Milenianews.com – Ini uni ichigo. Makanan hewan laut itu tersaji segar di wadah tepat di hadapan saya. Saya menyantap uni ichigo—alias landak laut atau bulu babi—yang segar di pusat kuliner laut Jepang, Tsukiji, Tokyo. Seekor landak laut masih berada dalam cangkangnya; durinya lentur, pertanda masih segar. Penjual mengambil gunting khusus, memotong bagian bawah cangkang, lalu membukanya perlahan. Terlihat isi cangkang menyerupai puding berwarna oranye. Daging uni tampak mengilap, segar, tidak besar—kira-kira seukuran klepon. Pedagang menyodorkannya kepada saya lengkap dengan sendok kayu kecil.
Sendokan pertama langsung meleleh di lidah, seperti sentuhan kembang tahu: creamy, segar, tanpa rasa amis. Jika harus mencari padanannya, mungkin seperti telur kepiting. Bagi saya yang menyukai sashimi—terutama daging tuna mentah segar—isi landak laut ini terasa enak dan sensasional. Selain dimakan langsung di kios Tsukiji, uni juga dihidangkan dalam mangkuk, diletakkan di atas nasi panas. Sajian ini disebut uni don, nasi uni atau nasi landak laut. Saya juga melihat uni sushi; mirip salmon sushi, hanya saja yang diletakkan di atas nasi kepal adalah uni. Uni segar seperti ini belum tersedia di Jakarta dan juga belum menjadi menu umum restoran Jepang di sana.
Baca juga: Pagi di Hakodate, Petualangan Kuliner di Pasar Pagi
Inilah Tsukiji, pasar wisata kuliner biota laut terbesar di dunia. Hingga tahun 2018, Tsukiji merupakan pasar ikan terbesar di Jepang. Pasar yang terkenal dengan lelang tuna ini telah berdiri sejak 1657. Seiring perkembangan kota, Tsukiji harus pindah lokasi karena keterbatasan lahan. Gedung-gedungnya sudah tua dan perlu pembaruan, volume perdagangan terlalu besar, dan pasar tidak lagi mampu menampung truk kontainer berukuran besar. Kepadatan pembeli dan penjual juga menyulitkan penerapan standar kesehatan modern. Pada 2018, pasar grosir dan lelang ikan resmi pindah ke Toyosu, pasar yang lebih besar dan modern. Namun, Pasar Tsukiji yang berlokasi di pusat kota dan mudah dijangkau tetap dipertahankan. Kini Tsukiji menjadi destinasi kuliner eksotis serta tempat belanja ikan untuk wisatawan dan keluarga. Fokusnya bergeser sebagai tujuan wisata, khususnya wisata seafood.
Di sini ikan mentah bisa langsung dipotong dan telan

Saya berangkat pagi sekali naik metro menuju Stasiun Tsukiji. Katanya, datang pagi-pagi memberi pengalaman terbaik: kuliner terbaik dan view Instagram terbaik. Turun di stasiun, ternyata tidak perlu berjalan jauh; sudut pasar langsung terlihat. Wisatawan sudah banyak berdatangan. Sebagian, seperti saya, ingin menyaksikan aktivitas pasar yang berbeda dari Jakarta, melihat budaya keseharian masyarakat Tsukiji, sekaligus menikmati kuliner seafood segar.
Ada sekitar 400 kios di sini. Mayoritas berhubungan dengan hasil laut, diselingi kios sayur, buah, toko alat masak dan peralatan dapur, toko oleh-oleh, serta restoran. Ini adalah pasar kuliner laut dan seafood terbesar di dunia. Sebagian penjual telah beroperasi lebih dari 100 tahun, kini dikelola oleh generasi ketiga atau keempat. Sejak pagi kios-kios sudah buka. Beberapa telah dikerumuni pembeli, meski suasananya belum terlalu padat.
Menelusuri koridor utama lalu masuk ke lorong-lorong, di kios tertentu terasa seperti kembali ke pasar ikan dan makanan penduduk Tokyo masa lalu. Di sudut lain, kedai kecil penyaji dorayaki menawarkan teh hijau panas dalam cangkir kertas serta kopi drip—perpaduan kuliner Jepang modern. Ada pula kedai sushi dan sashimi dengan satu meja dan enam kursi. Sushi dibuat langsung, sashimi tak hanya tuna dan salmon, tetapi juga tumpukan kerang dalam keranjang. Kerang diambil, dibuka, dagingnya dijepit, dicelupkan ke kecap dan wasabi, lalu langsung disantap—sedikit dikunyah dan ditelan.
Terus melangkah berkeliling, rasanya sudah lama, tetapi tak perlu menelusuri semua lorong karena komoditas yang dijual relatif berulang. Beberapa kios menawarkan barang serupa dengan kios di blok lain. Jika ini Tanah Abang, mungkin pemiliknya sama, meski saya tidak memiliki informasi soal kepemilikan kios di Tsukiji. Setelah mencicipi uni, sashimi salmon, dan kerang, saya tertarik pada makanan hangat di lorong lain. Saya memilih tamagoyaki yang baru diangkat dari panggangan. Omelet Jepang ini ada versi manis dan gurih; saya memilih yang gurih. Porsi kecil langsung disantap. Karena tampak menggoda, saya juga mengambil mochi kacang merah manis dan fish cake. Tinggal ambil dan bayar di meja kasir mungil.
Aroma harum dashi—kuah sup ikan khas Jepang—menyergap penciuman dari kedai sup panas. Kuah dashi dibumbui shoyu agar rasanya seimbang dan sedap. Uap mengepul dari panci besar berbahan stainless. Dashi menciptakan perpaduan gurih alami dari laut. Saya melihat sajian ini tidak mengandung karbohidrat, jadi terasa “tidak berdosa” untuk disantap sebelum makan yang lain. Dashi adalah kaldu dasar masakan Jepang berkuah, dibuat dari kombu (rumput laut kering) dan katsuobushi (serutan ikan bonito kering). Mangkuk dan sendok plastik yang disodorkan kepada saya berisi potongan tahu, wakame, jamur, dan sayuran hijau dalam jumlah cukup banyak.
Funfact: peralatan dapur untuk olah ikan punya cerita panjang
Sambil berkeliling fokus pada produk laut dan seafood, kunjungan ke Tsukiji sebaiknya juga dimanfaatkan untuk melihat peralatan dapur—seperti yang digunakan para koki restoran. Bagi yang tertarik, apalagi hobi memasak, Tsukiji adalah tempat ideal untuk mencari pisau Jepang asli, alat pembuat sushi dan onigiri, serta alat masak tradisional yang sulit ditemukan di Jakarta. Selain pisau, peralatan yang banyak dibeli untuk dibawa pulang ke Indonesia antara lain nabe (panci Jepang), mangkuk keramik, wadah bento, dan perlengkapan dapur lain berkualitas tinggi dengan desain khas Jepang, sering kali bermotif tradisional.
Saya masuk ke sebuah toko pisau. Karyawannya melayani dengan ramah, menjelaskan perbedaan pisau berbahan stainless steel dan high carbon steel. Saya juga jadi tahu tentang yanagiba, pisau untuk memotong daging ikan sashimi; deba, pisau untuk memotong ikan sekaligus tulangnya; serta santoku, pisau serbaguna untuk penggunaan sehari-hari di dapur. Dijelaskan pula tentang hōchō, pisau Jepang berkualitas tinggi. Untuk memotong tuna besar hingga menjadi irisan tipis sushi, dibutuhkan beberapa jenis pisau khusus. Ada toko yang menawarkan jasa ukir nama pada pisau yang dibeli.
Di toko lain, saya bertanya tentang peralatan yang tidak umum di Jakarta: talenan kayu ginkgo, saringan teh khusus matcha, dan sendok kayu untuk wasabi—karena wasabi tidak boleh bersentuhan dengan logam. Ada pula panci tembaga berbentuk segi empat untuk tamagoyaki. Sebenarnya ini adalah alat penggorengan omelet Jepang, selain tersedia pula versi berbahan keramik. Waktu bergulir, lebih dari tiga jam saya berkeliling dan merasa cukup menikmati Tsukiji. Tangan sudah menenteng kantong belanja—tidak besar, tetapi cukup sebagai bukti pernah berbelanja di Tsukiji. Perut masih terasa penuh oleh seafood, jadi makan siang bisa ditunda.
Tradisi seduh kopi ala Showa

Saran teman adalah mampir minum kopi atau teh di kafe ala Showa yang ada beberapa di Tsukiji, sekaligus beristirahat sebelum pulang. Saya menemukan sebuah kafe dengan fasad kayu dan dinding bata ringan berwarna pudar—tanda telah beroperasi puluhan tahun. Arsitekturnya sederhana bergaya Showa, ukurannya tidak besar, dengan papan nama berhuruf Jepang. Di pintu masuk terpasang tirai noren, tirai khas Jepang yang terbelah dua. Area depan minim hiasan: papan menu sederhana dan pot tanaman kecil yang memberi kesan segar dan ramah.
Baca juga: Bangkok, Pilihan Paling Masuk Akal untuk Wisata Luar Negeri Pertama
Memasuki kafe, suasananya terasa adem sekaligus hangat. Furnitur kayu tampak kokoh, pencahayaan lembut, dan atmosfernya melindungi dari lelah akibat hiruk-pikuk Pasar Tsukiji. Saya memesan kopi hitam yang diseduh dengan metode hand-drip. Pelayan mencatat pesanan dengan ramah. Di area bar kecil, barista berseragam menyiapkan kertas filter, memilih biji kopi, dan memanaskan ketel leher angsa. Suara lembut penggiling kopi manual terdengar menenangkan. Proses seduh dilakukan perlahan dan seksama untuk memastikan ekstraksi merata. Tradisi seduh ala Showa, katanya, mengedepankan kesabaran dan kesempurnaan.
Kopi tersaji di hadapan saya; aromanya menyegarkan. Sesuai pesanan, disajikan pula kue castella—bolu khas Jepang bertekstur halus namun padat, dengan rasa manis ringan. Kue ini berasal dari Portugal dan diadaptasi masyarakat Nagasaki sebelum menyebar ke Jepang.
Saya kini sudah berada di kereta Tokyo Metro Line Hibiya. Setelah tujuh stasiun, sekitar 12 menit, saya akan turun di Stasiun Ueno. Benar, perjalanan saya menuju hotel, membawa tambahan kenangan dan pengalaman dari Tsukiji—tempat kuliner biota laut terbesar di dunia.
Kontributor: Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSc, seorang Entrepreneur, Peminat dan Penikmat Kuliner
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.










