Menjadikan Al-Qur’an sebagai Sumber Mata Pencaharian: Nasaruddin Umar (Menag), “Guru itu tujuannya mulia, bukan cari uang”

Mata Pencaharian

Milenianews.com, Mata Akademisi – Nasaruddin Umar, Menteri Agama RI ke-25 sejak 21 Oktober 2024 pada Kabinet Merah Putih. Sebelum ditunjuk menjadi Menteri Agama RI, Nasaruddin dikenal sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Dia pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Agama pada 2011-2014. Ketika ia menghadiri Pendidikan Profesi Guru (PPG) batch 3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu, 3 September 2025, ia berkata dalam pidatonya bahwa “Guru itu tujuannya mulia, bagaimana memintarkan anak orang, bukan cari uang. Kalau mau cari uang jangan jadi guru, jadi pedagang lah,” kemudian ia juga mengatakan “Insyaallah pekerjaan yang paling mulia itu adalah memintarkan orang yang bodoh. Itu amal jariyah yang pahalanya terus mengalir,”.

Menurut Nasaruddin, guru memiliki kedudukan istimewa karena setiap ilmu yang diajarkan akan menjadi amal jariyah. Ia menekankan seorang guru harus memiliki niat ikhlas dan bertujuan memintarkan anak orang, tidak boleh berniat untuk mencari uang. Tidak salah ketika kita mengatakan bahwa dalam mengajar seorang guru harus memiliki niat yang tulus. Namun, bukankah niat itu hanya dapat diukur oleh Allah saja? karena itu merupakan ruang abstrak yang tidak dapat diketahui oleh siapapun selain Allah.

Baca juga: Ibadah Ritual Vs Tanggung Jawab Sosial: Kritik Buya Hamka Terhadap Formalisme Keagamaan Dalam Tafsir Al-Azhar Surah Al-Ma’un

Melihat keadaan sekarang yang amat menyedihkan, ketika gaji guru tidak layak untuk disebut sebagai upah, apalagi bagi guru honorer. Tidak adil apabila seorang yang bergaji tinggi mengatakan hal itu. Hal ini amat menyakitkan bagi para guru di Indonesia. Tidaklah berniat seorang guru untuk menjadikan muridnya pintar, karena kepintaran itu menjadi ranah kehendak-Nya Allah semata, tetapi guru seharusnya meniatkan untuk menghilangkan kebodohan yang ada pada diri murid tersebut.

Berbeda ketika guru yang mengajar di bidang Al-Qur’an, hendaknya ia mempunyai pekerjaan lain sebagai sumber utama dalam menghidupi dirinya dan keluarganya. Kemudian bagaimana ketika guru yang mengajarkan Al-Qur’an seperti guru ngaji contohnya dalam menetapkan upah? boleh bagi guru ngaji untuk menetapkan berapa gaji dengan syarat yang sesuai dan tidak terlalu berlebihan dalam mematok, harus menyesuaikan jarak tempuh rumah guru ketika mengajar ke tempat mengajarnya. Karena banyak kita lihat bahwa masyarakat Indonesia seperti meremehkan gaji untuk guru ngaji, padahal guru ngaji mengajarkan anak mereka ilmu akhirat.

Tidak sedikit dari masyarakat Muslim yang menjadikan keahliannya dalam membaca Al-Qur’an sebagai mata pencaharian. Misalnya dengan cara mengajarkan Al-Qur’an atau membaca Al-Qur’an pada momen-momen tertentu, seperti pada sebuah acara upacara resmi di beberapa hari besar Islam.

Islam memandang bahwa mencari nafkah melalui Al-Qur’an, seperti menjadi pengajar, ataupun penghafal, merupakan aktivitas yang mulia selama dilandasi niat ikhlas dan sesuai syariat. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang dia niatkan.”. Dalam kitab Fath al-Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa mengajarkan Al-Qur’an dengan tujuan menyebarkan ilmu agama termasuk ibadah, namun jika disertai niat mencari dunia semata, maka pahalanya berkurang. Dengan demikian, Islam membolehkan aktivitas ini asalkan tidak mengurangi nilai keikhlasan dan kemurnian tujuan.

Baca juga: Peran Imam ‘Ashim dan Riwayat Hafs dalam Qiro’at Al-Qur’an di Nusantara

Namun, Islam juga memberikan batasan agar Al-Qur’an tidak diperdagangkan secara sembarangan atau digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai syariat. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.” (QS. Al-Baqarah [2]:41). Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ayat ini melarang penggunaan ayat Al-Qur’an untuk kepentingan duniawi yang hina, seperti memanipulasi tafsir untuk keuntungan pribadi atau menipu masyarakat. Oleh karena itu, para ulama menegaskan bahwa mencari nafkah melalui Al-Qur’an harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kehati-hatian agar tidak terjerumus dalam eksploitasi agama.

Di sisi lain, para ulama sepakat bahwa mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur’an atau menjadi qari’ hukumnya boleh, sebagaimana dicontohkan dalam hadits tentang sahabat yang diupah karena meruqyah dengan Al-Fatihah (HR. Bukhari). Dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah menyatakan bahwa upah dari mengajarkan Al-Qur’an adalah halal selama tidak mengandung unsur penipuan atau penyimpangan. Namun, aktivitas ini menjadi haram jika disertai praktik kemaksiatan, seperti menggunakan Al-Qur’an untuk sihir atau mengajarkannya kepada aliran sesat.

Penulis: Asqiya Rahmawati, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *