latifah yang berusia lima tahun bernama Ejaz.

Bu Latifah bukan ibu kandung Lailatul Qadar. Ia adalah ibu mertuanya. Ketika Ustadz Hamzah meninggal dunia karena musibah kecelakaan lalu lintas  lima tahun lalu, Lailatul Qadar minta ridho dan izin ibu mertuanya untuk mengajaknya  tinggal di rumahnya.

Ketika Bu Latifah terkena cikungunya dan harus dibawa ke rumah sakit, Lailatul Qadar sempat bingung. Ia tidak mungkin membawa Ejaz  ke rumah sakit. Tapi tidak ada orang yang menjaganya di rumah. Syukurlah Nurfitria menawarkan untuk menjaga Ejaz selama Lailatul Qadar mengantar Bu Latifah ke rumah sakit. Apalagi kalau sampai ibu mertuanya itu harus dirawat.

Nurfitria adalah rekan kerja Lailatul Qadar sesama guru TK di sebuah  sekolah Islam, tepatnya Sekolah Bosowa Bina Insani (SBBI) Bogor. Suaminya, Ustadz Hamim adalah imam rawatib di Masjid Raya Bogor, sama seperti alm Ustadz Hamzah.

Lima hari Ejaz tinggal di rumah Nurfitria. Anak sulungnya, Hadi, teman sekelas Ejaz di TK sekolah Islam tersebut.

Assalamu’alaikum, Bu Nur. Alhamdulillah, kami  sudah sampai di rumah,” Lailatul Qadar menelepon Nurfitria.

Alhamdulillah, Bu Ai”.

“Terima kasih Bu Nur sudah menjaga Ejaz”.

Gak masalah, Bu. Ejaz  senang main bersama Hadi”.

Insya Allah ba’da Maghrib saya antar Ejaz ke rumah Bu Ai,” kata Nurfitria.

“Terima kasih, Bu Nur”.

Suara takbir bergema dari berbagai masjid dan mushala. Gaungnya sampai juga ke rumah Lailatul Qadar.

Ada yang tiba-tiba menyergap perasaan Lailatul Qadar. Ia belum membelikan baju baru buat Ejaz.

Semula ia berencana membelikan baju tersebut pada hari terakhir Ramadhan. Namun ternyata ibu mertuanya terkena cikungunya dan dirawat sampai hari terakhir Ramadhan.

“Maafkan Ibu, Nak,” bisik Lailatul Qadar dalam hatinya. Air matanya menitik.

Masih ada waktu baginya untuk mampir ke toko pakaian. Namun ia khawatir hal itu menyinggung perasaan ibu mertuanya.

Ba’da Maghrib, Ejaz diantar pulang oleh Nurfitria. Lailatul Qadar memeluk anak semata wayangnya.

“Terima kasih, Bu Nur”.

“Sama-sama, Bu Ai”.

Nurfitria mencium tangan Bu Latifah.

Alhamdulillah. Semoga Ibu segera pulih seperti semula,” ujarnya.

“Terima kasih, Bu Nur. Mohon maaf kalau  cucu saya merepotkan”.

Gak, Bu. Ejaz anak yang sangat baik. Hadi senang banget main sama Ejaz,” kata Nurfitria.

Di dalam kamar, Lailatul Qadar berbisik ke telinga Ejaz.

“Maafkan ibu ya, Nak. Ibu belum beli baju baju buat Lebaran”.

Gak apa-apa, Bu. Kata Bu Guru, Lebaran gak harus pake baju baru. Yang penting bisa menjaga shalat dan puasa.”

Masya Allah, Nak,” Lailatul Qadar makin mempererat pelukannya. “Engkau anak ajaib. Seperti namamu, Ejaz artinya ajaib. Semoga Allah memuliakanmu di dunia dan akhirat. Dan jadi penerus dakwah ayahmu, jadi hafizh Quran dan imam masjid di manca negara.”

“Iya, Bu. Doain Ejaz ya.”

Lailatul Qadar membelai kepala anaknya. Kemudian menatap wajah Ejaz.

Masya Allah, Nak. Engkau mewarisi seluruh cahaya lelaki hebat seperti ayahmu.”

Ia kembali memeluk anaknya.

Ustadz Hamzah adalah cinta pertamanya. Anak yatim dan anak satu-satunya Bu Latifah itu alumni pesantren tahfizh. Dengan modal hafal Quran 30 juz, ia diterima kuliah di STEI SEBI melalui program beasiswa hafizh Quran. Sebagai sarjana ekonomi syariah, ia berkesempatan untuk bekerja di salah satu bank syariah. Namun ia lebih memilih menjadi imam rawatib di Masjid Raya Bogor. Di masjid raya itulah ia dipertemukan dengan Lailatul Qadar ketika guru TK itu mampir ke masjid raya untuk mengerjakan shalat Ashar.

Keduanya hanya butuh waktu dua minggu untuk memutuskan menikah secara sederhana di masjid raya tersebut.

Hamzah adalah tipe suami yang sangat penyayang dan memuliakan istrinya. Lailatul Qadar merasakan hal itu sejak hari pertama pernikahan hingga Allah memanggil suaminya kembali ke haribaan-Nya saat usia kandungan Lailatul Qadar enam bulan. Sebulan kemudian Lailatul Qadar melahirkan. Bayi yang lahir prematur itu dinamakan Ejaz, artinya “anak ajaib”.

Pukul 03.00 dini hari, seperti biasanya Lailatul Qadar bangun, kemudian mengambil air wudhu dan melakukan qiyamullail. Ia shalat Tahajud delapan rakaat dan shalat Witir tiga rakat.

Almarhum suaminya selalu mengingatkan dia akan pentingnya shalat Tahajud sebagai tanda syukur kepada Allah SWT sekaligus waktu terbaik untuk mengadukan segala persoalan hidup. “Ketika kebanyakan orang tengah terlelap, mari kita menghadap kepada Allah SWT dengan mengakui  segala kelemahan kita sebagai hamba dan harapan yang setinggi-tingginya kepada Allah SWT. Seperti janji Allah SWT, ‘Pada sebagian malam lakukanlah shalat Tahajud sebagai (suatu ibadah) tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.’*)

Mari kita meminta kepada Allah SWT pada momentum sujud-sujud kita, terutama sujud terakhir. Sebab ketika kepala kita berada di titik terendah, yakni tempat sujud kita, itulah salah satu waktu yang paling mustajab untuk berdoa,” itulah nasehat pertama yang ia terima dari Ustadz Hamzah pada malam pertama setelah keduanya menikah.

Itulah sebabnya, sulit sekali bagi Lailatul Qadar menerima lelaki yang lain untuk menjadi pendamping hidupnya. Meskipun beberapa lelaki yang saleh pernah datang mengkhitbahnya, namun semuanya ia tolak. Termasuk Ustadz Zayid, yang juga imam masjid raya bersama-sama dengan Ustadz Hamim.

**

Di sujud terakhirnya, Lailatul Qadar  berdoa, “Ya Allah, hamba menyadari bahwa Lebaran itu tidak identik dengan baju baru. Dan putra hamba pun tidak minta baju baru. Tapi hamba adalah seorang ibu dari seorang anak yatim. Salahkah kalau sebagai seorang ibu, hamba ingin sekali membelikan baju baru buat anak hamba?”

Air matanya menderas, membasahi sajadahnya.

Lailatul Qadar bangkit dari tempat sujudnya. Ia melihat jam dinding. Pukul 04.05. Malam Idul Fitri sudah sampai di tepiannya. Suara takbir masih terus terdengar.

Ia menatap Ejaz  yang tengah tertidur pulas. Wajahnya begitu polos. Ia  mencium pipi anaknya.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

Lailatul Qadar bertanya-tanya dalam hatinya. Siapa tamu yang datang pagi dini hari seperti ini?

Ia mengintip dari gordin jendela. Ternyata Nurfitri dan Ustadz Hamim.

Ia membuka pintu.

Wa’alaikumsalam. Bu Nur, ada apa?,” tanyanya heran.

“Maaf, Bu Ai. Saya mengantarkan tamu.”

Lailatul Qadar terkejut. Karena Nurfitri dan suaminya datang bersama dengan Ustadz Zayid, dan sepasang lelaki-perempuan yang dia tidak kenal.

“Ustadz Zayid?,” sapa Lailatul Qadar terkejut.

Assalamu’alaikum, Bu Ai.”

Wa’alaikumsalam.”

“Mohon maaf, Bu Ai. Ustadz Zayid datang bersama kedua orang tuanya. Keduanya baru pulang umrah Ramadhan tadi malam. Dari Bandara Soekarno Hatta langsung ke rumah Ustadz Zayid. Sekarang mereka minta diantar ke rumah Bu Ai,” kata Nurfitria.

“Maafkan kami, Nak. Saya Haji Bakry, dan ini istri saya Aisyah. Kami adalah orang tua Zayid,” kata lelaki bergamis putih dan berpeci putih  itu.

“Ada yang bisa saya bantu, Bapak dan Ibu?” tanya Lailatul Qadar bingung.

“Mohon maaf, Bu Ai. Apakah kami boleh masuk ke dalam?” kata Nurfitria.

“Boleh, boleh. Mohon maaf, saya sampai lupa mempersilakan masuk,” sahut Lailatul Qadar.

Mereka duduk di ruang tamu.

Tiba-tiba terdengar suara Bu Latifah dari dalam kamar. “Ada siapa, Ai?”

“Bu Nur dan suaminya, Bu.”

Bu Latifah keluar kamar. “Tamunya ternyata banyak. Ada apa  ya?” tanyanya heran.

Nurfitria mencium tangan Bu Latifah. Begitu pula Ustadz Hamim dan Ustadz Zayid. Haji Bakry dan Bu Aisyah juga menyalami Bu Latifah.

“Maaf, Bu. Ini saya mengantar Ustadz Zayid dan orang tuanya. Mereka ingin bertemu Bu Ai,” kata Nurfitria.

“Begini, Bu. Saya to the point saja. Kami  pulang umrah sengaja mampir ke Bogor dulu, baru pekan depan kami kembali ke Padang.  Saya datang ke mari mengantar anak saya, Zayid. Dia ingin mengkhitbah Bu Ai,” kata Haji Bakry.

Tiba-tiba Eza bangun dan langsung ke luar kamar. Ia terkejut banyak tamu di rumah. Namun spontan ia mencium tangan mereka satu per satu.

“Bu Ai. Insya Allah Zayid ia anak yang baik. Lima tahun yang lalu, dia hampir menikah. Tapi calon istrinya, yang juga guru TK seperti Bu Ai, meninggal dunia karena sakit. Sejak itu ia lama sekali tidak pernah mau membuka pintu hatinya untuk siapapun. Sebab calon istrinya itu merupakan teman satu pesantren dengannya, dan sejak duduk di bangku Aliyah ia sudah berniat untuk menjadikannya istri kelak. Ia pun merantau ke Bogor, dan menjadi imam masjid raya. Sampai setahun yang lalu, Zayid bilang kepada kami bahwa ia sudah menemukan wanita salehah yang, menurutnya, sangat pas untuk menjadi istrinya. Namanya Lailatul Qadar. Guru TK,” kata Haji Bakry.

“Tapi saya seorang janda dengan satu anak dan saya juga merawat ibu saya, Pak. Saya tidak ingin pernikahan saya mengganggu kebahagiaan mereka. Karena mereka adalah permata hidup saya di dunia dan akhirat. Karena itu, ketika beberapa waktu lalu  Ustadz Zayid menitipkan salam kepada saya lewat Ustadz Hamim, saya menolaknya.”

“Bu Ai, saya menjadi penjamin Zayid. Dia siap menjadi suami Bu Ai, ayah Ejaz, dan anak yang berbakti kepada Bu Latifah.”

Lailatul Qadar tertunduk. Hatinya bergemuruh. Sebagai wanita, ia mendambakan imam. Lelaki yang mampu menjadi pembimbingnya dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Dan Ejaz pun membutuhkan kehadiran seorang ayah yang akan selalu menjaganya. Namun tak hanya itu. Sang imam tidak hanya sayang kepadanya dan Ejaz, tapi juga mau bersama-sama dengannya berbakti kepada ibunya. Adakah sosok laki-laki yang mampu  memenuhi ketiga hal tersebut?

“Bagaimana, Bu Ai?” tanya Haji Bakry. Sementara Ustadz Zayid terus berdebar-debar hatinya.

“Ai, lima tahun sudah cukup lama. Apakah engkau akan selamanya hidup sendiri? Insya Allah almarhum Hamzah ridho kalau kamu menikah lagi, demi dirimu dan anakmu,” terdengar suara Bu Latifah.

Tiba-tiba Lailatul Qadar mencium tangan Bu Latifah. Air matanya menderas.

“Saya mohon ridho Ibu,” tuturnya terbata-bata.

“Terimalah Ustadz Zayid, Ai. Bukankah Nabi mengingatkan kepada kita, jangan menolak laki-laki  baik yang datang kepadamu? Ibu ridho kepadamu,” kata Bu Latifah.

Lailatul Qadar menghela napas panjang. Zayid tak menahan napas. Wajahnya menekur ke lantai.

“Baiklah, Bapak dan Ibu. Insya Allah saya terima khitbah ini.” Kalimatnya perlahan tapi jelas. Dan di telinga Zayid, itulah kalimat terindah yang pernah dia dengar.

Alhamdulillah,” ruangan itu penuh dengan ungkapan syukur kepada Allah.

“Terima kasih, Bu Ai,” kata Haji Bakry.

“Terima kasih, Nak,” kata Hajah Aisyah.

“Sama-sama, Ibu, Bapak,” sahut Lailatul Qadar.

“Terima kasih, Bu Ai,” kata Zayid.

‘’Sama-sama, Ustadz. Saya wanita yang jauh dari sempurna. Semoga Ustadz tidak kecewa menikahi saya,” tuturnya lembut.

Insya Allah dengan pernikahan ini kita akan saling melengkapi kekurangan, Bu Ai,” balas Zayid.

Haji Bakry mengeluarkan dua bungkusan. Satu berisi gamis putih dan peci haji. Satu lagi setelan baju dan celana panjang.

“Gamis ini saya beli di Makkah, untuk cucu saya, Ejaz. Setelan baju dan celana panjang ini dibelikan oleh Zayid buat Ejaz yang sebentar lagi jadi anaknya. Sini, Nak,” kata Haji Bakry serasa menyerahkan pakaian tersebut.

Ejaz menerimanya dengan wajah sumringah. “Alhamdulillah. Terima kasih, Pak. Terima kasih, Ustadz,” ujarnya. Ia mencium tangan Haji Bakry dan Ustadz Zayid.

Mata Lailatul Qadar berkaca-kaca. “Alhamdulillah ya Allah. Engkau selalu mempunyai cara untuk memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Mu. Dan seringkali cara-Mu tidak terduga,” ucapnya dalam hati.

Masya Allah, Bu Ai yang dikhitbah, kenapa kok saya yang menangis?” kata Nurfitria seraya memeluk Lailatul Qadar.

“Selamat ya, Bu Ai.”

“Terima kasih, Bu Nur. Bu Nur dan Ustadz Hamim telah menjadi wasilah saya dengan Ustadz Zayid.”

Tak henti-hentinya Zayid mengucap syukur ke hadirat Allah SWT. Ia selalu percaya bahwa hanya Allah SWT yang maha membukakan pintu hati seseorang. Termasuk pintu hati Lailatul Qadar.

Dan ia pun yakin, nama yang sudah Allah SWT tuliskan di Lauhul Mahfuzh untuk menjadi jodohnya, pasti akan sampai kepadanya. Tak peduli betapapun lika-liku jalan yang harus ditempuhnya.

Satu hal lagi, ia selalu yakin keramat kedua orang tua: ayah dan ibu. Doa keduanya menembus langit. Tak ada dinding yang mampu menghalanginya.

“Zayid, sebentar lagi kita akan melaksanakan shalat Ied. Bukankah engkau bertugas sebagai imam hari ini?” tiba-tiba terdengar suara ayahnya.

Zayid terkejut. “Masya Allah.”

“Bu Latifah  dan Nak Lailatul Qadar. Kami permisi. Kalau boleh, akad nikah dilaksanakan dalam minggu ini. Agar kami pulang kampung membawa mantu dan cucu. Acara walimah bisa kita laksanakan bulan depan. Yang penting halal dulu,” kata Haji Bakry.

“Kalau saya terserah Lailatul Qadar, Pak,” kata Bu Latifah.

“Bagaimana Ai?” tanya Bu Latifah.

Lailatul Qadar terdiam sejenak. Namun tiba-tiba dia tersenyum.

“Ai yakin, makhluk yang Allah kirimkan di tepian malam selepas Tahajud  adalah jodoh terbaik yang Allah takdirkan buat Ai. Insya Allah Ai siap menjemput takdir tersebut,” ujarnya lembut.

Terdengar gumaman serentak: “Alhamdulillah

Mereka sepakat akad nikah akan dilaksanakan pada hari ke-7 Syawal, sehari sebelum Haji Bakry dan keluarganya pulang kampung. Idul Fitri tahun ini akan menjadi tahun pertama Lailatul Qadar dan Ejaz mudik ke Sumatera Barat.

Kumandang adzan Shubuh terdengar  merdu saat keluarga Zayid pamitan.

“Sampai bertemu, Bu Lailatul Qadar, Assalamu’alaikum,” kata Zayid sambil tersenyum.

“Wa’alaikiumsalam. Ai, Ustadz,” sahut Lailatul Qadar sambil tersipu malu. *QS Al Isra ayat 79.

 

Depok, Penghujung Ramadhan 1445 H/ 9 April 2024

Penulis: Irwan Kelana

Biografi Penulis:

Irwan Kelana adalah cerpenis, novelis dan wartawan. Ia telah menerbitkan lebih 30 judul buku novel, antologi cerpen, biografi tokoh, profil perusahaan, dan buku Islam. Ia memenangkan lebih 20 perlombaan  menulis cerpen, novel, artikel dan karya tulis tingkat nasional. Ia pun aktif memberikan pelatihan jurnalistik dan sastra di dalam dan luar negeri, termasuk di Al-Azhar University, Cairo, Mesir. Karirnya sebagai penulis dan jurnalis selama lebih dari 30 tahun  telah mengantarkan jejaknya ke 20 negara di Asia, Eropa, Afrika dan Amerika. 

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Exit mobile version