Cerpen  

Senja

Cerpen Senja

Oleh : Nurul Fitria

Masih sama menawannya. Cahaya matahari yang hendak berlalu itu memberi ketenangan yang luar biasa. Yeah, itulah senja, selalu mempesona meski tak pernah lama. Hadirnya yang sebentar tak pernah membuat tatapan ini merasa bosan, masih sama mengagumkannya. Membuat yang memandang semakin tertawan, melihat sang mentari tergelincir turun perlahan-lahan. Dengan gradasi warna yang menyatu dengan permukaan terlihat menyenangkan bukan, menatap mentari itu memancarkan sinar perpisahan.

Tentang “Senja.”

Bolehkah aku bercerita, tentang “Sebuah nama yang terjaga.” Aku mengaguminya sama seperti aku melihat senja. Membuatku tanpa lelah mengucap namanya di dalam doa, berharap bahwa Ia juga menyebut namaku dalam doanya. Meski susah payah, dengan ketenangan yang luar biasa aku menutupi semuanya. Mengagumi sosok yang selama ini ada di dekat ku sendiri. Aku berhasil mengenalinya dengan baik, meski Ia tak pernah sadar tak pernah tau akan hadirnya perasaan asing dalam hatiku.  “Rasa itu hadir tanpa menyapa, dan pergi tanpa memberi aba-aba.”

Dan rasa itu tumbuh dengan subur, tanpa bisa ku cegah. Membuatku lalai, karna tak semestinya aku menjatuhkan hati pada seseorang yang tak seharusnya aku harapkan.

“Seandainya bisa, aku tak ingin melabuhkan perasaan tanpa alasan.”

Dan untuk yang berkata bahwa senja itu identik dengan perpisahan. Sekarang aku mulai faham karena “Perpisahan memang seindah ini, seindah “Senja” yang hilang di jemput sang malam.”

***

Jika hadirnya rasa ini adalah kesalahan, ajari aku untuk mengikhlaskan karena sedari dulu yang ku ketahui hanyalah pandai-pandai bertahan.

 

“Buruan Rii, acaranya udah dimulai,” Fiana mulai tak sabar melihat sahabatnya masih berkutat di depan cermin tuk membenahi hijabnya.

“Sambil jalan gih, ntar aku nyusul.”

“Oke, aku sambil jalan yah, jangan lama-lama Rii!,” Riana memberi isyarat jempolnya, tanda setuju.

 

Ia melirik arloji di pergelangan tangannya, masih sisa setengah jam lagi sebelum acara di mulai. Pagi ini Ia kembali terpilih menjadi panitia seminar yang di adakan UKM Kepenulisan yang di ikutinya. Sebelum akhirnya, langkahnya terhenti melihat sosok yang akhir-akhir ini di hindarinya. Ia merutuk keputusannya untuk pergi duluan dan tak menunggu Riana. Baru saja Ia hendak memutar balik langkahnya, sosok itu menutup ruang geraknya.

 

“Aku ingin kita bicara Na,” sosok itu membuka lisan,

“Aku bisa menjelaskan semuanya,” Ia kembali melanjutkan lisannya.

 

Fiana tertunduk, Ia benci harus mengingat semua ini. Membuat luka yang tlah berusaha Ia sembuhkan terasa perih kembali.

 

“Maaf Kak, aku lagi mau ada seminar, mungkin lain kali aja,” Ia menjawab seformal mungkin, walau sedari tadi ada yang tertahan di dadanya.

“5 menit Na, beri waktu aku 5 menit.”

 

Masih sama dengan sifat ngototnya, seharusnya Ia sudah menebak kejadian ini. Ia takkan mudah lepas setelah berminggu-minggu menghindarinya. Oh ayolah apa tak ada yang bisa menyelamatkannya dari situasi ini, Ia memekik dalam hati.

 

“Eh itu Riana udah dateng, duluan ya Kak,” Ia bergegas menghampiri Riana, berjalan cepat menghindarinya sosok itu kembali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *