Indeks
News  

Warga Di Korsel Memilih Jomlo Dan Tidak Menikah, Kenapa?

Jomlo Di Korsel

Milenianews.com, Seoul – Ditengahnya gemerlap panggung hiburan Korea Selatan, dengan industri K-Pop nya ada kabar menarik datang dari negara yang berjuluk Negeri Ginseng tersebut. Pasalnya orang-orang jomlo di Korsel meningkat.

Sama hal nya di Indonesia, orang-orang disana akan menutup telinga mereka rapat-rapat jika ada pertanyaan seperti: Kapan nikah?.

Sebagian orang berpendapat, pertanyaan semacam itu cenderung kasar. Itu akan menjadi desakan bagi mereka dan menjadikan alasan untuk tidak menikah. Bahkan informasi terbaru mengungkapkan, banyak dari mereka yang tidak ingin menjalin hubungan atau berkomitmen.

“Saat saya bertemu orang-orang untuk pertama kalinya, mereka selalu bertanya mengapa saya tidak menikah?. Sangat umum sekali bagi orang Korea yang lebih tua menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.” Kata seorang wanita Korea Selatan seperti dikutip dari Kumparan.com Rabu (23/1).

Baca Juga : Netgem.tv, Saluran TV ‘HAM’ Pertama Di Dunia Siap Tayang

Ada beberapa alasan mengapa orang-orang di Korsel tidak ingin menikah dan memilih jomlo. Berikut ulasannya :

Gejala Single-Person Household

Salah seorang warga Korsel Kang Hyeon-Jun, berumur 45 tahun yang masih melajang menceritakan kenapa warga korsel cenderung memilih tidak ingin menikah.

Kang mengatakan sejak awal ia memutuskan melajang. “Entah bagaimana saya telah berusia 40-an dan saya masih sendirian. Pada titik ini saya sudah terbiasa hidup sendirian dan saya tidak merasa harus menikah di masa depan.” Ujarnya.

Itulah yang menyebabkan warga Korsel mengalami gejala Single-Person Household. 

Sebagai informasi, Single-Person Household diartikan sebagai seseorang yang telah menikah dan terpaksa tinggal sendirian karena berpisah dengan pasangannya yang meninggal atau pun karena perceraian. Namun faktanya sekarang, makana itu diperluas. Sebagian dari mereka yang tinggal sendirian justru masih lajang.

Biaya Pernikahan Yang Mahal

Pada survei 2013, pasangan di Korsel yang akan menikah rata-rata harus menghabiskan biaya USD 90.000, termasuk biaya resepsi, suvenir pernikahan dan barang-barang lainnya. Mahalnya biaya persalinan bayi juga menjadi faktor utama. Menikah dan memiliki anak kerap dianggap akan menambah beban pengeluaran.

Pecinta Kerja Atau Workaholic

‘Workaholic’ seolah sudah menjadi budaya yang melekat dengan warga Korsel, dan itu menjadi alasan lain mengapa orang Korsel lebih suka melajang. Menurut data OECD, mencatat pada tahun 2017 rata-rata warga Korsel bekerja hampir 250 jam melebihi jam kerja orang-orang Amerika.

Kang melanjutkan, sejak 2005 silam, pemerintah telah menghabiskan 36 triliun won atau sekitar USD 32,1 miliar untuk mengurangi beban keuangan bagi yang punya anak.

Mereka memberikan subsidi pengasuhan sebesar 300.000 won sekitar USD 268 setiap bulannya. Biaya tersebut tida termasuk insentif lain untuk keluarga muda. Meski demikian, hal semacam itu belum efektif membuat dampak yang positif.

“Itu tidak berhasil karena dari sudut pandang generasi muda, biaya pernikahan dan melahirkan anak terlalu tinggi dan tingkat dukungan pemerintah saat ini tidak cukup.” kata Kang.

Perempuan Di Korsel Merasa Diperlakukan Tidak Adil Setelah Menikah


Ketakutan akan menikah tidak selalu menyangkut urusan kurangnya ekonomi. Seorang perempuan di Seoul berpendapat banyak perempuan yang merasa diperlakukan tidak adil setelah menikah. Terutama soal pekerjaan.
Seorang profesor sosiolog di Universitas Stanford, Shin Gi-wook mengatakan perempuan juga merasa sulit untuk menyeimbangkan karir dengan kehidupan di masyarakat.

“Sistem pendukung sosial belum ada dan institusi sosial masih dikendalikan oleh laki-laki. Peran ganda yang dimainkan oleh para pekerja perempuan dalam keluarga dan di masyarakat, mempersulit mereka untuk memprioritaskan pernikahan dan peran sebagai ibu di atas karier mereka.” Ujarnya.

Sepertiga Penduduk Korsel Berusia 65 Tahun

Tercatat, Korsel merupakan negara dengan angka kelahiran terendah di dunia. Per 2018 angka kelahiran disana turun menjadi 0,95 persen. Itu bisa di ilustrasikan dari 100 perempuan Korsel, hanya 95 anak yang lahir setiap tahunnya. Berbeda dengan awal tahun 70-an, saat itu setiap tahun tingkat kelahiran disana hampir di angka 1 juta bayi.

Jika dibiarkan seperti itu terus, maka di Korsel pada tahun 2030 sepertiga warganya akan berusia 65 tahun. Akan banyak masyarakat yang berusia tidak produktif. Hal tersebut di kutip dari laporan ekonom Lee Jjong-wha dari Universitas Korea.

Ekonom sekaligus Direktur Institut Pembangunan Berkelanjutan Universitas Korea, Kang Sung-jin, mengatakan “hal tersebut berdampak pada perekonomian Korea Selatan. Perusahaan akan lebih membutuhkan orang-orang dengan usia produktif.” Paparnya.

Bisa jadi kedepannya generasi muda akan membayar pajak lebih, karena pemerintah harus mengeluarkan lebih banyak biaya untuk kesejahteraan lansia. “Dan jumlah lansia yang tinggi berarti pemerintah harus mengeluarkan lebih banyak untuk biaya kesejahteraan, yang berarti bahwa generasi muda akan membayar lebih banyak pajak.” Ujarnya.

Media South China Morning Post memberitakan, menurut laporan dari The Korea Herald pada 2015, sekitar 90 persen laki-laki dan 77 persen perempuan dalam rentang usia 25 – 29 tahun masih jomlo. Belum menikah, jangankan menikah pacaran pun enggan.

Laporan yang ditulis Institut Korea untuk Urusan Kesehatan dan Sosial pada Januari menemukan fakta serupa. Per 2012, warga Korsel yang menjalin hubungan dan ikatan pernikahan di bawah angka 40 persen. 

Sebagai perbandingan, Institut Nasional Kependudukan dan Penelitian Jaminan Sosial di Jepang mengungkap fakta bahwa 23 persen pria Korea Selatan belum pernah menikah hingga usia 50 tahun, sementara perempuan berada di angka 14 persen. (Ikok)

Exit mobile version