Makna di Balik Medali Analisis Ekologi Media terhadap Penghargaan “The Bejewelled Grand Cordon of Al Nahda” untuk Presiden Prabowo

Al Nahda

Milenianews.com, Mata AkademisiThe Bejewelled Grand Cordon of Al Nahda oleh Raja Yordania kepada Presiden Prabowo. Di permukaan, ini adalah berita diplomatik tentang penguatan hubungan bilateral. Namun, jika kita menyelami lebih dalam, acara ini sebenarnya adalah sebuah pertunjukan komunikasi yang dirancang dengan cermat, di mana upacara seremonial itu sendirilah yang menjadi pesan utamanya. Pertunjukan dimulai di panggung paling simbolis yaitu di Istana Merdeka. Sebuah latar yang penuh dengan makna kedaulatan dan kekuasaan. Raja Abdullah II hadir secara fisik, sebuah tindakan yang mengandung bobot diplomatik yang luar biasa. Ia bukan mengirim utusan atau medali melalui kurir, tetapi datang sendiri untuk menyematkan tanda kehormatan tertinggi kerajaannya. Ritual ini dengan protokol ketat, pakaian kebesaran, dan tata cara yang khidmat menciptakan suatu realitas tersendiri. Pesannya langsung dan tegas ini adalah pengakuan dari tingkat tertinggi. Menurut McLuhan, acara semacam ini adalah media dingin ia tidak membanjiri kita dengan data dan angka, tetapi justru menyisakan banyak ruang kosong untuk kita isi dengan perasaan dan interpretasi kita sendiri. Ruang kosong itu terisi oleh rasa hormat, kebanggaan nasional, dan kesan akan kesetaraan derajat.

Baca juga: Dakwah di Era Hoaks: Belajar dari Gagasan Rasional Harun Nasution

Namun, cerita tidak berhenti di situ. Daya pukau dari upacara tersebut diperkuat dan diperpanjang umurnya oleh media dalam pemberitaannya. Di sinilah trik komunikasi yang cerdas benar-benar terlihat. Media tidak hanya melaporkan fakta bahwa sebuah medali diberikan. Mereka dengan sengaja dan sangat efektif melampirkan daftar penerima penghargaan yang sama di masa lalu, tokoh-tokoh global seperti Angela Merkel, Pangeran Philip, dan Ratu Maxima. Daftar ini bukan sekadar informasi tambahan ia berfungsi sebagai lensa atau bingkai baru. Secara halus, ia memijat persepsi kita, memandu pikiran untuk membuat tautan yang langsung dan otomatis presiden kita sekarang berada dalam lingkaran yang sama dengan para pemimpin besar dan keluarga kerajaan Eropa itu. Penghargaan dari Yordania tiba-tiba juga menjadi pengesahan dari dunia Barat yang diwakili oleh nama-nama tersebut. Inilah yang McLuhan maksud dengan kemampuan media untuk membentuk dan mengontrol skala dan pola bagaimana kita memandang suatu hal.

Efek kumulatif dari pertunjukan di Istana dan pemberitaan media ini adalah terciptanya sebuah lingkungan persepsi yang baru bagi publik Indonesia. Sebelumnya, diskusi tentang kepemimpinan mungkin berkutat pada isu-isu domestik seperti harga sembako, pembangunan infrastruktur, atau politik dalam negeri. Peristiwa simbolik yang megah ini memasukkan elemen baru ke dalam lingkungan wacana kita citra pemimpin dunia yang diakui. Lingkungan baru ini akan mempengaruhi cara kita menyaring berita-berita selanjutnya tentang diplomasi, kunjungan kenegaraan, atau pidato presiden di forum internasional. Segala sesuatu akan dilihat dengan nuansa baru, dengan latar belakang pencapaian simbolik ini. Medali itu menjadi lebih dari sekadar benda ia berubah menjadi ekstensi dari wibawa dan reputasi pemimpin, memperpanjang pengaruhnya dalam imajinasi politik baik di dalam maupun luar negeri.

Pada akhirnya, ketika kita menyaksikan foto Presiden dengan pita kebesaran berwarna-warni di dada, kita harus menyadari bahwa kita tidak hanya melihat sebuah penghargaan. Kita sedang menyaksikan karya agung dari komunikasi simbolik. Substansi kerja sama Indonesia-Yordania di bidang kemanusiaan, pertahanan, dan dukungan untuk Palestina tetaplah penting dan nyata. Namun, dalam ingatan kolektif dan persepsi publik, yang akan lebih melekat dan lebih mudah diceritakan adalah gambar sang pemimpin di panggung dunia, disematkan medali oleh seorang raja. Bentuk telah mengalahkan isi. Upacara telah menjadi pesan itu sendiri. Peristiwa ini mengajarkan kita bahwa dalam politik global modern, kekuatan tidak hanya diukur oleh senjata atau ekonomi, tetapi juga oleh kemampuan untuk menciptakan dan menguasai momen-momen simbolik yang membekas di benak orang banyak.

Peristiwa seremonial itu, dalam analisis yang lebih jauh, sebenarnya adalah titik puncak dari sebuah proses panjang komunikasi diplomatik yang dirancang dengan presisi. Penghargaan itu sendiri, sebagai benda fisik, hanyalah kristalisasi akhir dari berbagai negosiasi, pertemuan, dan kepentingan geopolitik antara Indonesia dan Yordania. Namun, McLuhan mengingatkan kita bahwa teknologi atau medium baru dalam hal ini, medium seremonial dengan pemberitaan global tidak hanya menambah lapisan makna, tetapi secara radikal mengubah cara kita mengalami realitas. Penganugerahan medali bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah siklus komunikasi baru. Pesan yang telah dikodekan melalui ritual itu kini akan diterjemahkan, diperbincangkan, dan disebarluaskan di berbagai lapisan masyarakat, menciptakan riak-riak interpretasi yang tak terduga.

Di sinilah kita melihat konsep McLuhan tentang Desa Global menjadi nyata. Peristiwa di Istana Merdeka tidak lagi terbatas pada para tamu undangan atau warga Jakarta. Melalui liputan media dan arus informasi digital, momen itu segera menjadi milik publik global. Warga di Surabaya, Amman, Berlin, dan Tokyo dapat menyaksikan peristiwa yang sama hampir bersamaan, masing-masing dengan perspektif kultural mereka sendiri. Namun, semua terhubung dalam satu ruang wacana yang sama. McLuhan akan mengatakan bahwa media elektronik dan sekarang digital telah mengerutkan dunia, membuat jarak geografis dan budaya seakan lenyap. Penghargaan dari Kerajaan Hasyimiah yang berakar pada tradisi Timur Tengah, menjadi bahan pembicaraan di warung kopi Indonesia dan analisis pakar politik Eropa dalam waktu yang hampir bersamaan.

Aspek lain yang menarik adalah bagaimana peristiwa ini menggeser fokus dari substansi ke bentuk. Meskipun latar belakang pemberian penghargaan adalah kerja sama nyata di bidang kemanusiaan dan stabilitas Kawasan isu-isu yang konkret dan penting yang paling banyak direproduksi dan diingat justru adalah simbol-simbolnya: gambar jabat tangan, kilau medali, senyum diplomatik. Ini adalah manifestasi dari apa yang McLuhan sebut sebagai kecenderungan media untuk memperkuat aspek sensorik tertentu sambil meredam aspek lainnya. Mata kita diarahkan pada kemegahan visual, telinga kita pada dentuman hormat, sementara nalar kritis tentang detail kerja sama teknis mungkin tenggelam dalam gemuruh simbolisme. Dalam jangka panjang, yang tersisa dalam ingatan kolektif mungkin bukan angka bantuan atau butir perjanjian, tetapi perasaan akan keagungan dan pengakuan.

Namun, ada sisi kontradiktif dalam dinamika ini. McLuhan, dalam karyanya yang lebih dalam, mengingatkan bahwa setiap ekstensi manusia (dalam hal ini, ekstensi reputasi melalui penghargaan) juga membawa serta amputasi hal-hal yang terpinggirkan atau terlupakan. Sementara perhatian terpusat pada Presiden dan Raja, ada aktor-aktor lain dalam hubungan bilateral diplomat, negosiator, pekerja kemanusiaan yang kontribusinya mungkin kurang terdokumentasikan. Sementara narasi prestise mendominasi, mungkin ada aspek-aspek hubungan bilateral yang kurang menggembirakan tetapi penting, yang tersembunyi di balik gemerlap upacara. Ini adalah konsekuensi yang tak terhindarkan dari cara media bekerja: mereka menyoroti sesuatu sambil membiarkan yang lain dalam bayangan.

Baca juga: Analisis Model Komunikasi Lasswell dalam Implementasi Vaksinasi COVID-19 di Kecamatan Meukek

Terakhir, peristiwa ini menunjukkan evolusi kekuasaan di abad ke-21. Kekuasaan tidak lagi hanya tentang kontrol atas wilayah atau sumber daya, tetapi juga tentang kemampuan untuk mengelola persepsi, menciptakan narasi, dan menguasai ruang simbolik. Presiden yang menerima penghargaan bukan hanya kepala negara; ia juga menjadi aktor dalam sebuah drama simbolik global, di mana setiap gerakan, setiap simbol, setiap tatapan bermakna. Penghargaan itu menjadi protesis simbolis yang meningkatkan kapasitas representasional Indonesia di panggung dunia.

Melalui lensa McLuhan, penganugerahan penghargaan kepada Presiden Prabowo adalah fenomena yang jauh lebih kompleks daripada yang terlihat. Ini adalah pertemuan antara tradisi kerajaan kuno dan teknologi media modern, antara diplomasi substantif dan rekayasa persepsi, antara kepentingan nasional dan panggung global. Peristiwa ini mengajarkan bahwa dalam politik kontemporer, menguasai medium sama pentingnya dengan menguasai pesan. Upacara bukan hanya pelengkap dari diplomasi; ia adalah jantung dari diplomasi publik itu sendiri. Dan kita, sebagai penonton sekaligus partisipan dalam desa global ini, harus tetap kritis: menikmati pertunjukan sambil terus bertanya tentang apa yang terjadi di balik tirai, apa yang terdengar di antara gemuruh tepuk tangan, dan apa arti sebenarnya dari semua kemilau yang kita saksikan.

Penulis: Ayu Puspita, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *